Minggu, 16 Desember 2012

perumusan Pancasila dan UUD 1945

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pancasila
Istilah pancasila berasal dari bahasa sansekerta yang memiliki dua macam arti secara leksikal yaitu : “panca” artinya lima, “syila” vocal i pendek artinya batu sendi, alas, atau dasar. “syiila”, vocal i panjang artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”.
Jadi secara etimologis “pancasila” yang dimaksudkan disini adalah istilah “pancasyila” dengan vocal I pendek memiliki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah “panca syiila” dengan huruf dewanagari I bermakna lima aturan tingkah laku yang penting (Yamin, 1960 : 437)

B.       Pengertian UUD 1945
Undang-undang dasar adalah peraturan perundang-undangan Negara yang tertinggi tingkatnya dalam Negara dan merupakan hukum dasar Negara yang tertulis. Undang-undang dasar harus memuat ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal berikut:
1.      Bentuk Negara dan organisasinya.
2.      Susunan pengangkatan dan wewenang pemerintah dalam arti luas: badan legislatif, badan eksekutif, dan badan yudikatif, pemilihan dan sistemnya.
3.      Hak-hak fundamental warganegara dan badan-badan hukum termasuk bidang politik. Dan lain-lain yang bersifat mendasar.
C.      Sejarah Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pada tanggal 17 september 1944, Perdana Menteri Jepang Koiso mengemukakan akan memberi kemerdekaan kepada bangsa indonesia, maka tanggal 1 maret 1945 pemerintah militer jepang mengumumkan dalam waktu dekat akan dibentuk badan yang bertugas menyelidiki dan menyiapkan hal-hal yang berhubungan dengan kemerdekaan tersebut. Pada tanggal 29 april 1945 dibentuklah suatu badan yang diberi nama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zunbi Choosakai dengan ketua Dr.K.R.T. Radjiman Wediodiningrat, tanggal 28 mei 1945 BPUPKI dilantik oleh Saiko Syikikan pemerintah militer jepang yang dihadiri Jenderal Itagaki, Panglima Tentara VII bermarkas di Singapura, dan Letjen Nagaki, Panglima XVI di jawa dan diadakan pula pengibaran bendera kebangsaan jepang hinomaru oleh Mr.a.g.pringgodigdo dan bendera sang merah putih oleh Toyohiku Masuda.
Dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut, yakni:

1.      Sidang I tanggal 29 mei sampai dengan 1 juni 1945.
Dengan tujuan mengumpulkan tentang segala pandangan sebagai dasar negara. Adapun pandangannya :
a.       pidato pertama oleh Mr. Muhammad Yamin tanggal 29 Mei 1945.
Menyampaikan usul rumusan konsep dasar Indonesia merdeka secara lisan dan tulisan yaitu:
1)      Ketuhanan Yang Maha Esa.
2)      Kebangsaan Persatuan Indonesia.
3)      Rasa Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab.
4)      Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
5)      Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

b.      Tokoh-tokoh islam seperti K.H.Wahid Hasjim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dll, tanggal 30 mei 1945 mengusulkan dasar Negara islam.
c.       Pidato kedua disampaikan Prof.Dr.Mr.R.Soepomo tanggal 31 mei 1945 yang isinya :
1)      Negra harus berdasarkan Negara Kesatuan yang bersifat integralistis.
2)      Tiap warga negara dianjurkan berKetuhanan.
3)      Dalam susunan pemerintahan negara harus dibentuk badan permusyawaratan rakyat, agar kepala negara dapat bersatu jiwa dengan wakil-wakil rakyat.
4)      Sistem ekonomi hendaknya diatur berdasarkan asas kekeluargaan, sistem tolong-menolong dan koperasi.
5)      Negara Indonesia yang besar atas semangat kebudayaan indonesia yang asli, dengan sendirinya akan bersifat negara asia timur raya.
Disamping itu beliau mengusulkan dasar Negara, yaitu :
a)      Persatuan
b)      Kekeluargaan
c)      Keseimbangan Lahir Dan Batin
d)     Musyawarah
e)      Keadilan Rakyat
d.      Pidato ketiga disampaikan Ir.Soekarno pada tanggal 1 juli 1945
Beliau menyampaikan rumusan Negara indonesiamerdeka sebagai berikut :
1)      Kebangsaan Indonesia-Nationalisme
2)      Peri Kemanusiaan-Internationalisme
3)      Mufakat Atau Demokrasi
4)      Kesejahteraan Nasional
5)      Ketuhanan Yang Berkebudayaan
Ke lima asas tersebut kemudian diberi nama Pancasila, kemudian diperas menjadi tiga sila yang disebut Tri Sila, yaitu :
a)    Socio-Nationalisme, Perasan Sila I&II
b)   Socio-Democratis, Perasan Sila III&IV
c)    Ketuhanan
Ketiga sila itu lalu diperas lagi menjadi satu sila dan disebut Ekasila yaitu : gotong royong.
Karena masing-masing usul setelah dibahas berkesimpulan tidak sepakat maka dibentuklah panitia kecil penampung dan pemeriksa usul-usul yang beranggotakan 8 orang dan disebut panitia 8 yaitu :
Ir. Soekarno (ketua), Mr.A.A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, K.H. Wahid Hasjim, M.Soetradjo Karthadikoesoemo, Rd. Otto Iskandardinata,  Mr.Muh. Yamin, Drs.Moh. Hatta

2.      Sidang II Panitia Kecil 22 Juni 1945
Dalam sidang pertama BPUPKI disepakati bahwa untuk menindak lanjuti sidang yang belum mencapai kesimpulan dibentuk Panitia Kecil. Panitia Kecil ini bertugas merumuskan hasil sidang I dengan lebih jelas. Anggota Panitia Kecil ada Sembilan orang sehingga sering disebut Panitia Sembilan. Kesembilan tokoh tersebut ialah:
a.     Ir. Soekarno (Ketua merangkap anggota);
b.    Drs. Mu. Hatta (Wakil Ketua merangkap anggota);
c.    A.A. Maramis, S.H. (anggota);
d.    Abikusno Cokrosuyoso (anggota);
e.    Abdul Kahar Muzakkir (anggota);
f.      Haji Agus Salim (angota);
g.    K.H. Wahid Hasyim (anggota);
h.    Achmad Soebardjo, S.H. (anggota);
i.      Mr. Muh. Yamin (anggota).
Sidang Panitia Sembilan ini dilaksanakan tanggal 22 Juni 1945 di Gedung Jawa Hokokai Jakarta. Selain panitia sembilan, anggota BPUPKI lainnya juga hadir dalam rapat tersebut, sehingga jumlah peserta rapat ada 38 orang.Dalam sidang Panitia Kecil tanggal 22 Juni 1945 dihasilkan piagam Jakarta. Isi Piagam Jakarta selengkapnya adalah sebagai berikut:
"Bahwa sesunguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghan-tarkan rakyat.”
Indonesia kepada pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang  bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tumpah Darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan, dengan berdasar kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

3.      Sidang III BPUPKI
Sidang II BPUPKI diselenggarakan pada tanggal 10 sampai dengan 16 Juli 1945. Dalam sidang ini dibicarakan mengenai penyusunan Rencana Pembukaan Undang-undang Dasar dan rencana Undang-undang Dasar serta rencana lain yang berhubungan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam rapat tanggal 11 Juli 1945 dibentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dengan susunan sebagai berikut:
a.       Ir. Sukarno;
b.      R. Otto Iskandardinata;
c.       B.P.H. Purbaya;
d.      K.H. Agus Salim;
e.       Mr. Achmad Subarjo;
f.       Mr. R. Supomo;
Atas usul dari Husein Jayadiningrat dan Mr. Muh. Yamin, maka dalam Panitia Perancang Undang-undang Dasar dibentuk Panitia Kecil dengan susunan sebagai berikut:
1)      Panitia Kecil  Declaration of Rights, dengan susunan anggota Mr. Achmad Subardjo (Ketua), Parada Harahap, dan dr. Sukirman  Wiryosanjoyo.
2)      Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar  dengan susunan Mr. Soepomo (Ketua), Mr. Achmad Soebardjo, K.P.R.T. Wongsonegoro, Mr. A.A. Maramis, Mr. R.P. Singgih, K.H. Agus Salim, dr. Sukirman Wiryosanjoyo.
Dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, terdapat nilai-nilai juang yang digunakan para pejuang bangsa kita. Di antara nilai-nilai juang tersebut adalah:
1)      Nilai persatuan dan kesatuan mereka begitu menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2)      Nilai keikhlasan. Para perumus dasar negara kita saat itu tidak terpikir untuk mendapat imbalan. Mereka ikhlas demi bangsa dan negaranya.
3)      Berani menegakkan kebenaran dan keadilan. Demi keadilan, mereka berani melakukan perjuangan di tengah-tengah bahaya.
4)      Toleran terhadap perbedaan. Perumusan dasar negara diwarnai dengan sikap menghargai perbedaan.
5)      Nilai musyawarah mufakat. Mereka merumuskan dasar negara dengan asas musyawarah untuk mencapai kata mufakat.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :
a)      Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) – tanggal 22 Juni 1945
b)      Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar – tanggal 18 Agustus 1945
c)      Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat – tanggal 27 Desember 1949
d)     Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara – tanggal 15 Agustus 1950
e)      Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)

D.    Sejarah Perumusan UUD 1945
Rumusan UUD 1945 yang ada saat ini merupakan hasil rancangan BPUPKI. Naskahnya dikerjakan mulai dari tanggal 29 Mei sampai 16 Juli. Jadi, hanya memakan waktu selama 40 hari setelah dikurangi hari libur. Kemudian rancangan itu diajukan ke PPKI dan diperiksa ulang. Dalam sidang pembahasan, terlontar beberapa usulan penyempurnaan. Akhirnya, setelah melalui perdebatan, maka dicapai persetujuan untuk diadakan beberapa perubahan dan tambahan atas rancangan UUD yang diajukan BPUPKI.
Perubahan pertama pada kalimat Mukadimah. Rumusan kalimat yang diambil dari Piagam Jakarta," ...dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dihilangkan. Kemudian pada pasal 4. Semula hanya terdiri dari satu ayat, ditambah satu ayat lagi yang berbunyi, "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD". Dan, juga dalam pasal ini semula tertulis," wakil presiden ditetapkan dua orang" diganti menjadi "satu Wakil Presiden". Juga pada Pasal 6 ayat 1, kalimat yang semula mensyaratkan presiden harus orang Islam dicoret. Diganti menjadi," Presiden adalah orang Indonesia asli". Dan, kata "mengabdi" dalam pasal 9 diubah menjadi "berbakti".
Tampaknya, BPUPKI, Panitia Perancang UUD dan juga Muh. Yamin lalai memasukkan materi perubahan UUD sebagaimana terdapat dalam setiap konstitusi. Hingga sidang terakhir pada tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI sama sekali tidak menyinggungnya. Walaupun saat itu, sempat muncul lontaran dari anggota Kolopaking yang mengatakan, " Jikalau dalam praktek kemudian terbukti, bahwa ada kekurangan.
Usulan mengenai materi perubahan UUD baru muncul justru muncul saat menjelang berakhirnya sidang PPKI yang membahas pengesahan UUD. Di tanggal 18 Agustus 1945 itu, Ketua Ir Soekarno mengingatkan masalah tersebut. Kemudian forum sidang menyetujui untuk diatur dalam pasal tersendiri dan materinya disusun oleh Soepomo. Tak kurang dari anggota Dewantara, Ketua Soekarno serta anggota Soebarjo turut memberi tanggapan atas rumusan Soepomo. Tepat pukul 13.45 waktu setempat, sidang menyetujui teks UUD.
Dalam pidato pe-nutupan, Ketua Ir Soekarno menegaskan bahwa UUD ini bersifat sementara dan, "Nanti kalau kita bernegara didalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurna." Dari pidato ini, implisit tugas yang diemban oleh UUD 1945 sebatas mengantar gagasan (konsepsi) Indonesia masuk dalam wilayah riel bernegara. Setelah itu, akan disusun UUD baru yang lebih lengkap dan sempurna.
Namun,dalam perjalanan selanjutnya, eksperimen ketatanegaraan tak kunjung berhasil menetapkan UUD baru. Upaya yang dilakukan sidang Dewan Kontituante berakhir dengan kegagalan. Walhasil, hingga 1959 belum juga mampu disusun satu UUD baru yang lebih lengkap dan sempurna. Solusinya, UUD 1945 diberlakukan kembali. Kesejarahan konstitusi ini, jelas mengakibatkan banyak dampak politis. Tulisan ini membatasi diri hanya pada kajian sejarah. Utamanya yang berkait dengan watak asali dari UUD 1945. Apakah dengan dekrit - yang melahirkan kesan inkonsistensi sikap Soekarno, sifat kesemntaraan UUD 1945 berubah menjadi definitif atau tetap. Satu dari dua kemungkinan yang jelas akan berakibat serius pada perjalanan ketatanegaraan selanjutnya.
Sistematika UUD 1945 itu terdiri atas hal sebagai berikut:
1.      Pembukaan (mukadimah) UUD 1945
Terdiri atas empat alinea. Pada Alenia ke-4 UUD 1945 tercantum Pancasila sebagai dasar negara yang berbunyi sebagai berikut. 
Pancasila
a.       Ketuhanan Yang Maha Esa.
b.       Kemanusiaan yang adil dan beradab.
c.       Persatuan Indonesia.
d.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
e.       Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.      Batang tubuh UUD 1945 terdiri atas 16 bab, 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, dan 2 ayat aturan tambahan.
3.      Penjelasan UUD 1945 terdiri atas penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.

Kamis, 13 Desember 2012

Masyarakat Pedesaan

BAB I
PENDAHULUAN



A.                  Latar Belakang

Banyak alasan pentingnya membicarakan masyarakat perdesaan, selain belum ada kesepakatan umum tentang keberadaan masyarakat desa sebagai suatu pengertian yang baku, juga kalau di kaitkan pembangunan yang banyak dicurahkan kepedesaan; maka demikian bahwa pedesaan memiiki arti tersendiri dalam kajian struktur sosial atau kehidupannya. Dalam keadaan desa yang sebenarnya, desa masih dianggap sebagai standar dan pemeliharaan sistem bermasyarakat dan kebudayaan asli, seperti tolong menolong, persaudaraan, gotong royong, kesenian, kepribadian dalam berpakayan, adat istiadat dan lain-lain, yang mada jauh berbeda dengan masyarakat perkotaan yang mulai menggunakan ke modern atau ke barat-baratan. Masyarakat perdesaan(khususnya di indonesia) pada umumnya masih menggunakan adat ketimuran walaupun tidak semuanya. Dan juga bahkan mereka masih ada mengunakan pakayan adat mereka untuk sehari-hari.

B.                  Rumusan Masalah
1.                   Apa yang dimaksud masyarakat pedesaan
2.                   Apa saja syarat utama hidup di masyarakat pedesaan
3.                   Apa pekerjaan masyarakat perdesaan

C.                  Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan penulis antara lain adalah:
a.                   Memahami pengertian masyarakat perdesaan.
b.                   Mengetahui ciri-ciri dari masyarakat pedesaan.
c.                    Sebagai pemenuhan tugas makalah IAD,IBD,ISD

D.                  Metode penulisan
Adapun metode penulisan makalah ini yang di pakai oleh penulis selain dari metode kepustakaan penulis juga menggunakan media internet.






BAB II
PEMBAHASAN

A.                  Pengertian Masyarakat
Sebelum kita bicara lebih lanjut masalah masyarakat, baik kita tinjau terlebih dahulu tentang masyarakat. Menurut R.Linton:Seorang ahli antropologi mengemukakan,bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga meraka ini dapat mengorganisasikan dirinya berfikir tentang dirinya dalam satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
Mengingat banyaknya definisi masyarakat tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa masyarakat harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a.                   Harus ada pengumpulan manusia, dan harus banyak, bukan pengumpulan binatang.
b.                   Telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama di suatu daerah tertentu.
c.                    Adanya aturan-aturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju kepada kepentingan dan tujuan bersama.

Apabila kita berbicara tentang masyarakat, terutama jika kita mengemukakanya dari sudut antropologi, maka kita mempunyai kecenderungan untuk melihat dua tipe masyarakat:
Pertama, satu masyarakat kecil yang belum negitu kompleks, yang belum mengenal pembagian kerja, belum mengenal struktur dan aspek-aspeknya masih dapat dipelajari sebagai satu kesatuan.
Kedua, masyarakat yang sudah kompleks, yang sudah jauh menjalankan spesialisasi dalam segala bidang, karena ilmu pengetahuan modern sudah maju, teknologi maju, sudah mengenal tulisan, satu masyarakat yang sukar diselidiki dengan baik dan didekati sebagian saja.

B.                  Kebudayaan Primitif Agraris
Ditinjau dari segi geografis, desa adalah suat hasil perpaduan antara kegiatan suatu kelompok manusia dan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu merupakan suatu wujud atau kenampakan du muka bumiyang ditimbulkan oleh unsure-unsur fisiografis, sosial, ekonomi, dan cultural yang saling berinteraksi antar unsure tersebut dan juga hubungannya dengan daerah-daerah laen.
Menurut Sotardjo Kartohadikusumo, desa adalah suatu kesatuan hukum bertempat tinggalnya suatu masyarakat yang berkuasa dan mengadakan pemerintahan sendiri.
Menurut Bintarto dalam bukunya Suatu Pengantar Geografis desa, 1977, dijelaskan sebagai berikut:
a.                   Daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak, serta penggunaannya.
b.                   Penduduk, meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat.
c.                    Tata kehidupan, dalam hal ini pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa.

Maju mundurnya desa bergantung pada tiga unsur ini yang dalam kenyataannya ditentukan oleh faktor usaha manusia (human efforts) dan tata geografi. Aadapun menurut Paul H.Landis desa adalah daerah yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa.
Dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Memiliki cara berusaha (dalam hal ekonomi), yaitu agraris pada umumnya, dan sangat dipengaruhi oleh keadaan alam, seperti: iklim, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris bersipat sambilan.[1]

Ciri - Ciri Masyarakat Desa antara lain :
1.                                           Didalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya.
2.                                           Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan.
3.                                           Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian.
4.                                           Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya.
5.                                           Sistem gotong royong, pembagian kerja tidak berdasarkan keahlian.
6.                                           Cara bertani sangat tradisional dan tidak efisien karena belum mengenal mekanisasi dalam pertanian.
7.                                           Golongan orang tua dalam masyarakat pedesaan memegang peranan penting.[2]
Jadi, yang dimaksud masyarakat perdesaan adalah sekelompok orang yang mendiami suatu wilayah tertentu yang penghuninya mempunyai hubungan erat dan mempunyai perasaan yang sama terhadap adat kebiasaan yang ada, serta menunjukkan adanya kekeluargaan didalam kelompok mereka, seperti gotong royong dan tolong menolong. [3]

C.                  Masyarakat Perdesaan
Masyarakat perdesaan sering disebut juga dengan istilah “rural community”. Agak sulit untuk memberikan batasan apa yang dimaksud dengan masyarakat pedesaan. Gambaran umum masyarakat pedesaan antara lain: Warga-warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam dari pada hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya, diluar batas-batas wilayahnya.
Golongan-golongan orang tua pada masyarakat pedesaan, pada umumnya memegang peranan yang penting. Orang-orang akan selalu meminta nasehat-nasehat kepada mereka, apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Kesukarannya adalah bahwa golongan-golongan orang tua itu mempunyai pandangan yang didasarkan pada tradisi yang kuat, sehingga sukar untuk mengadakan perubahan-perubahan yang nyata. Pengendalian sosial masyarakat terasa sangat kuat, sehingga perkembangan jiwa individu sangat sukar tuk dilaksanakan. Itulah sebabnya mengapa sulit sekali untuk merubah jalan pikiran sosial kearah jalan pikiran yang ekonomis, hal mana juga disebabkan kurangnya alat-alat komonikasi. Sebagai akibat sistem komonikasi yang sederhana, hubungan antara seseorang dengan orang laen dapat diatur dengan seksama. Rasa persatuan erat sekali,  yang kemudian menimbulkan saling kenal mengenal dan saling tolong menolong yang akrab.[4]

D.                  Ciri-ciri Masyarakat Pedesaan
Masyarakat pedesaan ditandai dengan dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama anggota warga desa sehingga seorang merasa dirinya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat tempat dia hidup serta rela berkorban demi masyarakatnya, saling menghormati, serta mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama didalam masyarakat terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama. Adapun yang dijadikan cirri-ciri masyarakat pedesaan, antara lain sebagai berikut.
a.                   Setiap warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan warga masyarakat diluar batas-batas wilayahnya.
b.                   Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (gemeinschaft atau paguyuban).
c.                    Sebagian besar masyarakat pedesaan hidup dari pertanian. Adapun pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan sebagai pengisi waktu luang.
d.                   Masyarakatnya homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya.

Masyarakat pedesaan identic dengan istilah ‘gotong-royong’ yang merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka. Kerja bakti itu ada dua macam:
1.                                                       Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya dari inisiatif warga masyarakat itu sendiri (biasanya di istilahkan dari bawah).
2.                                                       Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya tidak dari inisiatif warga itu sendiri berasal dari luar (biasanya berasal dari atas).

E.                  Unsur-Unsur Desa
Daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak, beserta penggunaanya. Penduduk adalah hal yang meliputi jumlah pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat. Tata kehidupan, dalam hal ini pola pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan dan tidak berdiri sendiri.
F.                   Fungsi Desa
Pertama, dalam hubungan dengan kota, maka desa yang merupakan “hinterland” atau daerah dukung yang berfungsi sebagai suatu daerah pemberian bahan makanan pokok.
Kedua, desa ditinjau dari sudut potensi ekonomi berfungsi sebagai lumbung bahan mentah (raw material) dan tenaga kerja (man power) yang tidak kecil artinya.
Ketiga, dari segi kegiatan kerja (occupation) desa dapat merupakan desa agraris, desa manufaktur, desa industry, desa nelayan dan sebagainya.Dari uraian tersebut maka secara singkat ciri-ciri masyarakat pedesaan di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.                               Homogenitas social
Bahwa masyarakat desa terdiri dari satu atau beberapa kekerabatan saja, sehingga pola hidup tingkah laku maupun kebudayaan sama/homogen. Hubungan primer, pada masyarakat desa hubungan kekeluargaan dilakukan secara musyawarah.
2.                               Kontrol sosial yang ketat
Setiap anggota masyarakat saling mengetahui masalah yang dihadapi anggota lain bahkan ikut menyelesaikannya.
3.                               Gotong royong
Nilai-nilai gotong royong pada masyarakat pedesaan tumbuh dengan subur dan membudaya.
4.                               Ikatan sosial
Setiap anggota masyarakat pedesaan diikat dengan nilai-nilai adat dan kebudayaan secara ketat.
5.                               Magis religius
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat desa sangat mendalam.
6.                               Pola kehidupan
Masyarakat desa bermata pencaharian di bidang agraris, baik  pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan.[5]

G.                  Kegiatan Masyarakat Desa
Karena anggota warga masyarakat mempunyai kepentingan pokok yang hampir sama, mereka selalu bekerja sama untuk mencapai kepentingan mereka pada. Pada waktu mendirikan rumah, upacara pesta perkawinan ,memperbaiki jalan desa, membuat saluran air, dan sebagainya, mereka selalu bekerja sama. Bentuk kerja sama masyarakat ini lah yang sering di istilahkan dengan gotong royong dan tolong-menolong. Pada saat ini  pekerjaan gotong royong lebih populer dengan istilah kerja bakti, misalnya memperbaiki jalan, saluran air, menjaga keamanan desa (ronda malam), dan sebagainya. Kerja sama macam ini biasanya menangani hal-hal yang lebih bersipat demi kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan perseorangan (individual), seperti mendirikan rumah, pesta perkawinan, pada musibah (seperti kematian), kelahiran dan sebagainya. Perlu dicatat dan diketahui di sini bahwa semua kegiatan kerja sama ini, baik kerja bakti ataupun tolong-menolong, tidak membutuhkan tenaga ahli tertentu. Dalam arti, setiap warga desa mampu mengerjakannya, pekerjaan gotong royong (kerja bakti) terdiri atas dua macam, yaitu:
a.                   Kerja sama untuk pekerjaan yang timbulnya dari inisiatif warga masyarakat itu sendiri (biasa diistilahkan dari bawah).
b.                   Kerja sama dari masyarakat itu sendiri, tetapi berasal dari luar (biasa berasal dari atas)
Kerja sama jenis pertama biasanya dirasakan kegunaannya bagi masyarakat, sedangkan jenis kedua kurang dipahami kegunaannya. Oleh karena itu, kalau kerja ini datangnya dari atas, diusahakan agar masyarakat memahami bahwa kegunaannya bagi kepentingan mereka (umum) sehingga mereka merasa bahwa pekerjaan itu sebagai proyek mereka sendiri.[6]
Seperti yang di katakana di atas warga-warga masyarakat suatu pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam dari pada hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya, di luar batas-batas wilayahnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok, atas dasar sistem kekeluargaan. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, kebiasaannya pekerjaan di luar pertanian hanya pekerjaan sambilan saja, oleh karenanya bila tiba masanya penen atau masa menanam padi, pekerjaan-pekerjaan sambilan tadi langsung di tinggalkannya.
Namun demikian, hal itu tidaklah berarti bahwa setiap orang memiliki tanah. Suatu contoh adalah 480 jiwa setiap satu kilometer persegi dan bahkan ada tempat-tempat di mana kepadatan penduduk mencapai 800 jiwa setiap satu kilometer persegi. Mengingat hal itu semuanya, di pulau jawa di kenal adanya  empat macam sistem pemilikan tanah, yaitu:
a.                   Sistem milik umum atau milik kommunal dengan pemakayan beralih-alih,
b.                   Sistem milik kommunal dengan pemakayan bergiliran,
c.                    Sistem kommonal dengan pemakayan tetap, dan
d.                   Sistem milik individu.

Di luar jawa, misalnya di Sumatera, di samping pertanian penduduk pedesaan juga berkebun, misalnya berkebun lada, karet, kelapa sawit dan sebagainya. Pada umumnya penduduk  pedesaan di Indonesia ini apabila ditinjau dari segi kehidupannya sangat terikat dan sangat tergantung dengan tanah. Karna mereka sama-sama tergantung pada tanah, maka mereka sama-sama mempunyai kepentingan pokok yang sama, sehingga mereka akan bekerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingannya. Misalnya pada musim pembukaan tanah atau pada waktu menanam tiba, mereka akan bersama-sama mengerjakannya. Hal itu mereka lakukan, karena biasanya satu keluarga saja tak akan cukup memiliki tenaga kerja untuk mengerjakan tanahnya. Sebagai akibat kerja sama tadi, timbullah lembaga kemasyarakatan yang dikenal dengan nama gotong-royong yang bukan merupakan lembaga yang sengaja dibuat. Oleh karena itu, pada masyarakat-masyarakat pedesaan, tidak akan di jumpai pembagian kerja berdasarkan keahlian, akan tetapi biasanya pembagian kerja didasarkan pada usia, mengingat kemampuan fisik masing-masing dan juga atas pembedaan dasar kelamin.[7]























BAB III


B.                  Kesimpulan
1.                                                    Masyarakat pedeasaan adalah sekelompok orang yang hidup bersama dan bekerjasama yang berhubungan secara erat tahan lama dengan sifat-sifat yang hamper sama (homogen) disuatu daerah atau wilayah tertentu dengan bermata pencaharian dari sektor pertanian (agraris).
2.                                                    Ciri-ciri masyarakat pedesaan di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.                   Homogenitas social
b.                   Kontrol sosial yang ketat
c.                    Gotong royong
d.                   Ikatan sosial
e.                    Magis religius
Dan juga masyarakat desa kebanyakan bermata pencaharian di bidang agraris, baik  pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan

C.                  Saran-saran
1.                   Sebaiknya kita lebih mengetahui pentingnya peran masyarakat pedesaan.
2.                   Setelah pembaca membaca/mempelajari makalah ini sebaiknya pembaca juga membaca/mempelajari makalah tentang masyarakat perkotaan, agar pembaca bisa menyimpulkan ketergantungan kedua anggota masyarakat tersebut, dan peran-peran keduanya.


[1] Mawardi-ir Nur-hidayati. Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar. Bandung. Pustaka setia,2007. hlm,191-192
[2] http://sylviapinklovers.blogspot.com/2012/06/perbedaan-masyarakat-pedesaan-dan.html
[3] Ibid, hlm 192
[4] Wahyu (1986), Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Usaha Nasional, Surabaya. Hal. 123-125
[5] http://padshaa.blogspot.com/2011/11/pengertian-masyarakat-pedesaan-dan.html
[6] Mawardi, Nurhidayati (2007), Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, Pustaka setia, Bandung, Hal – 192-193
[7] Soekanto soerjono. Sosiologi suatu pengantar. Rajawali pers. Jakarta. 1987