Jumat, 26 April 2013

Makalah Jual Beli


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Jual beli
Menurut bahasa jual beli berarti menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, sedang menurut syara’ ialah menukar harta dengan harta pada wajah tertentu. Bai’i atau  menjualkan sesuatu yang dihalalkan atau dibenarkan agama, asal memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa jual beli adalah suatu hubungan dengan adanya si penjual  dan pembeli yang mana diantara keduanya ada saling kerelaan, dengan kontek tanpa ada suatu paksaan, kemudian dilakukan ijab dan Kabul dengan segala persyaratannya, maka dengan demikian sahlah jual beli tersebut. 

1)   Syarat dan Rukun Jual Beli
a.    Penjual dan pembeli
Adapun syarat si penjual dan si pembeli adalah:
·      Mukallaf, karena itu aqad jual beli anak kecil dan orang gila tidaklah syah, demikian pula aqad yang diucapkan oleh orang yang dipaksa yang tidak semestinya, karena padanya tidak ada unsur kerelaan, sedang kerelaan adalah sahnya jual beli.
·      Keadaannya tidak mubazzir (pemboros), karena harta orang yang mubazzir itu di bawah kekuasaan walinya.
Allah berfirman dalam surah An-nisa ayat 5.
Artinya : Janganlah kamu serahkan harta kepada orang yg bodoh kepadanya, yg mana Allah menjadikan kamu pemeliharanya, berilah mereka belanjanya dari hartanya itu (yg ada di tanganmu).
Adapun mengenai anak yg sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat sebagian ulama, bahwa mereka diperbolehkan jual beli tertentu kepada barang yg kecil-kecil.

a.    Uang dan benda yang di beli
Syarat keduanya yaitu:
·      Suci atau bisa disucikan dgn cara membasuh, berarti tidak sah jual beli barang najis seperti, arak, kulit bangkai, sekalipun bisa di bersihkan dengan berubah menjadi cuka atau samak.
·      Diisyaratkan pula barangnya terlihat, berarti tidak sah barang jual beli berada dimana penjual  dan pembeli atau salah satunya tidak melihatnya, hal ini dikhawatirkan  akan terjadinya garar yg terlarang dalam agama, sekalipun dikemukakan sipat-sipatnya secara mendetail, sabda rasulullah saw.
Artinya: Abu Hurairah, r.a. ia berkata : rasulullah saw. melarang jual beli melempar batu dan jual beli garar. (Riwayat Muslim)
Penglihatan terhadap barang yang dibeli itu cukup dilakukan sebelum akad dilakukan, bila barang itu pada galibnya tidak akan berubah sifatnya sampai pada waktu aqad kemudian, dan jika cukup melihat kepada sebahagian barang yang dibeli jika telah dapat menjadi ukuran untuk yang lain, seperti unggukan semacam gandum.
·      Keadaan barang itu dapat diserah terimakan. Dengan demikian tidak sah jual beli sesuatu barang yang dirampok dan tidak kuasa mengambilnya, dengan demikian jual beli ikan di kolam yang sulit menangkap, sebab yang semua itu mengandung tipu daya (kicuhan).
·      Barang yang dijual adalah milik sipenjual (atau milik yang diwakilinya). Sabda Nabi saw.
Artinya : Tidak sah jual beli melainkan pada barang yang dimiliki.
·      Barang yang dijual harus ada manfaatnya.


2)   Lafaz Ijab Qabul
Ijab atau pernyataan dari sipenjual, ialah kata-kata yang menyatakan memiliki secara jelas, sedang qabul atau persetujuan membeli dari pemberi, yaitu kata-kata yang menunjukkan takluk secara jelas, yang demikian menunjukkan kesempurnaan sighat  (bentuk) jual beli yang diisyaratkan seperti tersebut dalam sabda Nabi SAW.
Artinya : Hanya saja jual beli itu sah dengan adanya saling merelakan. (Riwayat Ibnu Hasan).
Sedangkan kerelaan itu tidak Nampak, maka diukurlah dengan ucapan, karena rela itu letaknya dalam hati masing-masing, inilah pendapat kebanyakaan para ulama. Akan tetapi Nawawi, Mutawalli, Baghawi,dan beberapa ulama lainnya berpendapat  bahwa lafaz tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja, apabila adat telah berlaku yang seperti itu dipandang jual, karena tidak ada suatu dalil yang terang yang mewajibkan lafaz.
Menurut ulama yang mewajibkan ijab qabul, maka diwajibkan keadaan lafaz itu memenuhi beberapa syarat;
·      Keadaan ijab dan qabul itu secara langsung (tidak diselingi dengan ucapan lain).
·      Hendaknya kedua-duanya mempunyai makna yang bersesuaian, walaupun lafaz keduanya berlainan.
·      Keadaan keduanya tidak disangkutkan dengan urusan lain serta dibatasi waktu perikatannya.     
3)   Saksi dalam jual beli.
Allah memerintahkan perlunya saksi dalam jual beli  sebagaimana firmanya yang artinya :
“Dan persaksikanlah jika kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan.” (Q.S.: 2 ayat 282)
Perintah disini menunjukkan sunnat dan demi kemsalahatan, bukan untuk wajib, seperti menurut pendapat sebagian ulama.
Dalam kitabnya ahkamul qur’an Al-Jashash berkata: Tak ada perbedaan pendapat antara semua ahli fiqih di mana-mana, bahwa perintah menuliskan dan perlunya saksi dalam ayat ini menunjukkan sunnat dan petunjuk untuk kepentingan kebaikan dan menjaga agama dan dunia, sedikitpun tidak wajib. Segolongan yg menaqal dari ulama’ salaf aqad-aqad hutang piutang, jual beli di daerah-daerah  mereka berlangsung tanpa saksi; keadaan sepeti ini berlangsung dengan sepengetahuan ahli fiqih, tetapi tidak ada bantahan mereka, sekiranya kesaksian itu hukumnya wajib, tentu mereka tak akan membiarkan hal tersebut berlangsung tanpa protes padahal para ahli fiqih, mereka mengetahui.
Hal ini menunjukkan bahwa para ahli fiqih itu menilai sebagai sunnat secara turun temurun ternaqal sejak zaman Nabi saw., sampai hari ini.
Jika para sahabat dan tabi’in melakukan penyaksian dalam jual beli mereka, tentu penaqalan aka nada secara mutawatir dan tentu pula terdapat bantahan untuk pelaku jual beli tanpa saksi. Selama tidak adanya naqal yang mewajibkan kesaksian tidak ada pula bantahan bagi mereka yang meninggalkannya, maka disimpulkan bahwa penulisan dan kesaksian  dalam hutang piutang dan jual beli itu bukan wajib.
B.     Pengertian Riba 
Riba berarti bertambahnya harta, riba menurut syaria’at dalam Al Qur’an Allah berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orank yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(Al-Baqarah:275)
Selain itu Dia juga berfirman:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan riba dan menyuburkan sedekah”.(Al-Baqarah:276)
Selanjutnya Dia berfirman:
“Dan tinggalkannya sisa riba(yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.”(Al-Baqarah:278-279).
1)    Hukum Riba
Para ulama telah sepakat bahwa riba merupakan salah satu dari perbuatan dosa besar. Dan jika dalam suatu akad terjadi prektik riba, maka akad tersebut tidak sah (batal). Tidak ada kewajiban bagi seseorang mengembalikan kecuali yang merupakan modal saja.
Dan jika dia dalam keadaan sulit, maka harus diberikan kepadanya masa tengguh sampai dia benar-benar berada dalam kemudahan. Hukum seperti itu disarikan dari Kitabullah.
Allah SWT berfirman:
“Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok (modal) harta kalian,” (Al-Baqarah:279)
Menurut pemahan berbalik, hal itu menunjukkan diperbolehkannya mengambil harta riba tersebut tanpa adanya taubat. Selain itu, diperbolehkan mengambil harta riba tersebut, baik bertaubat maupun tidak.
Kesimpulannya, diperbolehkan mengambil seluruh harta riba, dan boleh mengambil keuntungannya saja.
2)    Macam-macam Riba
Terdapat dua macam riba, yaitu:
·         Riba Fadhal, yaitu jual beli suatu barang sejenis yang dalam jumlah yang tidak sama. Misalnya. Menjual satu qinthar (100 rathal) gandum dengan satu seperempat qinthar gandum. Atau jual beli sha’kurma dengan satu setengah sha’kurma, Atau juga jual beli satu uqiyah perak dengan satu dirham perak.
·         Riba Nasi’ah, yaitu Riba ini ada dua macam: Riba jahiliyah, yang Allah SWT telah diharamkan melalui firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda” (Ali Imran: 130)
Pengertian riba jahiliyah ini adalah utang seseorang atas orang lain dengan waktu yang telah d’tentukan. Ketika telah sampai waktu yang ditentukan tersebut, dikatakan: “Engkau lunasi sekarang atau harus menambah jumlahnya. “Jika ia tidak dapat mengembalikan, maka jumlah utangan itu akan bertambah. Kemudian diberikan tangguh lagi, sehingga bertambah dan bertambah terus.
Dan yang termasuk riba jahiliyah ini juga praktik pemberian sepuluh dinar dengan lima belas dinar, baik dalam jangka waktu dekat maupun jauh. Kedua, riba nasi’ah, yaitu jual beli sesuatu barang dengan jenis barang yang lain, misalnya satu qinthar gandum dengan satu qinthar kurama dalam waktu yang telah ditentukan, atau jual beli sepuluh dinar emas dengan seratus dua puluh dirham perak dalam waktu yang ditentukan (Kitab Minhajul Muslim).
3)    Barang-barang Pokok yang Menjadi Praktik Riba
Barang-barang tersebut adalah emas,perak,gandum,sya’ir,tamr(Kurma), dan garam.Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah:
Artinya: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (jewawut) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan gara, hendaklah sama banyaknya, tunai, dan melalui serah terima. Jika berlainan jenis, kalian boleh jual sekehendak kalian, asalkan tunai.” (HR. Muslim)
Kemudian para ulama,baik dari kalangan sahabt maupun tabi’in mengqiyaskan segala hal yang mempunyai pengertian dan ‘illah sama, baik berupa barang takaran, timbangan, maupun makanan dengan keenam barang tersebut.
Misalnya, biji-bijian, minyak, madu, dan daging. “Tidak ada Riba kecuali pada barang-barang takaran atau timbangan yang berwujud makanan atau minuman,”kata Sa’id bin Musyyab.
4)    Beberapa Makanan yang Tidak Berlaku padanya Praktik Riba
Buah-buahan dan sayur-sayuran tidak berlaku padanya praktik riba, karena satu sisi,kedua barang tersebut tidak dapat disimpan digudang, dan disisi yang lain, kedua barang tersebut pada zaman dahulu bukan termasuk barang takaran maupun timbangan.
Seperti halnya kedua barang tersebut bukan termasuk makanan pokok. Dan telah ada nash sharih yang bersumber langsung dari rasulullah SAW.
C.     Perbedaan antara jual beli dan riba
Secara hukum riba diharamkan sedangkan jual beli di haruskan. Didalam riba hanya untuk mencari keberuntungan belaka, sementara jual beli keuntungan didapat dari hasil laba barang yang dijual, dan kerugian bisa terjadi jika mengalami penurunan harga barang atau bangkrut. Jual beli di syari’atkan, riba tidak di syari’atkan.

D.     Penimbunan Barang
Penimbunan ialah membeli sesuatu dan menyimpannya  agar barang tersebut berkurang di masyarakat sehingga harganya meningkat, dan demikian manusia akan terkena kesulitan.
Hukumnya, penimbunan dilarang dan dicegah oleh syariat karena ia merupakan ketamakan dan bukti keburukan moral serta mempersusahkan manusia.       

1)   Diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tarmidzi dan Muslim dari Mu’amar, bahwa Nabi saw.bersabda; ‘’Siapa yang melakukan penimbunan, ia dianggap bersalah.’’
2)   Diriwayatkan oleh Ahmad, Al Hakim,Ibnu Abi Syaibah dan Al Bazzaz, bahwa Nabi saw, bersabda ; ‘’ Siapa orang yang menimbun barang pangan selama 40 hari, ia sungguh telah lepas dari Allah dan Allah lepas dari padanya.’’
3)   Raziim dalam Al Jami’nya menyebut, bahwa Nabi saw, bersabda; ‘’Sejelek-jelek hamba adalah si Penimbun . Jika ia mendengar barang murah ia murka, dan jika barang menjadi mahal ia bergembira’’
4)   Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al Hakim dari ibnu Umar , bahwa Rasullullah bersabda; ‘’ Orang – orang jalib itu diberi rejeki dan penimbun dilaknat.’’ Al Jalib ialah orang – orang yang menawarkan barang dan menjualnya dengan harga ringan.
5)   Diriwayatkan oleh Ahmad dan At Thabrani dari Ma’ qal bin  Yassar, bahwa Nabi saw ,bersabda ; ‘’ Siapa yang ikut campur dalam urusan harga kaum muslimin, dengan tujuan memenangkan atas mereka,adalah haknya Allah swt, mendudukkannya di golakan api pada hari kiamat.

§  Penimbunan Diharamkan
Para ahli fiqih berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan penimbunan  terlarang adalah yang terdapat syarat sebagai berikut:
1.    Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya berikut tanggungan  untuk persediaan  setahun penuh. Karena seorang boleh me nimbun persediaan nafkah untuk dirinya dan keluarganya untuk persiapan selama ini (satu Tahun). Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
2.    Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar ia dapat menjual dengan harga yang tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut kepadanya.
3.    Bahwa penimbunan dilakukan  pada saat dimana manusia sangat membutuhkan barang yang ia timbun, seperti makanan, pakaian dan lain-lain. Jika barang-barang  yang ada  ditangan para pedagang  tidak dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap  sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar