Senin, 25 November 2013

B. Kaidah Al-Umuru Bimaqaasidiha



a.       Pengertian
Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya. Dengan kata lain, setiap mukallap dan berbagai bentuknya serta hubungannya, baik dalam ucapannya,perbuatan, dan sebagainya bergantung pada niatnya. Niat dan motif yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi kreteria yang menentukan nilai dan status hokum yang iya lakukan.
b.      Sumber pengambilan
Sumber pengambilan kaidah ini, antara lain:
1.      Firman Allah swt  dalam surah al-bayyinah ayat 5 yang artinya:
“dam mereka tidak disuruh, kecuali untuk menyembah allah dengan memurnikan keta’atan kepadanya dalam agama yang lurus”
2.      Firman Allah swt  dalam surah Al-Imran ayat 145 yang artinya:
“barang siapa yang menghendaki pahala dunia, kami berikan pahala itu dan barang siapa pahala di akherat, kami berikan kepadanya pahala akherat itu. Dan kami akan memberikan pahala kepada orang-orang yang bersyukur.”
3.      Hadis yang diriwayatkan bukhari yang artinya:
“sesungguhnya segala amal bergantung pada niat. Dan sesungguhnya bagi seseorang hanyalah apa yang iya niati.” (HR.Bukhari)

B. Kaidah Al-Umuru Bimaqaasidiha



a.       Pengertian
Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya. Dengan kata lain, setiap mukallap dan berbagai bentuknya serta hubungannya, baik dalam ucapannya,perbuatan, dan sebagainya bergantung pada niatnya. Niat dan motif yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi kreteria yang menentukan nilai dan status hokum yang iya lakukan.
b.      Sumber pengambilan
Sumber pengambilan kaidah ini, antara lain:
1.      Firman Allah swt  dalam surah al-bayyinah ayat 5 yang artinya:
“dam mereka tidak disuruh, kecuali untuk menyembah allah dengan memurnikan keta’atan kepadanya dalam agama yang lurus”
2.      Firman Allah swt  dalam surah Al-Imran ayat 145 yang artinya:
“barang siapa yang menghendaki pahala dunia, kami berikan pahala itu dan barang siapa pahala di akherat, kami berikan kepadanya pahala akherat itu. Dan kami akan memberikan pahala kepada orang-orang yang bersyukur.”
3.      Hadis yang diriwayatkan bukhari yang artinya:
“sesungguhnya segala amal bergantung pada niat. Dan sesungguhnya bagi seseorang hanyalah apa yang iya niati.” (HR.Bukhari)

Contoh- contoh pengaplikasian qa’idah Al-Umuuru Biamaqaashidihaa.dalam menentukan sebuah hukum



a.       Dalam aspek ibadah.
Ø  Seseorang yang membasuh wajahnya, sedangkat niat nya untuk berwudhu, atau untuk menyegarkan wajahnya saja. Jika iya berniat untuk berwudhu, maka membasuh wajah tadi dihukumkan sebagai salah satu rukun wudhu, jika tidak maka sebaliknya. dan Jika dia membasuh wajah tanpa ada niat, maka membasuh wajah itu dihukumkan sebagai adat kebiasaan untuk membersihkan wajah dan tidak bernilai ibadah sama sekali.
Ø  Seseorang yang tidak makan dan minum sejak dari waktu sahur sampai sore. Jika niat nya berpuasa maka ia dapat nilai ibadah puasa. Tapi jika niatnya hanya sekedar untuk melangsingkan tubuhnya, atau karena memang tidak ada yang dapat dia makan, maka dia tidak mendapatkan nilai ibadah puasa.
Ø  Seseorang yang mandi dilandasi dengan adanya niat maka akan berbeda dengan orang yang mandi biasa, seperti halnya orang berniat mandi wajib dan orang yang hanya mandi untuk menyegarkan tubuhnya saja. Maka nilainya pun jau berbeda, yang satu bernilai ibadah wajib dan yang hasu hanya sebagai kebiasaan saja.
b.       Dalam aspek muamalat.
B.     Mu’amalat mencakup tentang jual beli, gadai, hutang-piutang dan lain sebagainya, contoh yang mudah untuk kita kaitkan kedalam qa’idah Al-Umuuru Biamaqaashidihaa adalah tentang jual beli. Contoh :
Ø  Sesorang yang  memperdagangkan benda-benda tajam/senjata api, seperti pedang, pisau, pistol, dan lain sebagainya. Jika niatnya menjual barang tersebut untuk para penjahat seperti perampok, preman, dan lain sebagainya yang kebiasaannya mencelakai orang lain dengan benda tersebut, maka perdagangannya itu diharamkan. Tetapi jika niatnya hanya untuk menjual kepada orang yang akan menggunakannya dengan semestinya( bukan untuk mencelakai orang lain ) maka perdagangan itu diperbolehkan.
c.       Dalam aspek munakahat.
Contoh dalam masalah kinayah talaq :
Ø  Seorang suami mengatakan kepada istrinya “ pulang  saja kerumah orang tuamu “, jika qasad nya dengan mengucapkan kalimat tersebut sebagai sighat talaq, maka jatuhlah talaq atas istrinya. Tetapi jika tujuannya hanya menyuruh istrinya untuk pulang ke rumah orang tuanya, maka tidak jatuh talaq.
Ø  Saya sebagai suami mempunya istri bernama Naima. Lalu saya mengatakan “ Naima Thaaliqun “. Jika  yang saya maksud dengan Naima di sana adalah istri saya maka jatuhlah talaq saya atas istrinya.  Tetapi jika yang saya maksud bukan Naima istri saya, maka tidak jatuh talaq saya atas istri saya tersebut.
d.      Dalam aspek Jinayat.
Termasuk dalam jinayat adalah pembunuhan dan lain sebagainya. Membunuh merupaka dosa besar setelah kekafiran. Dengan diadakan hukum  qisas atau dimaafkan, maka tidak ada lagi tuntutan di akhirat. Dan hukum qisas tidak akan dilaksanakan kecuali atas orang yang bersengaja untuk melakukan sebuah kezhaliman.
Contoh:
Ø  Seseorang melihat sema-semak yang mergoyang-goyang, sehingga ia menyangka ada seekor kijang dibalik semak-semak tersebut, kemudian ia  tembak, ternyata yang ia tembak tersebut adalah seseorang.  Maka ia tidak dikenakan hukum qisas, karena tidak sengaja (tersalah). Niatnya menembak kijang, ternyata mengenai manusia.
Ø  Apabila orang yang meminjami mengambil harta orang yang meminjam(berhutang), dengan niat harta yang ia ambil it sebagai bayaran hutangnya, maka orang yang mengambil tadi tidak dihukumkan mencuri dan tidak kena hukuman(seperti potong tangan), tetapi jika niatnya dengan mengambil harta tersebut adalah mencuri, maka dia kena hukuman, yaitu potong tangan.
Demikianlah beberapa contoh yang dapat penulis paparkan, semoga contoh-contoh yang ada di atas sudah cukup memadai sebagai perwakilan untuk kita agar dapat memahami peranan qa’idah Al-Umuuru Biamaqaashidihaa dalam menentukan sebuah hukum perbuatan.