Kamis, 11 April 2013

BANI ABBASYIAH (KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN BANI ABBAS)

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kelahiran Daulah Abbasyiah
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Menjelang tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara, terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam, termasuk salah satunya pengucilan yang dilakukan Bani Umaiyah terhadap kaum mawali yang menyebabkan ketidak puasan dalam diri mereka dan akhirnya terjadi banyak kerusuhan .
Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah. Keturunan Bani Hasyim dan Bani Abbas yang ditindas oleh Daulah Umayah bergerak mencari jalan bebas, dimana mereka mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Umayah dan membangun Daulah Abbasiyah.[1]

Kekuasaan dinasti Abbasyiah atau Khilafah Abbasyiah, sebagaimana disebutkan,[2] melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Khalifah Abbasyiah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan  Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti Abbasyiah didirikan oleh  Abdullah Al-Saffah ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M). selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasyiah menjadi lima periode.
1.      Periode pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh persia pertama.
2.      Periode kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut masa pengaruh turki pertama.
3.      Periode ketiga (334 H/945M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buaih dalam pemerintah Khalifah Bani Abbasyiah. Periode ini di sebut juga pengaruh Persia kedua.
4.      Priode Keempat (447 H/1055 M- 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan Bani Abbasiyah. Biasanya di sebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5.      Priode kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada periode pertama, pemerintahan bani Abbas mencapai masa keemasannya, secara politis, para khalifah betul-betul yang kuat dan merupakan pusat kekuatan politik dan agama sekaligus, di sisi lain, kemakmuran, masyarakat mencapai tingkat tertinggi, periode ini juga berhasil menyiapkan bagi landasan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam. Namun setelah priode ini berahir, Pemerintah Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu Al-Abbas, pendiri dinasti ini, sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 654 M. Karena itu Pembina sebenarnya dari daulat abbasiyah adalah Abu ja’far Al-Manshur (754 M-775 M).[3]
Karena walaupun Abu  Al-Abasyiah  (750-754 M) yang mendirikan Dinasti Abasyiah, tetapi pembangun sebenarnya adalah Al-Mansyur (754-775 M).  Sebagai khalifah yang baru musuh-musuh ingin menjatuhkannya sebelum iya bertambah kuat, terutama golongan bani Umayyah, golongan Khawarij, bahkan juga kaum Syi’ah.
Yang mana kaum Syi’ah, setelah melihat bahwa Bani Abasyiah memonopoli kekuasaan mulai mengambil sikap menentang.[4] Al-Mansyur merasa kurang aman ditengah-tengah Arab, maka iya mendirikan ibu kota baru sebagai ganti Damaskus, Baghdad didirikan di dekat bekas ibu kota Persia, Ctisiphon, pada tahun 762 M. bani Abbasyiah sekarang berada di tengah-tengah Persia. Untuk tentara pengawalnya Al-Mansyur juga tidak mengambil dari kalangan bangsa Arab, melainkan dari orang Persia.
Dalam bidang pemerintahan Al-Mansyur mengadakan tradisi baru dengan mengangkat wazir yang membawahi kepala-kepala departemen. Untuk memegang jabatan wazir, iya memilih Khalid bin Barmak, seorang yang berasal dari Balkh (Bectral) di Persia.[5]
 Dia dengan  keras menghadapi lawan-lawannya dari bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa di kucilkan dari kekuasaan, untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu persatu di singkirkannya, Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang di tunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syiria dan Mesir, karena tidak bersedia membuatnya di bunuh oleh Abu Muslim Al-Khurasani atas pemrintah Abu Ja’far, Abu muslim sendiri karena di khawatirkan akan menjadi pesaing baginya, di hukum mati pada tahun 755 M.
Pada mulanya ibu kota Negara Al-Hasyimiah, dekat Kuffah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri itu, Al-Mansyur memindahkan ibu Kota Negara ke kota yang baru di bangunnya, Bagdad dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasi Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini Al-Mansyur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia menganggkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di sebuah lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai kordinator departemen, Wazir pertama yang di angkat adalah Khalid bin Barmark, berasal dari Balk, Persia. Dia juga membentuk lembaga Protokol Negara, sekretaris Negara, dan kepolisian Negara di samping membenahi angkatan bersenjata, dia menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman Negara. Jabatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani  Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas, Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, Pada masa Al-Manshur, Jawatan pos di tugaskan untuk menghimpun seluruh informasin di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan dengan lancer. Para direktur jabatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah Al-Manshur berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah, dan menetapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. ke utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine 5 dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.
Pada masa Al-Manshur, pengerian khalifah kembali berubah. Dia berkata,”Innama ana Shulthan Allah fiardhihi (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di Bumi-Nya )”, dengan demikian Konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya yang merupakan mandate dari Allah, bukan dari manusia, bukan juga sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al-khulafa al-rasyadun. Di samping itu, berbeda di daulat Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar Tahta”. Seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta” Abu ja’far “gelar tahta” itu lebih popular dri pada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah di letakkan dan di bangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu:
a.       Al-Mahdi (775-785 M)
b.      Al-Hadi (775-786 M)
c.       Harun Ar-Rasyid (786-809 M)
d.      Al Makmun (813- 833M)
e.       Al-Mu’tashim (833-842M)
f.       Al Wasiq (842-847 M)
g.      Al-Mutawakkil (847-861 M). [6]

B.     Masa Kejayaan Peradaban Dinasti Abbasyiah
Pada periode pertama pemerintah Bani Abbasyiah mencapai masa keemasan. Secara politis khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus agama. Di sisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil  menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaannya pada masa Abbasyiah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbasyiah pada periode ini lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari pada perluasan wilayah. Di sini letak perbedaan pokok antara Dinasti Ummayah dan Dinasti Abbasyiah.[7]


Al-Manshur adalah khalifah bani Abbas yang paling besar. Dialah pendiri kota Bagdad, peletak dasar dan landasan pemerintahan daulah Abbasiyah.
Selama masa pemerintahannya, dia sibuk mengamankan batas imperiumnya yang sangat luas dari serangan Bizantiyum dan Turki, Daylam dan India. Selain itu, ia menyingkirkan orang-orang yang berambisi untuk menjadi khalifah, seperti pamannya sendiri, Abdullah bin Ali, atau orang yang ingin merdeka dan memisahkan diri dari pemerintahannya, seperti Abu Muslim al-Khurasani, dia berhasil memadamkan pemberontakan para Alawiyin (orang-orang yang memiliki garis keturunan dari Ali) dan pemberontakan antar Mazhab di Khurasan.[8]
Peristiwa – Peristiwa Penting Dan Tokoh – Tokoh Yang Berprestasi Dalam Perkembangan Islam Periode Klasik
A.    Sistem Politik, Pemerintahan dan Sosial
1.      Sistem Politik dan Pemerintahan Khalifah pertama Bani Abbasiyah, Abdul Abbas yang sekaligus dianggap sebagai pendiri Bani Abbas, menyebut dirinya dengan julukan Al-Saffah yang berarti Sang Penumpah Darah. Sedangkan Khalifah Abbasiyah kedua mengambil gelar Al-Mansur dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah. Di bawah Abbasiyah, kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Dinasti ini muncul dengan bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan terhadap bani Umayyah di dalam masalah sosial ddan pilitik diskriminas. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang memakai gelar ”Imam”, pemimpin masyarakat muslim bertujuan untuk menekankan arti keagamaan kekhalifahan. Abbasiyah mencontoh tradisi Umayyah di dalam mengumumkan lebih dari satu putra mahkota raja.
Al-Mansur dianggap sebagai pendiri kedua dari Dinasti Abbasiyah. Di masa pemerintahannya Baghdad dibagun menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah dan merupakan pusat perdagangan serta kebudayaan. Hingga Baghdad dianggap sebagai kota terpenting di dunia pada saat itu yang kaya akan ilmu pengetahuan dan kesenian. Hingga beberapa dekade kemudian dinasti Abbasiyah mencapai masa kejayaan.
Ada beberapa sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Abbasiyah, yaitu :
a)      Para Khalifah tetap dari keturunan Arab murni, sedangkan pejabat lainnya diambil dari kaum mawalli.
b)      Kota Bagdad dijadikan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan ataupun kebudayaan serta terbuka untuk siapa saja, termasuk bangsa dan penganut agama lain.
Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang harus dikembangkan.
c)      Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia.

2.      Sistem Sosial
Pada masa ini, sistem sosial adalah sambungan dari masa sebelumnya (Masa Dinasti Umaiyah). Akan tetapi, pada masa ini terjadi beberapa perubahan yang sangat mencolok, yaitu :
a.       Tampilnya kelompok mawali dalam pemerintahan serta mendapatkan tempat yang sama dalam kedudukan social
b.      Kerajaan Islam Daulah Abbasiyah terdiri dari beberapa bangsa ang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab dll.)
c.       Perkawinan campur yang melahirkan darah campuran
d.      Terjadinya pertukaran pendapat, sehingga muncul kebudayaan baru .
B.     Gerakan penerjemahan
Meski kegiatan penerjemahan sudah dimulai sejak Daulah Umayyah, upaya untuk menerjemahkan dan menskrinsip berbahasa asing terutama bahasa yunani dan Persia ke dalam bahasa arab mengalami masa keemasan pada masa Daulah Abbasiyah. Para ilmuan diutus ke daiah Bizantium untuk mencari naskah-naskah yunani dalam berbagai ilmu terutama filasafat dan kedokteran.
Pelopor gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan daulah Abbasiyah adalah Khalifah Al-Mansyur yang juga membangun Ibu kota Baghdad. Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama dalam bidang astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudian naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam masa keemasan, karya yang banyak diterjemahkan tentang ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan namun, karya-karya berupa puisi, drama, cerpen dan sejarah jarang diterjemakan karena bidang ini dianggap kurang bermanfa’at dan dalam hal bahasa, arab sendiri perkembangan ilmu-ilmu ini sudah sangat maju.
Pada masa ini, ada yang namanya Baitul hikmah yaitu perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat pengembagan ilmu pengetahuan. Pada masa Harun Ar-Rasyid diganti nama menjadi Khizanahal-Hikmah (Khazanah kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Pada masa Al-Ma’mun ia dikembangkan dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah, yang dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan dari Ethiopia dan India. Direktur perpustakaannya seorang nasionalis Persia, Sahl Ibn Harun. Di bawah kekuasaan Al-Ma’mun, lembaga ini sebagai perpustakaan juga sebagai pusat kegiatan study dan riset astronomi dan matematika.[9]
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Itulah sebabnya Philip K. Hitti menyebutnya sebagai kota intelektual, menurutnya Baghdad merupakan professor masyarakat Islam.
Kota Bagdad sebagai pusat intelektual terdapat beberapa pusat aktivitas pengembangan ilmu, antara lain Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu pengetahuan sebagai pusat pengkajian berbagai ilmu. Bagdad juga sebagai pusat penerjemahan buku-buku dari berbagai cabang ilmu yang kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Sebagai ibu kota, Bagdad mencapai puncaknya pada masa Harun Al-Rasyid walaupun kota tersebut belum lima puluh tahun di bangun. Kemegahan dan kemakmuran tercermin dalam istana khalifah yang luasnya sepertiga dari kota Bagdad yang berbentuk bundar itu dengan di lengkapi beberapa bangunan sayap dan ruang audiensi yang di penuhi berbagai perlengkapan yang terindah. Kemewahan istana itu muncul terutama dalam upacara-upacara penobatan khalifah, perkawinan, keberangkatan berhaji, dan jamuan untuk para duta Negara Asing.
Dengan demikian, Dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Bagdad sangat maju sebagai pusat kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan dapat di sebutkan sebagai berikut.
a.       Bidang Agama.
Kemajuan dibidang agama antara lain dalam beberapa bidang ilmu, yaitu ulumul qur’an, ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam,bahasa dan fiqih.




1.      Fiqh:
Pada masa dinasti Abbasiah lahir para tokoh bidang fiqih dan pendiri mazhab antara lain sebagai berikut.
1)      Imam Abu Hanifah (700-767 M).
2)      Imam Malik (713-795 M).
3)      Imam Syafi’I (767-820 M).
4)      Imam Akhmad bin Hanbal (780-855 M).

2.      Ilmu Tafsir
Perkembangan ilmu tafsir pada masa pemerintahan bani Abbasiyah mengalami kemajuan pesat. Di antara para ahli tafsir pada masa dinasti Abbasiyah adalah
1)      Ibnu Jarir Ath-Thabari.
2)      Ibnu Athiyah Al-Andalusi.
3)      Abu Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani.

3.      Ilmu Hadis
Di antara para ahli hadis pada masa dinasti Abbasiyah adalah
1)      Imam Bukhari (194-256 H), Karyanya Shahih Al-Bukhari.
2)      Imam Muslim (w,261 H), Karyanya Shahih Muslim.
3)      Ibnu Majah, karyanya Sunan Ibnu Majah.
4)      Abu Dawud, karyanya Sunan Abu Dawud.
5)      Imam An-Nasa’I, karyanya Sunan An- Nasai.
6)      Imam Baihaqi.

4.      Ilmu Kalam
Kajian para Ahli Ilmu kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surga neraka, serta perdebatan mengenai ketuhanan atau Tauhid, menghasilkan suatu ilmu yaitu ilmu kalam atau teologi. Diantara tokoh ilmu kalam adalah.
1)      Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi, tokoh asy’ariyah.
2)      Washil bin Atha, Abul Huzail Al-Allaf (w.849 M), tokoh Mu’tazilah.
3)      Al-Juba’i






5.      Ilmu bahasa
Diantara ilmu bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah Ilmu Nahwu, sharaf, ilmu bayan, ilmu badi’, dan Arudh. Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, di samping sebagai alat komunikasi antar bangsa. Diantara para ahli ilmu bahasa adalah:
1)      Imam Sibawaih (w.183 H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman.
2)      Al-Kiasi
3)      Abu Zakaria Al-farra (w.208 H) kitap nahwunya terdiri dari 6.000 halaman lebih.

b.      Bidang umum
            Dalam bidang umum antara lain berkembang berbagai kajian dalam bidang filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geometri, aljabar, arietmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran, kimia, sejarah, dan sastra.

1.      Filsafat.
      Kajian filsafat di kalangan umat islam mencapai punKajian filsafat di kalangan umat islam mencapai puncaknya pada masa daulah abbasiyah, diantaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.

2.      Ilmu kedokteran
      Ilmu kedokteran pada masa daulah Abbasiyah berkembang pesat. Rumah-rumah sakit besar dan sekolah dasar banyak didirikan.

3.      Matematika
      Terjemahan dari buku-buku Asing kedalam bahasa Arab. Menghasilkan karya dalam bidang matematika.

4.      Farmasi
Di antara ahli farmasi pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ibnu Baithar, karyanya yangDi antara ahli farmasi pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), jami al-Mufradat Al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).

5.      Ilmu Astronomi
Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi dari berbagai bangsa seperti bangsa Yunani, india, Persia, kaldan, dan ilmu falaq jahiliyah.

6.      Geografi
Dalam bidang geografi umat islam sangat maju, karena sejak semula baangsa Arab merupakan bangsa pedagang yang biasa menempuh jarak jauh untuk berniaga.

7.      Sejarah
      Masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah.

8.      Sastra
Dalam bidang sastra, Bagdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan.[10]
Al-Mahdi (775-785 M) menggantikan Al-Mansyur sebagai khalifah, dan dimasa kekhalifahannya, perekonomian mulai meningkat.
Pada jaman Harun Ar-Rasyid (785-809 M) hidup mewah seperti yang digambarkan dalam cerita seribu satu malam (Alfu Lailah wa Lailah telah memasuki kehidupan masyarakat. Kekayaan yang banyak juga dipergunakan Ar-Rasyid untuk keperluan sosial.
Anaknya Al-Makmun (813-833 M) meningkatkan pada ilmu pengetahuan. Untuk menerjemahkan buku-buku kebudayaan Yunani, ia mengaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen, dan golongan agama lain. Oleh karena itu, Al-Makmun mendirikan Bait Al-Hikmah. Di samping lembaga ini, ia juga mendirikan sekolah-sekolah. Al-Makmun adalah penganut aliran Mu’tazilah yang banyak di pengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan filsafat yunani. Pada masa pemerintahannya Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[11]

Al-Mu’tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), member peluang besar kepada orang-prang turki untuk msuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka di mulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan system ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian , kekuatan militer dinasti Abbas menjadi sangat kuat.
Walaupun demikian , dalam priode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang menggagu stabilitas, baik dari kalangan bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti sisa-sisa Bani Umayah dan kalangan intern bani abbas, Revolusi al-Khawarij di afrika Utara, gerakan zindik di Persia, gerakan syi’ah, dan konflik antar bangsa serta aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat di padamkan.[12]
Puncak kejayaan Dinasti Abbasyiah terjadi pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyidin (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika Ar-Rasyid memerintah, Negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan, dan luas wilayahnya dari Afrika Utara hingga ke India.
Pada masanya hidup juga para filsuf, pujangga, ahli baca Alquran dan para ulama di bidang agama. Didirikan perpustakaan yang di beri nama Baitul Hikmah, di dalamnya orang dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai orang yang taat, menunaikan ibadah haji setiap tahun yang di ikuti oleh keluarga dan pejabat-pejabatnya serta para ulama, dan berderma kepada fakir miskin.
Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu Alquran, qira’at, hadis, fikih, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat mazhab fikih tumbuh dan berkembang pada Dinasti Abbasyiah. Imam Abu Hanifah (meninggal di Bagdad tahun 150 H/677 M) adalah pendiri Mazhab Hanafi. Imam Malik bin Annas yang banyak menulis hadis dan pendiri Mazhab Maliki (wafat di madinah tahun 179 H/795 M). Muhammad bin Idris Ash-Syafi’I (wafat di mesir tahun 204 H/819 M) adalah pendiri Mazhab Syafi’i. Ahmad bin Hambal pendiri mazhab Hambali (w. tahun 241 H/855 M). Di samping itu berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, music, kedokteran dan kimia.
Lembaga pendidikan pada masa Dinasti Abbasyiah mengalami kemajuan dan perkembangan sangat pesat. Hal ini sangat di tentukan oleh perkembangan bahasa arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahsa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan tersebut paling tidak juga di tentukan oleh dua hal, yaitu sebagai berikut.
1.      Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang Ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak masuk islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu member saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
2.      Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa Khalifah Al-Mansyur hingga Harun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak di terjemahkan adalah karya-karya dalam bidang Astronomi dan Mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa Khalifah Al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak di terjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. Pada fase ketiga berlangsung pada fase setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu yang di terjemahkan semakin meluas.

Khalifah Harun Al-Rasyid  merupakan penguasa yang paling kuat di dunia pada saat itu, tidak ada yang menyamainya dalam hal keluasan wilayah yang diperintahnya, dan kekuatan pemerintahannya serta ketinggian kebudayaan dan peradaban yang berkembang di negaranya. Khalifah Harun Al-Rasyid berada pada tingkat yang lebih tinggi peradabannya dan lebih besar kekuasaannya jika dibandingkan dengan Karel Agung di Erofa yang menjalin persahabatan dengannya karena motif saling memamfaatkan. Harun bersahabat dengah Karel untuk menghadap Dinasti Umayyah di Andalusia, sementara Karel berkepentingan dengan khalifah yang tersohor itu untuk menghadapi Bezantium. Baghdad sebagai ibu kota Abbasyiah tidak ada bandingannya ketika itu, walau dengan Konstantinopel sebagai ibu kota Bezantium sekalipun.[13]

C.    Runtuhnya Dinasti Abbasiyah.
Selama periode perang salib, panglima dan pasukan muslim telah menunjukkan sikap yang sangat menawan dan bijaksana. Mereka penuh kesabaran dalam berjuang dan gigih dalam pertahanan, pemaaf dan kesatria. Sementara itu bersamaan dengan periode ini kekhalifahan abbasiyah di Bagdad tengah dilanda konflik politik internal. Bahkan ketika kekuasaannya terancam oleh serangan pasukan perang salib, mereka sama sekali tidak mengambil sikap peduli. Mereka tenang saja di istana Bagdad bermalas-malasan dan boros. Pola kehidupan khalifah yang demikian ini berlangsung terus menerus sampai Bagdad ditundukkan oleh Hulagu khan, cucu Jenghis khan. Hulagu dengan sangat mudah menghancurkan kota bagdad dan membunuh khalifah Abbasiyah yang terakhirr, yakni Al-Mustasim. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1258.M yang menandai akhir masa kekuasaan dinasti Abbasiyah.[14]
Sebagai mana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua, namun demikian factor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang  secara tiba-tiba, benih-benihnya sudah terlihat  pada periode pertama, hanya khalifah pada saat periode ini sangat kuat,benih-benih ini tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para mentri cenderung berperan sebagai pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah,mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak factor yang menyebabkan khalifah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.

D.    Faktor-Faktor Runtuhnya Dinasti Abbasiyah.
Salah satu cara mencermati sebab-sebab hancurnya kekuasaan dinasti Abbasiyah haruslah diteliti dari sikap dan kebijakan para khalifahnya. Bahwa mayoritas khalifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadi dan melalaikan tugas dan kewajiban mereka terhadap Negara. Mereka menjalani kehidupan dengan bermegah-megahan dan bermewah-mewahan. Sekalipun terkadan mereka berusaha mengatasi kondisi politik dalam Negeri yang kritis, namun mereka lebih memusatkan perhatian dan waktunya dengan minuman keras, wanita, dan musik. Bahkan mereka kehilangan semangat perjuangan menegakkan kekuasaannya tatkala datang sebuah pihak asing dengan menumpahkan darah rakyat.[15]
Kerajaan Daulah Abbasyiah juga mementingkan golongan tertentu, yang mestinya kepentingkan ummat Islam secara umum di perhatikan. Namun kenyataannya justru terkadang ingin menudukkan kerajaan-kerajan islam yang sudah menguasai di dairah lain. Hal ini mengakibatkan antara kerajaan islam lainya tidak bersatu, tetapi saling bermusuhan. Permusuhan terjadi disebabkan adanya kepentingan suku, golongan ataupun keturunan belaka yang ingin menundukkan suku lainnya, meskipun mereka adalah saudara seagama.
Disinilah kelemahan paling utama yaitu sipat keserakahan dalam dakam hal kekuasaan. Kelemahan yang kedua adalah memntingkan golongan atau keturunannya sendiri, sehingga golongan lainnya merasa tertekan dan bahkan tidak jarang mereka sering kena caci maki. Inilah yang menimbulkan keretakan daripada keutuhan Negara. Skala prioritas yang di pentingkan bukan persatuan antar suku atau golongan melainkan perebutan kekuasaan oleh keturunan tertentu.[16]
Sikap para khalifah yang mengabaikan urusan kemiliteran turut mendukung kemunduran dinasti ini. Bahwa kelangsungan dan stabilitas suatu imperium sangat bergantung pada kekuatan kemiliteran. Dikarenakan tidak ada program ekspansi pada periode ini, para khalifah tidak menaruh perhatian terhadap urusan kemiliteran ini.[17]
Dan Beberapa faktor penyebab runtuhnya dinasti Abbasiyah diantaranya adalah sebagai berikut:
1.   Faktor Internal
A.    Persaingan Antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah  Abbasiyyah  berdiri, dinasti Bani  Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia dari pada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
Kedua, orang-orang Arab sendiri  terpecah belah dengan adanya Ashabiyyah kesukuan. Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari  Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah darah(ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan  India. Mereka disatukan  dengan  bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa bangsa lain yang melahirkan gerakan syu`ubiyah.

B.     Kemerosotan Ekonomi.
Khalifah Abbasiyyah  juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran dibidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan  Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dan yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baital-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi. Setelah  khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, sementara pengeluaran meningkat lebih besar.
Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah  kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat,  diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.

C.     Konflik Keberagamaan.
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut para khalifah dan orang-orang yang beriman harus diberantas, sehingga menyebabkan  konflik diantara keduanya, mulai polemik  tentang ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah dari kedua belah pihak.


2.   Faktor Eksternal
Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol kewilayah kekuasaan Islam. Sebagai mana telah disebutkan, orang- orang Kristen Eropa terpanggil  untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada diwilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen  Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon  yang  tertarik dengan dengan Perang  Salib  dan  melibatkan diri dalam tentara Salib itu.
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa HulaguKhan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan  orang-orang Mongol yang anti-Islam itu dan  diperkeras di kantong-kantong ahlal-kitab.[18]

Al-Watsiq (842-847 M) untuk melepaskan diri dari pengaruh Turki, mendirikan ibu kota samarra (surra man ra’a ‘gembira orang yang melihatnya) dan pindah dari Bagdad. Akan tetapi di sana tentara khalifah-khalifah justru bertambah mudah di kuasai tentara Turki tersebut.
Al-Mutawakkil (847-861 M) merupakan khalifah besar terakhir dari Dinasti Abbasyiah. Para khalifah sesudahnya pada umumnya lemah dan tidak dapat melawan kehendak tentara pengawal dan sultan-sultan yang kemudian dating menguasai ibu kota. Ibu kota di pindahkan kembali ke Bagdad oleh Mu’tadin (870-892 M).



[2]Baca Badri yatim hlm, 48.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) hlm. 49-50
[4]SamsulMuniramin, SejarahPeradaban Islam,(Jakarta: Sinar Grafika Ofset, 2010) hlm. 25
[5]Ibid., hlm. 26
[6] Op. Cit. hlm. 50-52
[7]Op.Cit.hlm. 144
[8] Husayn Ahmad Amin, seratus tokoh dalam sejarah islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 48
[10] Samsul Munir Op.Cit. hlm.147-152
[11]Samsul Munir Ibit. hlm. 25-26
[12]Badri Yatim Op.Cit. hlm. 53
[13] Samsul munir amin, M.A., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2002, hlm. 144-146
[14]K, Ali.Sejarah Islam dari awal hingga runtuhnya dinasti Usmani.(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000). hlm. 288-289.
[15] Ibid.hal 289
[16]Rasyidi Badri,sejarah dan kebudayaan islam, (Bandung : CV.Armico, 1987) hlm, 77
[17] Op.Cit.hal 290
[18] Ibid.hal. 249

Tidak ada komentar:

Posting Komentar