BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kelahiran
Daulah Abbasyiah
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa
keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada
masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi,
peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu
pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa
asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan
cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di
berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani
Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena
landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Menjelang
tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara, terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang
dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah
pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam, termasuk salah satunya
pengucilan yang dilakukan Bani Umaiyah terhadap kaum mawali yang menyebabkan
ketidak puasan dalam diri mereka dan akhirnya terjadi banyak kerusuhan .
Bani Abbas telah mulai melakukan
upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M)
berkuasa. Khalifah itu dikenal memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan
keluarga Syiah. Keturunan Bani Hasyim dan Bani Abbas yang ditindas oleh Daulah
Umayah bergerak mencari jalan bebas, dimana mereka mendirikan gerakan rahasia
untuk menumbangkan Daulah Umayah dan membangun Daulah Abbasiyah.[1]
Kekuasaan dinasti Abbasyiah atau Khilafah Abbasyiah,
sebagaimana disebutkan,[2]
melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Khalifah Abbasyiah karena
para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti
Abbasyiah didirikan oleh Abdullah
Al-Saffah ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam waktu
yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M). selama dinasti ini
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, social dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan
dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbasyiah menjadi lima periode.
1. Periode
pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh persia pertama.
2. Periode
kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut masa pengaruh turki pertama.
3. Periode
ketiga (334 H/945M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buaih dalam
pemerintah Khalifah Bani Abbasyiah. Periode ini di sebut juga pengaruh Persia
kedua.
4. Priode
Keempat (447 H/1055 M- 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam
pemerintahan Bani Abbasiyah. Biasanya di sebut juga dengan masa pengaruh Turki
kedua.
5. Priode
kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti
lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada periode pertama, pemerintahan bani Abbas
mencapai masa keemasannya, secara politis, para khalifah betul-betul yang kuat
dan merupakan pusat kekuatan politik dan agama sekaligus, di sisi lain, kemakmuran,
masyarakat mencapai tingkat tertinggi, periode ini juga berhasil menyiapkan
bagi landasan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam. Namun
setelah priode ini berahir, Pemerintah Abbas mulai menurun dalam bidang
politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu Al-Abbas, pendiri dinasti ini,
sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 654 M. Karena itu Pembina
sebenarnya dari daulat abbasiyah adalah Abu ja’far Al-Manshur (754 M-775 M).[3]
Karena walaupun Abu Al-Abasyiah
(750-754 M) yang mendirikan Dinasti Abasyiah, tetapi pembangun sebenarnya
adalah Al-Mansyur (754-775 M). Sebagai khalifah
yang baru musuh-musuh ingin menjatuhkannya sebelum iya bertambah kuat, terutama
golongan bani Umayyah, golongan Khawarij, bahkan juga kaum Syi’ah.
Yang mana kaum Syi’ah, setelah melihat bahwa Bani Abasyiah
memonopoli kekuasaan mulai mengambil sikap menentang.[4]
Al-Mansyur merasa kurang aman ditengah-tengah Arab, maka iya mendirikan ibu
kota baru sebagai ganti Damaskus, Baghdad didirikan di dekat bekas ibu kota
Persia, Ctisiphon, pada tahun 762 M. bani Abbasyiah sekarang berada di
tengah-tengah Persia. Untuk tentara pengawalnya Al-Mansyur juga tidak mengambil
dari kalangan bangsa Arab, melainkan dari orang Persia.
Dalam bidang pemerintahan Al-Mansyur mengadakan
tradisi baru dengan mengangkat wazir yang membawahi kepala-kepala departemen.
Untuk memegang jabatan wazir, iya memilih Khalid bin Barmak, seorang yang
berasal dari Balkh (Bectral) di Persia.[5]
Dia
dengan keras menghadapi lawan-lawannya
dari bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa di kucilkan dari
kekuasaan, untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin
menjadi saingan baginya satu persatu di singkirkannya, Abdullah bin Ali dan
Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang di tunjuk sebagai
gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syiria dan Mesir, karena tidak bersedia
membuatnya di bunuh oleh Abu Muslim Al-Khurasani atas pemrintah Abu Ja’far, Abu
muslim sendiri karena di khawatirkan akan menjadi pesaing baginya, di hukum
mati pada tahun 755 M.
Pada mulanya ibu kota Negara Al-Hasyimiah, dekat
Kuffah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang baru
berdiri itu, Al-Mansyur memindahkan ibu Kota Negara ke kota yang baru di
bangunnya, Bagdad dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan
demikian, pusat pemerintahan dinasi Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa
Persia. Di ibu kota yang baru ini Al-Mansyur melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya. Dia menganggkat sejumlah personal untuk menduduki
jabatan di sebuah lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia
menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai kordinator departemen,
Wazir pertama yang di angkat adalah Khalid bin Barmark, berasal dari Balk,
Persia. Dia juga membentuk lembaga Protokol Negara, sekretaris Negara, dan
kepolisian Negara di samping membenahi angkatan bersenjata, dia menunjuk
Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman Negara. Jabatan
pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani
Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas, Kalau dulu hanya
sekedar untuk mengantar surat, Pada masa Al-Manshur, Jawatan pos di tugaskan
untuk menghimpun seluruh informasin di daerah-daerah sehingga administrasi
kenegaraan dapat berjalan dengan lancer. Para direktur jabatan pos bertugas
melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah Al-Manshur berusaha menaklukan kembali
daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah, dan menetapkan
keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut
benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada
tahun 756-758 M. ke utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati
selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine 5 dan
selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala
tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di kaukasus, Daylami di
laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.
Pada masa Al-Manshur, pengerian khalifah kembali
berubah. Dia berkata,”Innama ana Shulthan Allah fiardhihi (Sesungguhnya
saya adalah kekuasaan Tuhan di Bumi-Nya )”, dengan demikian Konsep khilafah
dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya yang merupakan mandate
dari Allah, bukan dari manusia, bukan juga sekedar pelanjut nabi sebagaimana
pada masa al-khulafa al-rasyadun. Di samping itu, berbeda di daulat
Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar Tahta”. Seperti Al-Manshur
adalah “gelar tahta” Abu ja’far “gelar tahta” itu lebih popular dri pada nama
yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah di
letakkan dan di bangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu ja’far Al-Manshur, maka puncak
keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu:
a. Al-Mahdi
(775-785 M)
b. Al-Hadi
(775-786 M)
c. Harun
Ar-Rasyid (786-809 M)
d. Al
Makmun (813- 833M)
e. Al-Mu’tashim
(833-842M)
f. Al
Wasiq (842-847 M)
g. Al-Mutawakkil
(847-861 M). [6]
B. Masa
Kejayaan Peradaban Dinasti Abbasyiah
Pada periode pertama pemerintah Bani Abbasyiah
mencapai masa keemasan. Secara politis khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus agama. Di sisi lain kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang
bahkan mencapai kejayaannya pada masa Abbasyiah. Hal tersebut dikarenakan
Dinasti Abbasyiah pada periode ini lebih menekankan pada pembinaan peradaban
dan kebudayaan islam dari pada perluasan wilayah. Di sini letak perbedaan pokok
antara Dinasti Ummayah dan Dinasti Abbasyiah.[7]
Al-Manshur adalah khalifah bani Abbas yang paling
besar. Dialah pendiri kota Bagdad, peletak dasar dan landasan pemerintahan
daulah Abbasiyah.
Selama masa pemerintahannya, dia sibuk mengamankan
batas imperiumnya yang sangat luas dari serangan Bizantiyum dan Turki, Daylam
dan India. Selain itu, ia menyingkirkan orang-orang yang berambisi untuk
menjadi khalifah, seperti pamannya sendiri, Abdullah bin Ali, atau orang yang
ingin merdeka dan memisahkan diri dari pemerintahannya, seperti Abu Muslim
al-Khurasani, dia berhasil memadamkan pemberontakan para Alawiyin (orang-orang
yang memiliki garis keturunan dari Ali) dan pemberontakan antar Mazhab di
Khurasan.[8]
Peristiwa – Peristiwa Penting Dan Tokoh – Tokoh Yang Berprestasi Dalam
Perkembangan Islam Periode Klasik
A.
Sistem Politik, Pemerintahan dan
Sosial
1. Sistem
Politik dan Pemerintahan Khalifah pertama Bani Abbasiyah, Abdul Abbas yang
sekaligus dianggap sebagai pendiri Bani Abbas, menyebut dirinya dengan julukan
Al-Saffah yang berarti Sang Penumpah Darah. Sedangkan Khalifah Abbasiyah kedua
mengambil gelar Al-Mansur dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah. Di
bawah Abbasiyah, kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Dinasti ini
muncul dengan bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan terhadap bani
Umayyah di dalam masalah sosial ddan pilitik diskriminas. Khalifah-khalifah
Abbasiyah yang memakai gelar ”Imam”, pemimpin masyarakat muslim bertujuan untuk
menekankan arti keagamaan kekhalifahan. Abbasiyah mencontoh tradisi Umayyah di
dalam mengumumkan lebih dari satu putra mahkota raja.
Al-Mansur dianggap sebagai pendiri kedua dari Dinasti Abbasiyah. Di masa pemerintahannya Baghdad dibagun menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah dan merupakan pusat perdagangan serta kebudayaan. Hingga Baghdad dianggap sebagai kota terpenting di dunia pada saat itu yang kaya akan ilmu pengetahuan dan kesenian. Hingga beberapa dekade kemudian dinasti Abbasiyah mencapai masa kejayaan.
Al-Mansur dianggap sebagai pendiri kedua dari Dinasti Abbasiyah. Di masa pemerintahannya Baghdad dibagun menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah dan merupakan pusat perdagangan serta kebudayaan. Hingga Baghdad dianggap sebagai kota terpenting di dunia pada saat itu yang kaya akan ilmu pengetahuan dan kesenian. Hingga beberapa dekade kemudian dinasti Abbasiyah mencapai masa kejayaan.
Ada beberapa sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Abbasiyah, yaitu
:
a)
Para Khalifah tetap dari
keturunan Arab murni, sedangkan pejabat lainnya diambil dari kaum mawalli.
b)
Kota Bagdad dijadikan sebagai ibu
kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan ataupun
kebudayaan serta terbuka untuk siapa saja, termasuk bangsa dan penganut agama
lain.
Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang harus dikembangkan.
Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang harus dikembangkan.
c)
Kebebasan berpikir sebagai hak
asasi manusia.
2.
Sistem Sosial
Pada masa ini, sistem sosial adalah sambungan dari masa sebelumnya (Masa
Dinasti Umaiyah). Akan tetapi, pada masa ini terjadi beberapa perubahan yang
sangat mencolok, yaitu :
a.
Tampilnya kelompok mawali dalam
pemerintahan serta mendapatkan tempat yang sama dalam kedudukan social
b.
Kerajaan Islam Daulah Abbasiyah
terdiri dari beberapa bangsa ang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab
dll.)
c.
Perkawinan campur yang melahirkan
darah campuran
d.
Terjadinya pertukaran pendapat,
sehingga muncul kebudayaan baru .
B.
Gerakan penerjemahan
Meski kegiatan penerjemahan sudah dimulai sejak
Daulah Umayyah, upaya untuk menerjemahkan dan menskrinsip berbahasa asing terutama
bahasa yunani dan Persia ke dalam bahasa arab mengalami masa keemasan pada masa
Daulah Abbasiyah. Para ilmuan diutus ke daiah Bizantium untuk mencari
naskah-naskah yunani dalam berbagai ilmu terutama filasafat dan kedokteran.
Pelopor gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan daulah Abbasiyah adalah Khalifah Al-Mansyur yang juga membangun Ibu kota Baghdad. Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama dalam bidang astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudian naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam masa keemasan, karya yang banyak diterjemahkan tentang ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan namun, karya-karya berupa puisi, drama, cerpen dan sejarah jarang diterjemakan karena bidang ini dianggap kurang bermanfa’at dan dalam hal bahasa, arab sendiri perkembangan ilmu-ilmu ini sudah sangat maju.
Pelopor gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan daulah Abbasiyah adalah Khalifah Al-Mansyur yang juga membangun Ibu kota Baghdad. Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama dalam bidang astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudian naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam masa keemasan, karya yang banyak diterjemahkan tentang ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan namun, karya-karya berupa puisi, drama, cerpen dan sejarah jarang diterjemakan karena bidang ini dianggap kurang bermanfa’at dan dalam hal bahasa, arab sendiri perkembangan ilmu-ilmu ini sudah sangat maju.
Pada masa ini, ada yang namanya Baitul hikmah yaitu
perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat pengembagan ilmu pengetahuan. Pada
masa Harun Ar-Rasyid diganti nama menjadi Khizanahal-Hikmah (Khazanah
kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Pada
masa Al-Ma’mun ia dikembangkan dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah, yang
dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno
yang didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan dari Ethiopia dan India.
Direktur perpustakaannya seorang nasionalis Persia, Sahl Ibn Harun. Di bawah
kekuasaan Al-Ma’mun, lembaga ini sebagai perpustakaan juga sebagai pusat
kegiatan study dan riset astronomi dan matematika.[9]
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat
peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Itulah sebabnya Philip
K. Hitti menyebutnya sebagai kota intelektual, menurutnya Baghdad merupakan
professor masyarakat Islam.
Kota Bagdad sebagai pusat intelektual terdapat
beberapa pusat aktivitas pengembangan ilmu, antara lain Baitul Hikmah, yaitu
lembaga ilmu pengetahuan sebagai pusat pengkajian berbagai ilmu. Bagdad juga
sebagai pusat penerjemahan buku-buku dari berbagai cabang ilmu yang kemudian di
terjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Sebagai ibu kota, Bagdad mencapai puncaknya pada
masa Harun Al-Rasyid walaupun kota tersebut belum lima puluh tahun di bangun.
Kemegahan dan kemakmuran tercermin dalam istana khalifah yang luasnya sepertiga
dari kota Bagdad yang berbentuk bundar itu dengan di lengkapi beberapa bangunan
sayap dan ruang audiensi yang di penuhi berbagai perlengkapan yang terindah.
Kemewahan istana itu muncul terutama dalam upacara-upacara penobatan khalifah,
perkawinan, keberangkatan berhaji, dan jamuan untuk para duta Negara Asing.
Dengan
demikian, Dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Bagdad sangat maju sebagai pusat
kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam berbagai
bidang kehidupan dapat di sebutkan sebagai berikut.
a. Bidang
Agama.
Kemajuan
dibidang agama antara lain dalam beberapa bidang ilmu, yaitu ulumul qur’an,
ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam,bahasa dan fiqih.
1.
Fiqh:
Pada masa dinasti
Abbasiah lahir para tokoh bidang fiqih dan pendiri mazhab antara lain sebagai
berikut.
1) Imam
Abu Hanifah (700-767 M).
2) Imam
Malik (713-795 M).
3) Imam
Syafi’I (767-820 M).
4) Imam
Akhmad bin Hanbal (780-855 M).
2.
Ilmu Tafsir
Perkembangan
ilmu tafsir pada masa pemerintahan bani Abbasiyah mengalami kemajuan pesat. Di
antara para ahli tafsir pada masa dinasti Abbasiyah adalah
1)
Ibnu Jarir Ath-Thabari.
2)
Ibnu Athiyah
Al-Andalusi.
3)
Abu Muslim Muhammad bin
Bahar Isfahani.
3.
Ilmu Hadis
Di
antara para ahli hadis pada masa dinasti Abbasiyah adalah
1)
Imam Bukhari (194-256
H), Karyanya Shahih Al-Bukhari.
2)
Imam Muslim (w,261 H),
Karyanya Shahih Muslim.
3)
Ibnu Majah, karyanya
Sunan Ibnu Majah.
4)
Abu Dawud, karyanya
Sunan Abu Dawud.
5)
Imam An-Nasa’I,
karyanya Sunan An- Nasai.
6)
Imam Baihaqi.
4.
Ilmu Kalam
Kajian para Ahli Ilmu
kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surga neraka, serta perdebatan
mengenai ketuhanan atau Tauhid, menghasilkan suatu ilmu yaitu ilmu kalam atau
teologi. Diantara tokoh ilmu kalam adalah.
1)
Imam Abul Hasan Al-Asy’ari
dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi, tokoh asy’ariyah.
2)
Washil bin Atha, Abul
Huzail Al-Allaf (w.849 M), tokoh Mu’tazilah.
3)
Al-Juba’i
5.
Ilmu bahasa
Diantara ilmu
bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah Ilmu Nahwu, sharaf,
ilmu bayan, ilmu badi’, dan Arudh. Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu
pengetahuan, di samping sebagai alat komunikasi antar bangsa. Diantara para
ahli ilmu bahasa adalah:
1)
Imam Sibawaih (w.183
H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman.
2)
Al-Kiasi
3)
Abu Zakaria Al-farra
(w.208 H) kitap nahwunya terdiri dari 6.000 halaman lebih.
b.
Bidang umum
Dalam bidang umum antara lain
berkembang berbagai kajian dalam bidang filsafat, logika, metafisika,
matematika, ilmu alam, geometri, aljabar, arietmatika, mekanika, astronomi,
musik, kedokteran, kimia, sejarah, dan sastra.
1.
Filsafat.
Kajian filsafat di kalangan umat islam
mencapai punKajian filsafat di kalangan umat islam mencapai puncaknya pada masa
daulah abbasiyah, diantaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani ke dalam
bahasa Arab.
2.
Ilmu kedokteran
Ilmu kedokteran pada masa daulah Abbasiyah
berkembang pesat. Rumah-rumah sakit besar dan sekolah dasar banyak didirikan.
3.
Matematika
Terjemahan dari buku-buku Asing kedalam
bahasa Arab. Menghasilkan karya dalam bidang matematika.
4.
Farmasi
Di antara ahli farmasi
pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ibnu Baithar, karyanya yangDi antara ahli
farmasi pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ibnu Baithar, karyanya yang terkenal
adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), jami al-Mufradat Al-Adawiyah
(berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).
5.
Ilmu Astronomi
Kaum muslimin mengkaji
dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi dari berbagai bangsa seperti
bangsa Yunani, india, Persia, kaldan, dan ilmu falaq jahiliyah.
6. Geografi
Dalam bidang geografi
umat islam sangat maju, karena sejak semula baangsa Arab merupakan bangsa
pedagang yang biasa menempuh jarak jauh untuk berniaga.
7. Sejarah
Masa dinasti Abbasiyah banyak muncul
tokoh-tokoh sejarah.
8. Sastra
Dalam bidang sastra,
Bagdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan.[10]
Al-Mahdi
(775-785 M) menggantikan Al-Mansyur sebagai khalifah, dan dimasa
kekhalifahannya, perekonomian mulai meningkat.
Pada jaman Harun Ar-Rasyid (785-809 M) hidup mewah
seperti yang digambarkan dalam cerita seribu satu malam (Alfu Lailah wa Lailah
telah memasuki kehidupan masyarakat. Kekayaan yang banyak juga dipergunakan
Ar-Rasyid untuk keperluan sosial.
Anaknya Al-Makmun (813-833 M) meningkatkan pada ilmu
pengetahuan. Untuk menerjemahkan buku-buku kebudayaan Yunani, ia mengaji
penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen, dan golongan agama lain. Oleh
karena itu, Al-Makmun mendirikan Bait Al-Hikmah. Di samping lembaga ini, ia
juga mendirikan sekolah-sekolah. Al-Makmun adalah penganut aliran Mu’tazilah yang
banyak di pengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan filsafat yunani. Pada masa
pemerintahannya Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[11]
Al-Mu’tashim, khalifah berikutnya (833-842 M),
member peluang besar kepada orang-prang turki untuk msuk dalam pemerintahan,
keterlibatan mereka di mulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa
daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan system ketentaraan.
Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara
khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian , kekuatan
militer dinasti Abbas menjadi sangat kuat.
Walaupun demikian , dalam priode ini banyak
tantangan dan gerakan politik yang menggagu stabilitas, baik dari kalangan bani
Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti sisa-sisa Bani
Umayah dan kalangan intern bani abbas, Revolusi al-Khawarij di afrika Utara,
gerakan zindik di Persia, gerakan syi’ah, dan konflik antar bangsa serta aliran
pemikiran keagamaan, semuanya dapat di padamkan.[12]
Puncak kejayaan Dinasti Abbasyiah terjadi pada masa
Khalifah Harun Ar-Rasyidin (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M).
Ketika Ar-Rasyid memerintah, Negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah,
keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan, dan luas wilayahnya dari
Afrika Utara hingga ke India.
Pada masanya hidup juga para filsuf, pujangga, ahli
baca Alquran dan para ulama di bidang agama. Didirikan perpustakaan yang di
beri nama Baitul Hikmah, di dalamnya orang dapat membaca, menulis dan
berdiskusi. Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai orang yang taat, menunaikan ibadah
haji setiap tahun yang di ikuti oleh keluarga dan pejabat-pejabatnya serta para
ulama, dan berderma kepada fakir miskin.
Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan agama,
seperti ilmu Alquran, qira’at, hadis, fikih, ilmu kalam, bahasa dan sastra.
Empat mazhab fikih tumbuh dan berkembang pada Dinasti Abbasyiah. Imam Abu
Hanifah (meninggal di Bagdad tahun 150 H/677 M) adalah pendiri Mazhab Hanafi.
Imam Malik bin Annas yang banyak menulis hadis dan pendiri Mazhab Maliki (wafat
di madinah tahun 179 H/795 M). Muhammad bin Idris Ash-Syafi’I (wafat di mesir
tahun 204 H/819 M) adalah pendiri Mazhab Syafi’i. Ahmad bin Hambal pendiri
mazhab Hambali (w. tahun 241 H/855 M). Di samping itu berkembang pula ilmu
filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar,
aritmatika, mekanika, astronomi, music, kedokteran dan kimia.
Lembaga pendidikan pada masa Dinasti Abbasyiah
mengalami kemajuan dan perkembangan sangat pesat. Hal ini sangat di tentukan
oleh perkembangan bahasa arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah
berlaku sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahsa ilmu pengetahuan. Di samping
itu, kemajuan tersebut paling tidak juga di tentukan oleh dua hal, yaitu sebagai
berikut.
1. Terjadinya
asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang Ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan
Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak masuk islam. Asimilasi berlangsung secara
efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu member saham tertentu dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
2. Gerakan
penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa Khalifah
Al-Mansyur hingga Harun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak di terjemahkan
adalah karya-karya dalam bidang Astronomi dan Mantiq. Fase kedua berlangsung
mulai masa Khalifah Al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak di
terjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. Pada fase ketiga berlangsung
pada fase setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Selanjutnya bidang-bidang ilmu yang di terjemahkan semakin meluas.
Khalifah Harun Al-Rasyid merupakan penguasa yang paling kuat di dunia
pada saat itu, tidak ada yang menyamainya dalam hal keluasan wilayah yang
diperintahnya, dan kekuatan pemerintahannya serta ketinggian kebudayaan dan
peradaban yang berkembang di negaranya. Khalifah Harun Al-Rasyid berada pada
tingkat yang lebih tinggi peradabannya dan lebih besar kekuasaannya jika
dibandingkan dengan Karel Agung di Erofa yang menjalin persahabatan dengannya
karena motif saling memamfaatkan. Harun bersahabat dengah Karel untuk menghadap
Dinasti Umayyah di Andalusia, sementara Karel berkepentingan dengan khalifah
yang tersohor itu untuk menghadapi Bezantium. Baghdad sebagai ibu kota
Abbasyiah tidak ada bandingannya ketika itu, walau dengan Konstantinopel
sebagai ibu kota Bezantium sekalipun.[13]
C. Runtuhnya
Dinasti Abbasiyah.
Selama
periode perang salib, panglima dan pasukan muslim telah menunjukkan sikap yang
sangat menawan dan bijaksana. Mereka penuh kesabaran dalam berjuang dan gigih
dalam pertahanan, pemaaf dan kesatria. Sementara itu bersamaan dengan periode
ini kekhalifahan abbasiyah di Bagdad tengah dilanda konflik politik internal.
Bahkan ketika kekuasaannya terancam oleh serangan pasukan perang salib, mereka
sama sekali tidak mengambil sikap peduli. Mereka tenang saja di istana Bagdad
bermalas-malasan dan boros. Pola kehidupan khalifah yang demikian ini
berlangsung terus menerus sampai Bagdad ditundukkan oleh Hulagu khan, cucu
Jenghis khan. Hulagu dengan sangat mudah menghancurkan kota bagdad dan membunuh
khalifah Abbasiyah yang terakhirr, yakni Al-Mustasim. Peristiwa ini terjadi
pada tahun 1258.M yang menandai akhir masa kekuasaan dinasti Abbasiyah.[14]
Sebagai mana
dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa
kemunduran
dimulai
sejak
periode
kedua, namun demikian factor-faktor
penyebab
kemunduran
itu
tidak datang secara tiba-tiba,
benih-benihnya sudah terlihat pada
periode
pertama,
hanya
khalifah pada
saat
periode
ini sangat kuat,benih-benih ini tidak
sempat
berkembang.
Dalam
sejarah
kekuasaan
Bani
Abbas terlihat
bahwa apabila khalifah kuat,
para
mentri cenderung berperan
sebagai pegawai sipil,
tetapi jika khalifah lemah,mereka
akan
berkuasa mengatur
roda
pemerintahan.
Disamping kelemahan
khalifah,
banyak
factor yang
menyebabkan
khalifah
Abbasiyah menjadi
mundur,
masing-masing faktor
tersebut
saling berkaitan
satu sama
lain.
D. Faktor-Faktor
Runtuhnya Dinasti Abbasiyah.
Salah
satu cara mencermati sebab-sebab hancurnya kekuasaan dinasti Abbasiyah haruslah
diteliti dari sikap dan kebijakan para khalifahnya. Bahwa mayoritas khalifah
Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadi dan melalaikan tugas
dan kewajiban mereka terhadap Negara. Mereka menjalani kehidupan dengan
bermegah-megahan dan bermewah-mewahan. Sekalipun terkadan mereka berusaha
mengatasi kondisi politik dalam Negeri yang kritis, namun mereka lebih
memusatkan perhatian dan waktunya dengan minuman keras, wanita, dan musik.
Bahkan mereka kehilangan semangat perjuangan menegakkan kekuasaannya tatkala
datang sebuah pihak asing dengan menumpahkan darah rakyat.[15]
Kerajaan
Daulah Abbasyiah juga mementingkan golongan tertentu, yang mestinya
kepentingkan ummat Islam secara umum di perhatikan. Namun kenyataannya justru
terkadang ingin menudukkan kerajaan-kerajan islam yang sudah menguasai di
dairah lain. Hal ini mengakibatkan antara kerajaan islam lainya tidak bersatu,
tetapi saling bermusuhan. Permusuhan terjadi disebabkan adanya kepentingan
suku, golongan ataupun keturunan belaka yang ingin menundukkan suku lainnya,
meskipun mereka adalah saudara seagama.
Disinilah
kelemahan paling utama yaitu sipat keserakahan dalam dakam hal kekuasaan.
Kelemahan yang kedua adalah memntingkan golongan atau keturunannya sendiri,
sehingga golongan lainnya merasa tertekan dan bahkan tidak jarang mereka sering
kena caci maki. Inilah yang menimbulkan keretakan daripada keutuhan Negara.
Skala prioritas yang di pentingkan bukan persatuan antar suku atau golongan
melainkan perebutan kekuasaan oleh keturunan tertentu.[16]
Sikap
para khalifah yang mengabaikan urusan kemiliteran turut mendukung kemunduran
dinasti ini. Bahwa kelangsungan dan stabilitas suatu imperium sangat bergantung
pada kekuatan kemiliteran. Dikarenakan tidak ada program ekspansi pada periode
ini, para khalifah tidak menaruh perhatian terhadap urusan kemiliteran ini.[17]
Dan Beberapa faktor penyebab runtuhnya dinasti
Abbasiyah diantaranya
adalah sebagai
berikut:
1. Faktor
Internal
A.
Persaingan Antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh
Bani
Abbas yang
bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan
dilatar belakangi oleh
persamaan nasib kedua golongan itu pada
masa Bani Umayyah
berkuasa.
Keduanya sama-sama
tertindas.
Setelah khilafah Abbasiyyah berdiri,
dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska, ada dua sebab
dinasti Bani Abbas memilih orang-orang
Persia dari pada
orang-orang Arab. Pertama,
sulit
bagi orang-orang
Arab untuk
melupakan
Bani
Umayyah.
Pada
masa itu mereka
merupakan warga kelas
satu.
Kedua, orang-orang
Arab sendiri terpecah
belah
dengan adanya
Ashabiyyah kesukuan. Meskipun demikian,
orang-orang Persia
tidak merasa
puas.
Mereka
menginginkan
sebuah
dinasti
dengan raja
dan pegawai
dari Persia
pula. Sementara itu, bangsa
Arab beranggapan
bahwa
darah
yang
mengalir ditubuh mereka adalah darah(ras) istimewa dan mereka
menganggap
rendah
bangsa
non-Arab di
dunia
Islam.
Selain itu, wilayah
kekuasaan
Abbasiyyah pada periode pertama
sangat
luas, meliputi
berbagai
bangsa yang
berbeda,
seperti Maroko,
Mesir, Syria,
Irak,
Persia,
Turki
dan
India.
Mereka
disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak
ada
kesadaran
yang merajut
elemen-elemen
yang bermacam-macam tersebut dengan
kuat. Akibatnya,
disamping fanatisme kearaban, muncul
juga fanatisme
bangsa
bangsa lain
yang melahirkan
gerakan
syu`ubiyah.
B.
Kemerosotan Ekonomi.
Khalifah
Abbasiyyah juga
mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran
dibidang politik.
Pada
periode
pertama,
pemerintahan Bani
Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya.
Dan
yang masuk
lebih besar dari yang
keluar,
sehingga Baital-Mal penuh
dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh
dari
al-Kharaj, semacam
pajak hasil bumi. Setelah khilafah
memasuki
periode
kemunduran, pendapatan Negara menurun,
sementara
pengeluaran
meningkat
lebih besar.
Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan oleh
makin
menyempitnya wilayah kekuasaan,
banyaknya
terjadi
kerusuhan yang
mengganggu
perekonomian
rakyat, diperingannya pajak
dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran
membengkak
antara lain
disebabkan oleh
kehidupan para khalifah
dan pejabat
semakin
mewah,
jenis pengeluaran
makin
beragam,
dan para pejabat melakukan
korupsi.
C.
Konflik Keberagamaan.
Fanatisme keagamaan
berkaitan
erat dengan
persoalan kebangsaan.
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan
mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini dikenal dengan gerakan Zindiq yang
menyebabkan menurut para khalifah
dan orang-orang
yang beriman harus diberantas,
sehingga menyebabkan konflik diantara
keduanya, mulai polemik
tentang ajaran
hingga
berlanjut
kepada
konflik bersenjata
yang menumpahkan darah
dari
kedua belah
pihak.
2.
Faktor Eksternal
Disamping itu,
ada pula faktor-faktor eksternal
yang menyebabkan
khalifah Abbasiyah
lemah dan akhirnya hancur. Pertama,
perang
salib
yang berlangsung beberapa gelombang atau
periode
dan menelan
banyak
korban. Kedua, serangan
tentara
Mongol
kewilayah
kekuasaan Islam. Sebagai mana telah disebutkan, orang- orang Kristen Eropa terpanggil
untuk
ikut berperang setelah Paus Urbanus II
(1088-1099M) mengeluarkan fatwanya. Perang
Salib itu juga
membakar semangat perlawanan
orang-orang Kristen yang
berada
diwilayah kekuasaan
Islam. Namun,
di antara
komunitas-komunitas
Kristen Timur, hanya
Armenia dan
Maronit Lebanon yang tertarik dengan
dengan Perang Salib dan melibatkan
diri dalam
tentara
Salib itu.
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol.
Disebutkan bahwa
HulaguKhan,
panglima tentara Mongol,
sangat
membenci Islam karena ia
banyak
dipengaruhi oleh
orang-orang Budha dan Kristen Nestorian.
Gereja-gereja
Kristen
berasosiasi
dengan
orang-orang
Mongol
yang anti-Islam itu dan
diperkeras
di kantong-kantong
ahlal-kitab.[18]
Al-Watsiq (842-847 M) untuk melepaskan diri dari
pengaruh Turki, mendirikan ibu kota samarra (surra man ra’a ‘gembira orang yang
melihatnya) dan pindah dari Bagdad. Akan tetapi di sana tentara
khalifah-khalifah justru bertambah mudah di kuasai tentara Turki tersebut.
Al-Mutawakkil (847-861 M) merupakan khalifah
besar terakhir dari Dinasti Abbasyiah. Para khalifah sesudahnya pada umumnya
lemah dan tidak dapat melawan kehendak tentara pengawal dan sultan-sultan yang
kemudian dating menguasai ibu kota. Ibu kota di pindahkan kembali ke Bagdad
oleh Mu’tadin (870-892 M).
[2]Baca Badri yatim hlm, 48.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007) hlm. 49-50
[4]SamsulMuniramin, SejarahPeradaban
Islam,(Jakarta: Sinar Grafika Ofset, 2010) hlm. 25
[5]Ibid., hlm. 26
[6] Op. Cit. hlm. 50-52
[7]Op.Cit.hlm. 144
[8] Husayn Ahmad Amin, seratus tokoh dalam sejarah islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 48
[10] Samsul Munir Op.Cit. hlm.147-152
[11]Samsul Munir Ibit. hlm. 25-26
[12]Badri Yatim Op.Cit. hlm. 53
[13] Samsul munir amin, M.A., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2002, hlm. 144-146
[14]K, Ali.Sejarah Islam dari awal hingga runtuhnya dinasti Usmani.(Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2000). hlm. 288-289.
[15] Ibid.hal 289
[16]Rasyidi Badri,sejarah dan kebudayaan islam, (Bandung : CV.Armico,
1987) hlm, 77
[17] Op.Cit.hal 290
[18] Ibid.hal. 249
Tidak ada komentar:
Posting Komentar