a. Dalam
aspek ibadah.
Ø Seseorang
yang membasuh wajahnya, sedangkat niat nya untuk berwudhu, atau untuk menyegarkan
wajahnya saja. Jika iya berniat untuk berwudhu, maka membasuh wajah tadi
dihukumkan sebagai salah satu rukun wudhu, jika tidak maka sebaliknya. dan Jika
dia membasuh wajah tanpa ada niat, maka membasuh wajah itu dihukumkan sebagai
adat kebiasaan untuk membersihkan wajah dan tidak bernilai ibadah sama sekali.
Ø Seseorang
yang tidak makan dan minum sejak dari waktu sahur sampai sore. Jika niat nya berpuasa
maka ia dapat nilai ibadah puasa. Tapi jika niatnya hanya sekedar untuk
melangsingkan tubuhnya, atau karena memang tidak ada yang dapat dia makan, maka
dia tidak mendapatkan nilai ibadah puasa.
Ø Seseorang
yang mandi dilandasi dengan adanya niat maka akan berbeda dengan orang yang
mandi biasa, seperti halnya orang berniat mandi wajib dan orang yang hanya
mandi untuk menyegarkan tubuhnya saja. Maka nilainya pun jau berbeda, yang satu
bernilai ibadah wajib dan yang hasu hanya sebagai kebiasaan saja.
b. Dalam aspek muamalat.
B.
Mu’amalat mencakup tentang jual beli, gadai, hutang-piutang dan
lain sebagainya, contoh yang mudah untuk kita kaitkan kedalam qa’idah Al-Umuuru Biamaqaashidihaa adalah
tentang jual beli. Contoh :
Ø Sesorang
yang memperdagangkan benda-benda tajam/senjata
api, seperti pedang, pisau, pistol, dan lain sebagainya. Jika niatnya menjual
barang tersebut untuk para penjahat seperti perampok, preman, dan lain
sebagainya yang kebiasaannya mencelakai orang lain dengan benda tersebut, maka
perdagangannya itu diharamkan. Tetapi jika niatnya hanya untuk menjual kepada
orang yang akan menggunakannya dengan semestinya( bukan untuk mencelakai orang
lain ) maka perdagangan itu diperbolehkan.
c. Dalam
aspek munakahat.
Contoh dalam masalah kinayah talaq :
Ø Seorang
suami mengatakan kepada istrinya “ pulang
saja kerumah orang tuamu “, jika qasad nya dengan mengucapkan kalimat
tersebut sebagai sighat talaq, maka jatuhlah talaq atas istrinya. Tetapi jika
tujuannya hanya menyuruh istrinya untuk pulang ke rumah orang tuanya, maka
tidak jatuh talaq.
Ø Saya
sebagai suami mempunya istri bernama Naima. Lalu saya mengatakan “ Naima
Thaaliqun “. Jika yang saya maksud
dengan Naima di sana adalah istri saya maka jatuhlah talaq saya atas
istrinya. Tetapi jika yang saya maksud
bukan Naima istri saya, maka tidak jatuh talaq saya atas istri saya tersebut.
d. Dalam
aspek Jinayat.
Termasuk dalam jinayat adalah
pembunuhan dan lain sebagainya. Membunuh merupaka dosa besar setelah kekafiran.
Dengan diadakan hukum qisas atau dimaafkan,
maka tidak ada lagi tuntutan di akhirat. Dan hukum qisas tidak akan
dilaksanakan kecuali atas orang yang bersengaja untuk melakukan sebuah
kezhaliman.
Contoh:
Ø Seseorang
melihat sema-semak yang mergoyang-goyang, sehingga ia menyangka ada seekor
kijang dibalik semak-semak tersebut, kemudian ia tembak, ternyata yang ia tembak tersebut
adalah seseorang. Maka ia tidak
dikenakan hukum qisas, karena tidak sengaja (tersalah). Niatnya menembak
kijang, ternyata mengenai manusia.
Ø Apabila
orang yang meminjami mengambil harta orang yang meminjam(berhutang), dengan
niat harta yang ia ambil it sebagai bayaran hutangnya, maka orang yang
mengambil tadi tidak dihukumkan mencuri dan tidak kena hukuman(seperti potong
tangan), tetapi jika niatnya dengan mengambil harta tersebut adalah mencuri,
maka dia kena hukuman, yaitu potong tangan.
Demikianlah
beberapa contoh yang dapat penulis paparkan, semoga contoh-contoh yang ada di
atas sudah cukup memadai sebagai perwakilan untuk kita agar dapat memahami peranan
qa’idah Al-Umuuru Biamaqaashidihaa
dalam menentukan sebuah hukum perbuatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar