Senin, 16 Desember 2013

Ibnu Hajar Al ‘Asqolani (773-852 H)



Ibnu Hajar Al ‘Asqolani (773-852 H)

Nama dan Nasabnya
Nama sebenarnya Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah.

Kelahirannya
Beliau lahir di Mesir pada bulan Sya’ban 773 H, namun tanggal kelahirannya diperselisihkan. Beliau tumbuh di sana dan termasuk anak yatim piatu, karena ibunya wafat ketika beliau masih bayi, kemudian bapaknya menyusul wafat ketika beliau masih kanak-kanak berumur empat tahun.
Ketika wafat, bapaknya berwasiat kepada dua orang ‘alim untuk mengasuh Ibnu Hajar yang masih bocah itu. Dua orang itu ialah Zakiyuddin al Kharrubi dan Syamsuddin Ibnul Qaththan al Mishri.

Perjalanan Ilmiah Ibnu Hajar
Perjalanan hidup al Hafizh sangatlah berkesan. Meski yatim piatu, semenjak kecil beliau memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Beliau masuk kuttab (semacam Taman Pendidikan al Qur’an) setelah genap berusia lima tahun. Hafal al Qur’an ketika genap berusia sembilan tahun. Di samping itu, pada masa kecilnya, beliau menghafal kitab-kitab ilmu yang ringkas, sepeti al ‘Umdah, al Hawi ash Shagir, Mukhtashar Ibnu Hajib dan Milhatul I’rab.
Semangat dalam menggali ilmu, beliau tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja, tetapi beliau melakukan rihlah (perjalanan) ke banyak negeri. Semua itu dikunjungi untuk menimba ilmu. Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan tinggal disana, di antaranya:
1. Dua tanah haram, yaitu Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits) ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.
2. Dimasyq (Damaskus). Di negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam, Ibu ‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al Bulqini.
3. Baitul Maqdis, dan banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah. Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil manfaat.

4. Shana’ dan beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka.
Semua ini, dilakukan oleh al Hafizh untuk menimba ilmu, dan mengambil ilmu langsung dari ulama-ulama besar. Dari sini kita bisa mengerti, bahwa guru-guru al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqlani sangat banyak, dan merupakan ulama-ulama yang masyhur. Bisa dicatat, seperti: ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki (wafat 790 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin Zhahirah al Makki (wafat 717 H), Abul Hasan al Haitsami (wafat 807 H), Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), Sirajuddin al Bulqini Rahimahullah (wafat 805 H) dan beliaulah yang pertama kali mengizinkan al Hafizh mengajar dan berfatwa. Kemudian juga, Abul-Fadhl al ‘Iraqi (wafat 806 H) –beliaulah yang menjuluki Ibnu Hajar dengan sebutan al Hafizh, mengagungkannya dan mempersaksikan bahwa Ibnu Hajar adalah muridnya yang paling pandai dalam bidang hadits-, ‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah –dari beliau ini al Hafizh mendengarkan shahih al Bukhari-, al ‘Izz bin Jama’ah Rahimahullah, dan beliau banyak menimba ilmu darinya. Tercatat juga al Hummam al Khawarizmi Rahimahullah. Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, al Hafizh belajar kepada al Fairuz Abadi Rahimahullah, penyusun kitab al Qamus (al Muhith-red), juga kepada Ahmad bin Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah Qira’atus-sab’ (tujuh macam bacaan al Qur’an), beliau belajar kepada al Burhan at-Tanukhi Rahimahullah, dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai cabang ilmu, khususnya fiqih dan hadits.
Jadi, al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani mengambil ilmu dari para imam pada zamannya di kota Mesir, dan melakukakan rihlah (perjalanan) ke negeri-negeri lain untuk menimba ilmu, sebagaimana kebiasaan para ahli hadits.
Layaknya sebagai seorang ‘alim yang luas ilmunya, maka beliau juga kedatangan para thalibul ‘ilmi (para penuntut ilmu, murid-red) dari berbagai penjuru yang ingin mengambil ilmu dari beliau, sehingga banyak sekali murid beliau. Bahkan tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab adalah murid-murid beliau. Yang termasyhur misalnya, Imam ash-shakhawi (wafat 902 H), yang merupakan murid khusus al Hafizh dan penyebar ilmunya, kemudian al Biqa’i (wafat 885 H), Zakaria al-Anshari (wafat 926 H), Ibnu Qadhi Syuhbah (wafat 874 H), Ibnu Taghri Bardi (wafat 874 H), Ibnu Fahd al-Makki (wafat 871 H), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Karya-Karyanya
Kepakaran al Hafizh Ibnu Hajar sangat terbukti. Beliau mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut sampai mendekti ajalnya. Beliau mendapatkan karunia Allah Ta’ala di dalam karya-karyanya, yaitu keistimewaan-keistimewaan yang jarang didapati pada orang lain. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima umat islam dan tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Para raja dan amir biasa saling memberikan hadiah dengan kitab-kitab Ibnu hajar Rahimahullah. Bahkan sampai sekarang, kita dapati banyak peneliti dan penulis bersandar pada karya-karya beliau Rahimahullah.
Di antara karya beliau yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain.
Bahkan menurut muridnya, yaitu Imam asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat (kajian).

Mengemban Tugas Sebagai Hakim
Beliau terkenal memiliki sifat tawadhu’, hilm (tahan emosi), sabar, dan agung. Juga dikenal banyak beribadah, shalat malam, puasa sunnah dan lainnya. Selain itu, beliau juga dikenal dengan sifat wara’ (kehati-hatian), dermawan, suka mengalah dan memiliki adab yang baik kepada para ulama pada zaman dahulu dan yang kemudian, serta terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, baik tua maupun muda. Dengan sifat-sifat yang beliau miliki, tak heran jika perjalanan hidupnya beliau ditawari untuk menjabat sebagai hakim.
Sebagai contohya, ada seorang hakim yang bernama Ashadr al Munawi, menawarkan kepada al Hafizh untuk menjadi wakilnya, namu beliau menolaknya, bahkan bertekad untuk tidak menjabat di kehakiman. Kemudian, Sulthan al Muayyad Rahimahullah menyerahkan kehakiman dalam perkara yang khusus kepada Ibnu Hajar Rahimahullah. Demikian juga hakim Jalaluddin al Bulqani Rahimahullah mendesaknya agar mau menjadi wakilnya. Sulthan juga menawarkan kepada beliau untuk memangku jabatan Hakim Agung di negeri Mesir pada tahun 827 H. Waktu itu beliau menerima, tetapi pada akhirnya menyesalinya, karena para pejabat negara tidak mau membedakan antara orang shalih dengan lainnya. Para pejabat negara juga suka mengecam apabila keinginan mereka ditolak, walaupun menyelisihi kebenaran. Bahkan mereka memusuhi orang karena itu. Maka seorang hakim harus berbasa-basi dengan banyak fihak sehingga sangat menyulitkan untuk menegakkan keadilan.
Setelah satu tahun, yaitu tanggal 7 atau 8 Dzulqa’idah 828 H, akhirnya beliau mengundurkan diri.
Pada tahun ini pula, Sulthan memintanya lagi dengan sangat, agar beliau menerima jabatan sebagai hakim kembali. Sehingga al Hafizh memandang, jika hal tersebut wajib bagi beliau, yang kemudian beliau menerima jabatan tersebut tanggal 2 rajab. Masyarakatpun sangat bergembira, karena memang mereka sangat mencintai beliau. Kekuasaan beliau pun ditambah, yaitu diserahkannya kehakiman kota Syam kepada beliau pada tahun 833 H.
Jabatan sebagai hakim, beliau jalani pasang surut. Terkadang beliau memangku jabatan hakim itu, dan terkadang meninggalkannya. Ini berulang sampai tujuh kali. Penyebabnya, karena banyaknya fitnah, keributan, fanatisme dan hawa nafsu.
Jika dihitung, total jabatan kehakiman beliau mencapai 21 tahun. Semenjak menjabat hakim Agung. Terakhir kali beliau memegang jabatan hakim, yaitu pada tanggal 8 Rabi’uts Tsani 852 H, tahun beliau wafat.

Selain kehakiman, beliau juga memilki tugas-tugas:
- Berkhutbah di Masjid Jami’ al Azhar.
- Berkhutbah di Masjid Jami’ ‘Amr bin al Ash di Kairo.
- Jabatan memberi fatwa di Gedung Pengadilan.

Di tengah-tengah mengemban tugasnya, beliau tetap tekun dalam samudra ilmu, seperti mengkaji dan meneliti hadits-hadits, membacanya, membacakan kepada umat, menyusun kitab-kitab, mengajar tafsir, hadits, fiqih dan ceramah di berbagai tempat, juga mendiktekan dengan hafalannya. Beliau mengajar sampai 20 madrasah. Banyak orang-orang utama dan tokoh-tokoh ulama yang mendatanginya dan mengambil ilmu darinya.

Kedudukannya
Ibnu Hajar Rahimahullah menjadi salah satu ulama kebanggaan umat, salah satu tokoh dari kalangan ulama, salah satu pemimpin ilmu. Allah Ta’ala memberikan manfaat dengan ilmu yang beliau miliki, sehingga lahirlah murid-murid besar dan disusunnya kitab-kitab.
Seandainya kitab beliau hanya Fathul Bari, cukuplah untuk meninggikan dan menunjukkan keagungan kedudukan beliau. Karena kitab ini benar-benar merupakan kamus Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaii wasallam. Sedangkan karya beliau berjumlah lebih dari 150 kitab.
Syaikh al Albani Rahimahullah mengatakan, Adalah merupakan kedzaliman jika mengatakan mereka (yaitu an-Nawawi dan Ibnu Hajar al ‘Asqalani) dan orang-orang semacam mereka termasuk ke dalam golongan ahli bid’ah. Menurut Syaikh al Albani, meskipun keduanya beraqidah Asy’ariyyah, tetapi mereka tidak sengaja menyelisihi al Kitab dan as Sunnah. Anggapan mereka, aqidah Asy’ariyyah yang mereka warisi itu adalah dua hal: Pertama, bahwa Imam al Asy’ari mengatakannya, padahal beliau tidak mengatakannya, kecuali pada masa sebelumnya, (lalu beliau tinggalkan dan menuju aqidah Salaf,). Kedua, mereka menyangka sebagai kebenaran, padahal tidak.

Wafatnya
Ibnu Hajar wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, menurut sangkaan kami, dan kami tidak memuji di hadapan Allah terhadap seorangpun. Beliau dikuburkan di Qarafah ash-Shugra. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas, memaafkan dan mengampuninya dengan karunia dan kemurahanNya.
http://pustakaimamsyafii.com/ibnu-hajar-al-asqolani-773-852-h.html

Senin, 25 November 2013

B. Kaidah Al-Umuru Bimaqaasidiha



a.       Pengertian
Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya. Dengan kata lain, setiap mukallap dan berbagai bentuknya serta hubungannya, baik dalam ucapannya,perbuatan, dan sebagainya bergantung pada niatnya. Niat dan motif yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi kreteria yang menentukan nilai dan status hokum yang iya lakukan.
b.      Sumber pengambilan
Sumber pengambilan kaidah ini, antara lain:
1.      Firman Allah swt  dalam surah al-bayyinah ayat 5 yang artinya:
“dam mereka tidak disuruh, kecuali untuk menyembah allah dengan memurnikan keta’atan kepadanya dalam agama yang lurus”
2.      Firman Allah swt  dalam surah Al-Imran ayat 145 yang artinya:
“barang siapa yang menghendaki pahala dunia, kami berikan pahala itu dan barang siapa pahala di akherat, kami berikan kepadanya pahala akherat itu. Dan kami akan memberikan pahala kepada orang-orang yang bersyukur.”
3.      Hadis yang diriwayatkan bukhari yang artinya:
“sesungguhnya segala amal bergantung pada niat. Dan sesungguhnya bagi seseorang hanyalah apa yang iya niati.” (HR.Bukhari)

B. Kaidah Al-Umuru Bimaqaasidiha



a.       Pengertian
Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya. Dengan kata lain, setiap mukallap dan berbagai bentuknya serta hubungannya, baik dalam ucapannya,perbuatan, dan sebagainya bergantung pada niatnya. Niat dan motif yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi kreteria yang menentukan nilai dan status hokum yang iya lakukan.
b.      Sumber pengambilan
Sumber pengambilan kaidah ini, antara lain:
1.      Firman Allah swt  dalam surah al-bayyinah ayat 5 yang artinya:
“dam mereka tidak disuruh, kecuali untuk menyembah allah dengan memurnikan keta’atan kepadanya dalam agama yang lurus”
2.      Firman Allah swt  dalam surah Al-Imran ayat 145 yang artinya:
“barang siapa yang menghendaki pahala dunia, kami berikan pahala itu dan barang siapa pahala di akherat, kami berikan kepadanya pahala akherat itu. Dan kami akan memberikan pahala kepada orang-orang yang bersyukur.”
3.      Hadis yang diriwayatkan bukhari yang artinya:
“sesungguhnya segala amal bergantung pada niat. Dan sesungguhnya bagi seseorang hanyalah apa yang iya niati.” (HR.Bukhari)

Contoh- contoh pengaplikasian qa’idah Al-Umuuru Biamaqaashidihaa.dalam menentukan sebuah hukum



a.       Dalam aspek ibadah.
Ø  Seseorang yang membasuh wajahnya, sedangkat niat nya untuk berwudhu, atau untuk menyegarkan wajahnya saja. Jika iya berniat untuk berwudhu, maka membasuh wajah tadi dihukumkan sebagai salah satu rukun wudhu, jika tidak maka sebaliknya. dan Jika dia membasuh wajah tanpa ada niat, maka membasuh wajah itu dihukumkan sebagai adat kebiasaan untuk membersihkan wajah dan tidak bernilai ibadah sama sekali.
Ø  Seseorang yang tidak makan dan minum sejak dari waktu sahur sampai sore. Jika niat nya berpuasa maka ia dapat nilai ibadah puasa. Tapi jika niatnya hanya sekedar untuk melangsingkan tubuhnya, atau karena memang tidak ada yang dapat dia makan, maka dia tidak mendapatkan nilai ibadah puasa.
Ø  Seseorang yang mandi dilandasi dengan adanya niat maka akan berbeda dengan orang yang mandi biasa, seperti halnya orang berniat mandi wajib dan orang yang hanya mandi untuk menyegarkan tubuhnya saja. Maka nilainya pun jau berbeda, yang satu bernilai ibadah wajib dan yang hasu hanya sebagai kebiasaan saja.
b.       Dalam aspek muamalat.
B.     Mu’amalat mencakup tentang jual beli, gadai, hutang-piutang dan lain sebagainya, contoh yang mudah untuk kita kaitkan kedalam qa’idah Al-Umuuru Biamaqaashidihaa adalah tentang jual beli. Contoh :
Ø  Sesorang yang  memperdagangkan benda-benda tajam/senjata api, seperti pedang, pisau, pistol, dan lain sebagainya. Jika niatnya menjual barang tersebut untuk para penjahat seperti perampok, preman, dan lain sebagainya yang kebiasaannya mencelakai orang lain dengan benda tersebut, maka perdagangannya itu diharamkan. Tetapi jika niatnya hanya untuk menjual kepada orang yang akan menggunakannya dengan semestinya( bukan untuk mencelakai orang lain ) maka perdagangan itu diperbolehkan.
c.       Dalam aspek munakahat.
Contoh dalam masalah kinayah talaq :
Ø  Seorang suami mengatakan kepada istrinya “ pulang  saja kerumah orang tuamu “, jika qasad nya dengan mengucapkan kalimat tersebut sebagai sighat talaq, maka jatuhlah talaq atas istrinya. Tetapi jika tujuannya hanya menyuruh istrinya untuk pulang ke rumah orang tuanya, maka tidak jatuh talaq.
Ø  Saya sebagai suami mempunya istri bernama Naima. Lalu saya mengatakan “ Naima Thaaliqun “. Jika  yang saya maksud dengan Naima di sana adalah istri saya maka jatuhlah talaq saya atas istrinya.  Tetapi jika yang saya maksud bukan Naima istri saya, maka tidak jatuh talaq saya atas istri saya tersebut.
d.      Dalam aspek Jinayat.
Termasuk dalam jinayat adalah pembunuhan dan lain sebagainya. Membunuh merupaka dosa besar setelah kekafiran. Dengan diadakan hukum  qisas atau dimaafkan, maka tidak ada lagi tuntutan di akhirat. Dan hukum qisas tidak akan dilaksanakan kecuali atas orang yang bersengaja untuk melakukan sebuah kezhaliman.
Contoh:
Ø  Seseorang melihat sema-semak yang mergoyang-goyang, sehingga ia menyangka ada seekor kijang dibalik semak-semak tersebut, kemudian ia  tembak, ternyata yang ia tembak tersebut adalah seseorang.  Maka ia tidak dikenakan hukum qisas, karena tidak sengaja (tersalah). Niatnya menembak kijang, ternyata mengenai manusia.
Ø  Apabila orang yang meminjami mengambil harta orang yang meminjam(berhutang), dengan niat harta yang ia ambil it sebagai bayaran hutangnya, maka orang yang mengambil tadi tidak dihukumkan mencuri dan tidak kena hukuman(seperti potong tangan), tetapi jika niatnya dengan mengambil harta tersebut adalah mencuri, maka dia kena hukuman, yaitu potong tangan.
Demikianlah beberapa contoh yang dapat penulis paparkan, semoga contoh-contoh yang ada di atas sudah cukup memadai sebagai perwakilan untuk kita agar dapat memahami peranan qa’idah Al-Umuuru Biamaqaashidihaa dalam menentukan sebuah hukum perbuatan.

Minggu, 15 September 2013

Maslahah Mursalah (novi)



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT telah menurunkan agama Islam kepada umat manusia dengan perantaraan nabi-Nya Muhammad SAW. Agama Islam yang merupakan agama universal mengandung aturan-aturan hukum yang langsung dari Allah SWTagar manusia selamat, baik di dunia maupun di akherat. Agama (Islam) beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad Saw.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu al-Qur’an dikenal dengan istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu Pada masa Rasulullah SAW, segala permasalahan yang dihadapi para sahabat langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan demikian, jawaban rasul terhadap pertanyaan-pertanyaan itu bersifat final. Pada masa ini, sumber hukum yang digunakan adalah dua, yaitu al-Qur’andan Hadits Nabi yang merupakan empirisasi. Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, meluasnya wilayah kekuasaan Islam, rihlahnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya sahabat yang syahid di medan laga, maka umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum. Terkadang, masalah (hukum) yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabat mengenal teknik Nabi berijtihad
Setelah periode sahabat berlalu, pemecahan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya; maslahah-mursalah atau istishlah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi), qiyas (Imam Syafi’i), istishab (Imam Ahmad bin Hambal) serta lainnya.
Namun kami disi lebih mengupas mengenai Maslahah-Mursalah, walaupun tak spefikasi namun mencoba memberika sebuah informasi mengenai masalah ini, sehubungan dengan pemenuhan tugas kelompok.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari Maslahah Mursalah ?
b. Bagaimana syarat kehujjahan Maslahah Mursalah ?
c. Berapa macam-macam tingkatan Maslahah Mursalah ?
d. Bagaimanakah Contoh dari Maslahah Mursalah ?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui dan memahami apa itu Maslahah Mursalah.
b. Untuk mengetahui dan memahami status  syarat  kehujjahannya.
c. Untuk mengetahui dan memahami macam-macam terbahaginya Maslahah  Mursalah.  
d. Untuk mengetahui dan memahami serta mengambil ibarah dari Maslahah Mursalah



D.Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam penulisan serta penyusunan makalah ini yaitu melalui dua metode yaitu : melalui kepustakaan (literature) dan dibantu media internet.


















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maslahah Mursalah
        Secara etimologi, Maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi Maslahah yang di kemukakan oleh ulama ushul Fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Iman Ghozali mengemukakan bahwa prinsip Maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syara’.
         Sama halnya dengan penjelasan dari refrensi buku lain bahwasannya Maslahah mursalah adalah kebaikan (kemaslahatan yang tidak di singgung-singgung syara’ secara jelas untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari kerusakan atau keburukan, seperti seseorang menghukum sesuatu yang belum ada ketentuannya oleh agama. Apakah perbuatan itu haram atau boleh, maka hendaknya dipandang kemudharatan dan kemanfaatannya. Bila kemudharatan lebih banyak dari kemanfaatannya berarti perbuatan itu terlarang, maka sebaliknya bila kemanfaatanya lebih banyak dibanding dengan kemudharatannya berarti perbuatan itu dibolehkan oleh agama, karena agama membawa kepada kebaikan. Dalam praktiknya, mashlahah tidak banyak perbedaan nya dengan ihtihsan. Perbedaan dalam ihtihsan adalah mengecualikan suatu hukum dari peraturan yang umum yang diterapkan oleh qiyas, sedangkan maslahah mursalah tidak ada penyimpangan dari qiyas.
1. Iman Ar-Razi mendefenisikan Maslahah sebagai berikut :
         Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunan dan harta bendanya.
2. Imam Al-Ghazali
Mendefenisikan sebagai berikut :
        Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat. Selanjutnya is menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya adalah menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah maslahah.
3. Al-Khawarizmi
Mendefinisikan mashlahah sebagai berikut: Memelihara tujuan hukum Islam dengan mencegah kerusakan/bencana (mafsadat) Atau hal-hal yang merugikan diri manusia.
         Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpuan bahwa mashlahah mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid as-syari’ah).
Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan.
Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, luwes karena pendekatan ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam akan kaku (rigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.
B.Syarat Kehujjahan Maslahah Murslah
      a. Hanya berlaku dalam bidang mu’amalah, karena persoalan ibadah tidak akan  berubah-ubah.
      b. Tidak berlawanan dengan maksud syari’at atau salah satu dalilnya yang sudah    terkenal (tidak bertentangan dengan nash).
      c.  Maslahah ada karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
     Imam Malik adalah seorang Faqih yang paling banyak menggunakan Maslahah Mursalah ini. Ia beralasan bahwa Tuhan mengutus Rasul-Rasul-Nya untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Jika ada kemaslahatan, kuatlah dugaan kita bahwa kemaslahatan itu syara’, karena hukum Allah SWT diadalan salah satunya untuk kepentingan manusia.
d. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai. 

e. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
f. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
        Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya.
C. Macam–Macam Maslahah Mursalah
         Maslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya.
1. Maslahat dari segi Tingkatanya.
Ulama membagi Maslahah dari segi tingkatan kepada 3 bagian, yaitu :
1.Maslahah Dharuriyah (primer)
         Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu :
Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs).
Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhohalal-aql).
Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzohalan-nasl).
Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzohalal-maal).
Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin).
       Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah Islmiyah. Begitu juga menghancurkan orang-orang yang suka memfitnah kaum muslimin dari agamanya. Begitu juga menyiksa orang yang keluar dari agama Islam.
         Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban
untuk berusaha memperoleh makanan, minuman dan pakaian untuk mempetahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban mengqishas atau mendiat orang yang berbuat pidana.
         Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yang meminumnya.
        Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.
Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau disebut juga dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka tata kehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu    Kelima macam maslahatul ini harus dipelihara dan dilindungi

2.Maslahah Hajjiyah (sekunder)
        Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat dan bidang jinayat.
Termasuk kategori hajjiyat dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh manusia dalam bermu’amalah, seperti akad muzaro’ah, musaqoh, salam maupun murobahah. Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dan orang yang sakit pun bolehnya mengqoshor sholat ketika dalam perjalanan.
Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang/mengharamkan rampasan dan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.

3.Maslahah Tahsiniyah atau Kamaliyat (Pelengkap/tersier)
        Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat yang baik dan dicakup oleh bagian Mahasinul akhlak.
Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja ( زينة للحياة) sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan.Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat. Lapangan ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.
         Di antara contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan ihtiyath. Seperti juga contoh pensyari’atan thoharoh sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih pengharaman makanan-makanan yang baik dan hal-hal serupa lainya.

2.Maslahat dari segi Eksistensinya.
        Dalam menguak metode kontroversial ini terdapat pertalian erat dengan pembahasan qiyas yaitu sisi penggalian illat (legal clause) yakni al-munasabah (pemaparan sifat/kondisi yang secara rasio selaras dengan penerapan hukum.) Bila syara’ mengakuinya berarti al-munasib tersebut layak dijadikan sandaran penetapan hukum. Sebaliknya bila syara’ menolaknya maka tentu ia tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Berpijak dari hal ini ditinjau dari aspek kelayakannya al-munasib terbagi dalam tiga Klasifikasi yaitu :
1.al-munasib al-mu’tabar (syarat’ mengukuhkannya)
2.al-munasib al-mulgho (syara’ menolak keberadaanya) dan
3.al-munasib al-mursal (syara’ tidak menyikapi keberadaannya dengan mengukuhkan atau menolaknya)
Dilihat dari segi eksistensi atau wujudnya para ulama ushu  juga membagi mashlahah menjadi tiga macam, yaitu :
   1.Maslahat Mu’tabarah
 Mashlalah mu’tabarah ialah kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al – Said Ali Abd. Rabuh. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid asy-syari’ah. Oleh karena itu. Allah SWT telah menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan kepada maslahah mu’tabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari
segi tingkatan ia merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.

   2.Maslahat Mulgah.
        Yang dimaksud dengan maslahat mulghah ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini dengan menolak keberadaannya sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik yang menghendaki adanya kemaslahatan berupa tindakan jera (al-zajr) tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.
   
      D. Contoh dari Maslahah Mursalah
       a. Dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasul tidak ada nash yang melarang   mengumpulkan Al-Qur’an dari hafalan kedalam tulisan, meskipun demikian, para sahabat dizaman Abu Bakarbersepakat untuk menulis dan mengumpulkannya, karena mengingat kemaslahatan ummat, yang saat itu sahabat penghafal Al-qur’an banyak yang meninggal dunia.
      b. Tatkala Islam masuk ke irak, tanah Irak masih dimiliki oleh para pemilik asalnya dengan dikenaki pajak (kharaj), karena untuk menjaga kemaslahatan umat islam umumnya. Seharusnya empat perlima tanah tersebut diberikan kepada orang yang memerangi peperangan sebagai harta rampasan atau keuntungan perang.
      c. Pencatatan perkawinan dalam surat yang resmi menjadi maslahat untuk sahnya  gugatan dalam perkawinan, nafkah, pembagian harta bersama, waris dan lainnya.













BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
        Maslahah mursalah adalah Dari beberapa penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa selama tidak ada nash yang menunjang hukum suatu perkara, mashlahah mursalah bias dijadikan hujjah untuk meng-istinbath hukumnya. Tentunya dengan beberapa syarat yang telah disebutkan diatas. Jika dicermati lebih dalam ternyata seluruh madzhab menggunakan maslahat Mursalah dalam memngambil isthinbath hukum. Hal ini terlihat ketika mereka menggunakan pendekatan qiyas, digunakan pendekatan sifat munasib yang tidak menganggap perlu adanya dalil. Sifat munasib inilah yang sebenarnya yang disebut maslahah mursalah. 
          Jadi, sebenarnya akar perbedaan pendapat mengenai maslahah muraslah sebagai hujjah syar’iyah terletak pada sisi pandangan mereka terhadap maslahah mursalah. Golongan yang dimotori Imam Malik serta Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa maslahat yang mereka pakai berpijak pada syarat-syarat yang dibenarkan oleh syara’ bukan berdasarkan hawa nafsu atau menyimpang dari kebenaran sebagaimana pandangan kelompok yang menentang kehujjahan maslahah mursalah. Sedangkan golongan yang diwakili madzhab Hanafi, Syafi’i dan Madzhab Zahiri menekankan kehati-hatian dengan berbagai persyaratan maslahah yang sesuai dengan tujuan syari’at. Banyak persoalan baru bisa dikategorikan Maslahah Mursalah. Artinya persoalan baru itu memang mengandung maslahat dan dibutuhkan manusia dalam membangun kehidupan mereka, tetapi tidak ditemukan dalil yang mengakui ataupun menolaknya. Seiring dengan perjalanan waktu, hal ini akan terus berlangsung sepanjang masa dengan berbagi perbedaan latar belakang sosial budaya. Dengan demikian, untuk mengatasinya persoalan ini tidak lain tentulah pendekatan yang digunakan hanyalah dengan pendektan maslahah mursalah.

b. Saran
         Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, serta masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan kami, makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya pagi para pembaca.