BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jual beli
Menurut bahasa jual beli berarti menukarkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain, sedang menurut syara’ ialah menukar harta dengan
harta pada wajah tertentu. Bai’i atau
menjualkan sesuatu yang dihalalkan atau dibenarkan agama, asal memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa jual beli adalah suatu
hubungan dengan adanya si penjual dan
pembeli yang mana diantara keduanya ada saling kerelaan, dengan kontek tanpa
ada suatu paksaan, kemudian dilakukan ijab dan Kabul dengan segala
persyaratannya, maka dengan demikian sahlah jual beli tersebut.
1)
Syarat dan Rukun Jual Beli
a.
Penjual dan pembeli
Adapun syarat si penjual dan si pembeli adalah:
·
Mukallaf, karena itu aqad jual beli anak kecil dan orang gila
tidaklah syah, demikian pula aqad yang diucapkan oleh orang yang dipaksa yang
tidak semestinya, karena padanya tidak ada unsur kerelaan, sedang kerelaan
adalah sahnya jual beli.
·
Keadaannya tidak mubazzir (pemboros), karena harta orang yang
mubazzir itu di bawah kekuasaan walinya.
Allah berfirman dalam surah An-nisa ayat 5.
Artinya : Janganlah kamu serahkan harta kepada orang yg bodoh
kepadanya, yg mana Allah menjadikan kamu pemeliharanya, berilah mereka
belanjanya dari hartanya itu (yg ada di tanganmu).
Adapun mengenai anak yg sudah mengerti tetapi belum sampai
umur dewasa, menurut pendapat sebagian ulama, bahwa mereka diperbolehkan jual
beli tertentu kepada barang yg kecil-kecil.
a.
Uang dan benda yang di beli
Syarat keduanya yaitu:
·
Suci atau bisa disucikan dgn cara membasuh, berarti tidak sah
jual beli barang najis seperti, arak, kulit bangkai, sekalipun bisa di
bersihkan dengan berubah menjadi cuka atau samak.
·
Diisyaratkan pula barangnya terlihat, berarti tidak sah
barang jual beli berada dimana penjual
dan pembeli atau salah satunya tidak melihatnya, hal ini
dikhawatirkan akan terjadinya garar yg
terlarang dalam agama, sekalipun dikemukakan sipat-sipatnya secara mendetail,
sabda rasulullah saw.
Artinya: Abu Hurairah, r.a. ia berkata : rasulullah saw.
melarang jual beli melempar batu dan jual beli garar. (Riwayat Muslim)
Penglihatan terhadap barang yang dibeli itu cukup dilakukan
sebelum akad dilakukan, bila barang itu pada galibnya tidak akan berubah
sifatnya sampai pada waktu aqad kemudian, dan jika cukup melihat kepada
sebahagian barang yang dibeli jika telah dapat menjadi ukuran untuk yang lain,
seperti unggukan semacam gandum.
·
Keadaan barang itu dapat diserah terimakan. Dengan demikian
tidak sah jual beli sesuatu barang yang dirampok dan tidak kuasa mengambilnya,
dengan demikian jual beli ikan di kolam yang sulit menangkap, sebab yang semua
itu mengandung tipu daya (kicuhan).
·
Barang yang dijual adalah milik sipenjual (atau milik yang
diwakilinya). Sabda Nabi saw.
Artinya : Tidak sah jual beli melainkan pada barang yang
dimiliki.
·
Barang yang dijual harus ada manfaatnya.
2)
Lafaz Ijab Qabul
Ijab atau pernyataan dari sipenjual, ialah kata-kata
yang menyatakan memiliki secara jelas, sedang qabul atau persetujuan membeli
dari pemberi, yaitu kata-kata yang menunjukkan takluk secara jelas, yang
demikian menunjukkan kesempurnaan sighat
(bentuk) jual beli yang diisyaratkan seperti tersebut dalam sabda Nabi
SAW.
Artinya : Hanya saja jual beli itu sah dengan adanya saling
merelakan. (Riwayat Ibnu Hasan).
Sedangkan kerelaan itu tidak Nampak, maka diukurlah
dengan ucapan, karena rela itu letaknya dalam hati masing-masing, inilah pendapat
kebanyakaan para ulama. Akan tetapi Nawawi, Mutawalli, Baghawi,dan beberapa
ulama lainnya berpendapat bahwa lafaz
tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja, apabila adat telah
berlaku yang seperti itu dipandang jual, karena tidak ada suatu dalil yang
terang yang mewajibkan lafaz.
Menurut ulama yang mewajibkan ijab qabul, maka
diwajibkan keadaan lafaz itu memenuhi beberapa syarat;
·
Keadaan ijab dan qabul itu secara langsung (tidak diselingi
dengan ucapan lain).
·
Hendaknya kedua-duanya mempunyai makna yang bersesuaian,
walaupun lafaz keduanya berlainan.
·
Keadaan keduanya tidak disangkutkan dengan urusan lain serta
dibatasi waktu perikatannya.
3)
Saksi dalam jual beli.
Allah memerintahkan perlunya saksi dalam jual beli sebagaimana firmanya yang artinya :
“Dan persaksikanlah
jika kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan.”
(Q.S.: 2 ayat 282)
Perintah disini menunjukkan sunnat dan demi
kemsalahatan, bukan untuk wajib, seperti menurut pendapat sebagian ulama.
Dalam kitabnya ahkamul qur’an Al-Jashash berkata: Tak
ada perbedaan pendapat antara semua ahli fiqih di mana-mana, bahwa perintah
menuliskan dan perlunya saksi dalam ayat ini menunjukkan sunnat dan petunjuk
untuk kepentingan kebaikan dan menjaga agama dan dunia, sedikitpun tidak wajib.
Segolongan yg menaqal dari ulama’ salaf aqad-aqad hutang piutang, jual beli di
daerah-daerah mereka berlangsung tanpa
saksi; keadaan sepeti ini berlangsung dengan sepengetahuan ahli fiqih, tetapi
tidak ada bantahan mereka, sekiranya kesaksian itu hukumnya wajib, tentu mereka
tak akan membiarkan hal tersebut berlangsung tanpa protes padahal para ahli
fiqih, mereka mengetahui.
Hal ini menunjukkan bahwa para ahli fiqih itu menilai
sebagai sunnat secara turun temurun ternaqal sejak zaman Nabi saw., sampai hari
ini.
Jika para sahabat dan tabi’in melakukan penyaksian
dalam jual beli mereka, tentu penaqalan aka nada secara mutawatir dan tentu
pula terdapat bantahan untuk pelaku jual beli tanpa saksi. Selama tidak adanya
naqal yang mewajibkan kesaksian tidak ada pula bantahan bagi mereka yang
meninggalkannya, maka disimpulkan bahwa penulisan dan kesaksian dalam hutang piutang dan jual beli itu bukan
wajib.
B.
Pengertian Riba
Riba berarti bertambahnya harta, riba menurut syaria’at dalam
Al Qur’an Allah berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orank yang kemasukan setan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(Al-Baqarah:275)
Selain itu Dia juga berfirman:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan riba dan menyuburkan
sedekah”.(Al-Baqarah:276)
Selanjutnya Dia berfirman:
“Dan tinggalkannya sisa riba(yang belum dipungut) jika kalian
orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi
kalian.”(Al-Baqarah:278-279).
1)
Hukum Riba
Para ulama telah sepakat bahwa riba merupakan salah
satu dari perbuatan dosa besar. Dan jika dalam suatu akad terjadi prektik riba,
maka akad tersebut tidak sah (batal). Tidak ada kewajiban bagi seseorang mengembalikan
kecuali yang merupakan modal saja.
Dan jika dia dalam keadaan sulit, maka harus diberikan
kepadanya masa tengguh sampai dia benar-benar berada dalam kemudahan. Hukum
seperti itu disarikan dari Kitabullah.
Allah SWT berfirman:
“Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi
kalian pokok (modal) harta kalian,” (Al-Baqarah:279)
Menurut pemahan berbalik, hal itu menunjukkan
diperbolehkannya mengambil harta riba tersebut tanpa adanya taubat. Selain itu,
diperbolehkan mengambil harta riba tersebut, baik bertaubat maupun tidak.
Kesimpulannya, diperbolehkan mengambil seluruh harta
riba, dan boleh mengambil keuntungannya saja.
2)
Macam-macam Riba
Terdapat dua macam riba, yaitu:
·
Riba Fadhal, yaitu jual beli suatu barang sejenis yang dalam
jumlah yang tidak sama. Misalnya. Menjual satu qinthar (100 rathal) gandum
dengan satu seperempat qinthar gandum. Atau jual beli sha’kurma dengan satu
setengah sha’kurma, Atau juga jual beli satu uqiyah perak dengan satu dirham
perak.
·
Riba Nasi’ah, yaitu Riba ini ada dua macam: Riba jahiliyah,
yang Allah SWT telah diharamkan melalui firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan
riba dengan berlipat ganda” (Ali Imran: 130)
Pengertian riba jahiliyah ini adalah utang seseorang atas
orang lain dengan waktu yang telah d’tentukan. Ketika telah sampai waktu yang
ditentukan tersebut, dikatakan: “Engkau lunasi sekarang atau harus menambah
jumlahnya. “Jika ia tidak dapat mengembalikan, maka jumlah utangan itu akan
bertambah. Kemudian diberikan tangguh lagi, sehingga bertambah dan bertambah
terus.
Dan yang termasuk riba jahiliyah ini juga praktik pemberian
sepuluh dinar dengan lima belas dinar, baik dalam jangka waktu dekat maupun
jauh. Kedua, riba nasi’ah, yaitu jual beli sesuatu barang dengan jenis barang
yang lain, misalnya satu qinthar gandum dengan satu qinthar kurama dalam waktu
yang telah ditentukan, atau jual beli sepuluh dinar emas dengan seratus dua
puluh dirham perak dalam waktu yang ditentukan (Kitab Minhajul Muslim).
3)
Barang-barang Pokok
yang Menjadi Praktik Riba
Barang-barang tersebut adalah
emas,perak,gandum,sya’ir,tamr(Kurma), dan garam.Sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah:
Artinya: “Emas dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (jewawut) dengan sya’ir, kurma
dengan kurma, garam dengan gara, hendaklah sama banyaknya, tunai, dan melalui
serah terima. Jika berlainan jenis, kalian boleh jual sekehendak kalian,
asalkan tunai.” (HR. Muslim)
Kemudian para ulama,baik dari kalangan
sahabt maupun tabi’in mengqiyaskan segala hal yang mempunyai pengertian dan
‘illah sama, baik berupa barang takaran, timbangan, maupun makanan dengan
keenam barang tersebut.
Misalnya, biji-bijian, minyak,
madu, dan daging. “Tidak ada Riba kecuali pada barang-barang takaran atau
timbangan yang berwujud makanan atau minuman,”kata Sa’id bin Musyyab.
4)
Beberapa Makanan
yang Tidak Berlaku padanya Praktik Riba
Buah-buahan
dan sayur-sayuran tidak berlaku padanya praktik riba, karena satu sisi,kedua
barang tersebut tidak dapat disimpan digudang, dan disisi yang lain, kedua
barang tersebut pada zaman dahulu bukan termasuk barang takaran maupun timbangan.
Seperti
halnya kedua barang tersebut bukan termasuk makanan pokok. Dan telah ada nash
sharih yang bersumber langsung dari rasulullah SAW.
C.
Perbedaan antara jual beli dan riba
Secara hukum riba diharamkan sedangkan jual beli di
haruskan. Didalam riba hanya untuk mencari keberuntungan belaka, sementara jual
beli keuntungan didapat dari hasil laba barang yang dijual, dan kerugian bisa
terjadi jika mengalami penurunan harga barang atau bangkrut. Jual beli di
syari’atkan, riba tidak di syari’atkan.
D.
Penimbunan Barang
Penimbunan ialah membeli
sesuatu dan menyimpannya agar barang
tersebut berkurang di masyarakat sehingga harganya meningkat, dan demikian
manusia akan terkena kesulitan.
Hukumnya, penimbunan dilarang dan dicegah oleh syariat
karena ia merupakan ketamakan dan bukti keburukan moral serta mempersusahkan
manusia.
1)
Diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tarmidzi dan Muslim dari
Mu’amar, bahwa Nabi saw.bersabda; ‘’Siapa yang melakukan penimbunan, ia
dianggap bersalah.’’
2)
Diriwayatkan oleh Ahmad, Al Hakim,Ibnu Abi Syaibah dan Al
Bazzaz, bahwa Nabi saw, bersabda ; ‘’ Siapa orang yang menimbun barang pangan
selama 40 hari, ia sungguh telah lepas dari Allah dan Allah lepas dari
padanya.’’
3)
Raziim dalam Al Jami’nya menyebut, bahwa Nabi saw, bersabda;
‘’Sejelek-jelek hamba adalah si Penimbun . Jika ia mendengar barang murah ia
murka, dan jika barang menjadi mahal ia bergembira’’
4)
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al Hakim dari ibnu Umar ,
bahwa Rasullullah bersabda; ‘’ Orang – orang jalib itu diberi rejeki dan
penimbun dilaknat.’’ Al Jalib ialah orang – orang yang menawarkan barang dan menjualnya
dengan harga ringan.
5)
Diriwayatkan oleh Ahmad dan At Thabrani dari Ma’ qal bin Yassar, bahwa Nabi saw ,bersabda ; ‘’ Siapa
yang ikut campur dalam urusan harga kaum muslimin, dengan tujuan memenangkan
atas mereka,adalah haknya Allah swt, mendudukkannya di golakan api pada hari kiamat.
§ Penimbunan Diharamkan
Para ahli fiqih berpendapat, bahwa yang dimaksud
dengan penimbunan terlarang adalah yang
terdapat syarat sebagai berikut:
1.
Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya
berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena seorang boleh me nimbun
persediaan nafkah untuk dirinya dan keluarganya untuk persiapan selama ini
(satu Tahun). Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
2.
Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga
barang agar ia dapat menjual dengan harga yang tinggi karena orang sangat
membutuhkan barang tersebut kepadanya.
3.
Bahwa penimbunan dilakukan
pada saat dimana manusia sangat membutuhkan barang yang ia timbun,
seperti makanan, pakaian dan lain-lain. Jika barang-barang yang ada
ditangan para pedagang tidak
dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap
sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar