BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah SWT telah menurunkan agama Islam kepada
umat manusia dengan perantaraan nabi-Nya Muhammad SAW. Agama Islam yang
merupakan agama universal mengandung aturan-aturan hukum yang langsung dari
Allah SWTagar manusia selamat, baik di dunia maupun di akherat. Agama (Islam)
beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu,
diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad Saw.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut,
adakalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat
Islam kala itu, dan dalam ilmu al-Qur’an dikenal dengan istilah asbabun-nuzul
atau sebab-sebab turunnya wahyu Pada masa Rasulullah SAW, segala permasalahan
yang dihadapi para sahabat langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan demikian,
jawaban rasul terhadap pertanyaan-pertanyaan itu bersifat final. Pada masa ini,
sumber hukum yang digunakan adalah dua, yaitu al-Qur’andan Hadits Nabi yang
merupakan empirisasi. Seiring dengan wafatnya Nabi
Muhammad SAW, meluasnya wilayah kekuasaan Islam, rihlahnya para sahabat Nabi ke
berbagai wilayah, dan banyaknya sahabat yang syahid di medan laga, maka umat
Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum. Terkadang, masalah (hukum) yang
sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam
rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi
tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah
menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala
itu karena para sahabat mengenal teknik Nabi berijtihad
Setelah periode sahabat berlalu, pemecahan
persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam tetap berpegang teguh
kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Namun karena persoalan
hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan
hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak
ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa
metode istinbath hukum di antaranya; maslahah-mursalah atau istishlah (Imam
Malik), Istihsan (Imam Hanafi), qiyas (Imam Syafi’i), istishab (Imam Ahmad bin
Hambal) serta lainnya.
Namun kami disi lebih mengupas mengenai Maslahah-Mursalah,
walaupun tak spefikasi namun mencoba memberika sebuah informasi mengenai
masalah ini, sehubungan dengan pemenuhan tugas kelompok.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari Maslahah Mursalah ?
b. Bagaimana syarat kehujjahan Maslahah
Mursalah ?
c. Berapa macam-macam tingkatan Maslahah
Mursalah ?
d. Bagaimanakah Contoh dari Maslahah Mursalah
?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui dan memahami apa itu
Maslahah Mursalah.
b. Untuk mengetahui dan memahami status syarat
kehujjahannya.
c.
Untuk mengetahui dan memahami macam-macam terbahaginya Maslahah Mursalah.
d.
Untuk mengetahui dan memahami serta mengambil ibarah dari Maslahah Mursalah
D.Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam penulisan
serta penyusunan makalah ini yaitu melalui dua metode yaitu : melalui
kepustakaan (literature) dan dibantu media internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maslahah Mursalah
Secara etimologi, Maslahah sama
dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga
berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara
terminologi, terdapat beberapa definisi Maslahah yang di kemukakan
oleh ulama ushul Fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang
sama. Iman Ghozali mengemukakan bahwa prinsip Maslahah adalah mengambil manfaat
dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syara’.
Sama halnya dengan penjelasan dari
refrensi buku lain bahwasannya Maslahah mursalah adalah kebaikan (kemaslahatan
yang tidak di singgung-singgung syara’ secara jelas untuk mengerjakan atau
meninggalkannya, sedangkan apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau
menghindari kerusakan atau keburukan, seperti seseorang menghukum sesuatu yang
belum ada ketentuannya oleh agama. Apakah perbuatan itu haram atau boleh, maka
hendaknya dipandang kemudharatan dan kemanfaatannya. Bila kemudharatan lebih
banyak dari kemanfaatannya berarti perbuatan itu terlarang, maka sebaliknya
bila kemanfaatanya lebih banyak dibanding dengan kemudharatannya berarti perbuatan
itu dibolehkan oleh agama, karena agama membawa kepada kebaikan. Dalam
praktiknya, mashlahah tidak banyak perbedaan nya dengan ihtihsan. Perbedaan
dalam ihtihsan adalah mengecualikan suatu hukum dari peraturan yang umum yang
diterapkan oleh qiyas, sedangkan maslahah mursalah tidak ada penyimpangan dari
qiyas.
1. Iman Ar-Razi mendefenisikan
Maslahah sebagai berikut :
Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh
syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya,
akalnya, keturunan dan harta bendanya.
2. Imam Al-Ghazali
Mendefenisikan sebagai berikut :
Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat.
Selanjutnya is menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya adalah
menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan
harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari
maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah
satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia merupakan mafsadat, sedang
mencegahnya adalah maslahah.
3.
Al-Khawarizmi
Mendefinisikan
mashlahah sebagai berikut: Memelihara tujuan hukum Islam dengan mencegah
kerusakan/bencana (mafsadat) Atau hal-hal yang merugikan diri manusia.
Berdasarkan beberapa definisi di atas,
maka dapat ditarik kesimpuan bahwa mashlahah mursalah merupakan suatu metode
ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan
pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya
hukum syara’ (maqashid as-syari’ah).
Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan.
Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, luwes karena pendekatan ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam akan kaku (rigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.
B.Syarat Kehujjahan Maslahah Murslah
Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan.
Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, luwes karena pendekatan ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam akan kaku (rigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.
B.Syarat Kehujjahan Maslahah Murslah
a. Hanya berlaku dalam bidang
mu’amalah, karena persoalan ibadah tidak akan berubah-ubah.
b. Tidak berlawanan dengan maksud
syari’at atau salah satu dalilnya yang sudah terkenal (tidak bertentangan dengan nash).
c. Maslahah ada karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh
masyarakat.
Imam
Malik adalah seorang Faqih yang paling banyak menggunakan Maslahah Mursalah
ini. Ia beralasan bahwa Tuhan mengutus Rasul-Rasul-Nya untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia. Jika ada kemaslahatan, kuatlah dugaan kita bahwa
kemaslahatan itu syara’, karena hukum Allah SWT diadalan salah satunya untuk
kepentingan manusia.
d. Maslahah itu harus hakikat, bukan
dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu
memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah
yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari
mereka.
Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
e. Maslahah harus bersifat umum dan
menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa
orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang
bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri
dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang
membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka,
maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin
seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi
orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang
membentengi orang kafir tersebut. Demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin
seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
f. Maslahah itu harus sejalan dengan
tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis
maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak ada dalil
tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang
telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
Golongan yang mengakui kehujjahan
maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah
syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa
nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga
seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan
syahwatnya sebagai syari`atnya.
C. Macam–Macam Maslahah Mursalah
C. Macam–Macam Maslahah Mursalah
Maslahat
dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat dari
segi tingkatan dan eksistensinya.
1.
Maslahat dari segi Tingkatanya.
Ulama
membagi Maslahah dari segi tingkatan kepada 3 bagian, yaitu :
1.Maslahah
Dharuriyah (primer)
Maslahah dharuriyah adalah
perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila
ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka
rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran
yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang
merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu :
Jaminan
keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs).
Jaminan
keselamatan akal (al-muhafadzhohalal-aql).
Jaminan
keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzohalan-nasl).
Jaminan
keselamatan harta benda (al-muhafadzohalal-maal).
Jaminan
keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin).
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk
memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk
mempertahankan akidah Islmiyah. Begitu juga menghancurkan orang-orang yang suka
memfitnah kaum muslimin dari agamanya. Begitu juga menyiksa orang yang keluar
dari agama Islam.
Di antara
syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban
untuk berusaha memperoleh makanan, minuman dan pakaian
untuk mempetahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban mengqishas atau mendiat orang
yang berbuat pidana.
Di antara
syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk
meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga
menyiksa orang yang meminumnya.
Di antara
syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk
menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan kepada
pelaku zina, laki-laki atau perempuan.
Kemaslahatan
dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau
disebut juga dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka
tata kehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan
akan mengancam. Oleh karena itu Kelima
macam maslahatul ini harus dipelihara dan dilindungi
2.Maslahah Hajjiyah (sekunder)
Maslahah
hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan
dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh
masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan
menghilangkan kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya
menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan
ibadah, adat, muamalat dan bidang jinayat.
Termasuk
kategori hajjiyat dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk
transaksi yang dibutuhkan oleh manusia dalam bermu’amalah, seperti akad
muzaro’ah, musaqoh, salam maupun murobahah. Contoh lain dalam hal ibadah ialah
bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dan orang yang sakit pun bolehnya
mengqoshor sholat ketika dalam perjalanan.
Termasuk
dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama.
Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah gerak
langkah hidup manusia. Melarang/mengharamkan rampasan dan penodongan termasuk
juga dalam hajjiyah.
3.Maslahah
Tahsiniyah atau Kamaliyat (Pelengkap/tersier)
Maslahah
tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh
adat yang baik dan dicakup oleh bagian Mahasinul akhlak.
Kemaslahatan
ini lebih mengacu pada keindahan saja ( زينة للحياة) sifatnya hanya untuk
kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh
manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka,
tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan.Tahsiniyah juga masuk dalam
lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat. Lapangan ibadah misalnya,
kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik
ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah,
seperti shalat sunah puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.
Lapangan
adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik
dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan
menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain
melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat
curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh
membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.
Di antara
contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah diharamkannya memalsu
barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri
(eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Hal itu berlawanan
kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas.
Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta (ashul
mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan
hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan ihtiyath. Seperti juga
contoh pensyari’atan thoharoh sebelum shalat, anjuran berpakaian dan
berpenampilan rapih pengharaman makanan-makanan yang baik dan hal-hal serupa
lainya.
2.Maslahat
dari segi Eksistensinya.
Dalam
menguak metode kontroversial ini terdapat pertalian erat dengan pembahasan
qiyas yaitu sisi penggalian illat (legal clause) yakni al-munasabah (pemaparan
sifat/kondisi yang secara rasio selaras dengan penerapan hukum.) Bila syara’
mengakuinya berarti al-munasib tersebut layak dijadikan sandaran penetapan
hukum. Sebaliknya bila syara’ menolaknya maka tentu ia tidak dapat dijadikan
sandaran hukum. Berpijak dari hal ini ditinjau dari aspek kelayakannya
al-munasib terbagi dalam tiga Klasifikasi yaitu :
1.al-munasib
al-mu’tabar (syarat’ mengukuhkannya)
2.al-munasib
al-mulgho (syara’ menolak keberadaanya) dan
3.al-munasib
al-mursal (syara’ tidak menyikapi keberadaannya dengan mengukuhkan atau
menolaknya)
Dilihat dari segi eksistensi atau
wujudnya para ulama ushu juga membagi
mashlahah menjadi tiga macam, yaitu :
1.Maslahat Mu’tabarah
Mashlalah mu’tabarah ialah
kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan
mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh
syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad
al – Said Ali Abd. Rabuh. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua
kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara
agama, jiwa, keturunan dan harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan
maqashid asy-syari’ah. Oleh karena itu. Allah SWT telah menetapkan agar
berusaha dengan untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan,
menghukum pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula
menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang
dikategorikan kepada maslahah mu’tabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan,
karena dilihat dari
segi tingkatan ia merupakan
kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.
2.Maslahat Mulgah.
Yang dimaksud dengan maslahat mulghah
ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain,
maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan
dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat
ini dengan menolak keberadaannya sebagai variabel penetap hukum (illat).
Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara
laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan
ketentuan nash. Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian
kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus
bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada
bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat
ini dogmatik yang menghendaki adanya kemaslahatan berupa tindakan jera
(al-zajr) tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak diragukan bahwa
menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan
dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain
halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga
kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.
D. Contoh dari Maslahah Mursalah
a. Dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasul tidak
ada nash yang melarang mengumpulkan
Al-Qur’an dari hafalan kedalam tulisan, meskipun demikian, para sahabat dizaman
Abu Bakarbersepakat untuk menulis dan mengumpulkannya, karena mengingat
kemaslahatan ummat, yang saat itu sahabat penghafal Al-qur’an banyak yang
meninggal dunia.
b. Tatkala Islam masuk ke irak,
tanah Irak masih dimiliki oleh para pemilik asalnya dengan dikenaki pajak
(kharaj), karena untuk menjaga kemaslahatan umat islam umumnya. Seharusnya
empat perlima tanah tersebut diberikan kepada orang yang memerangi peperangan
sebagai harta rampasan atau keuntungan perang.
c. Pencatatan perkawinan dalam surat
yang resmi menjadi maslahat untuk sahnya gugatan dalam perkawinan, nafkah, pembagian
harta bersama, waris dan lainnya.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Maslahah mursalah adalah Dari beberapa
penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa selama tidak ada nash
yang menunjang hukum suatu perkara, mashlahah mursalah bias dijadikan hujjah
untuk meng-istinbath hukumnya. Tentunya dengan beberapa syarat yang telah
disebutkan diatas. Jika dicermati lebih dalam ternyata seluruh madzhab
menggunakan maslahat Mursalah dalam memngambil isthinbath hukum. Hal ini
terlihat ketika mereka menggunakan pendekatan qiyas, digunakan pendekatan sifat
munasib yang tidak menganggap perlu adanya dalil. Sifat munasib inilah yang
sebenarnya yang disebut maslahah mursalah.
Jadi, sebenarnya akar perbedaan
pendapat mengenai maslahah muraslah sebagai hujjah syar’iyah terletak pada sisi
pandangan mereka terhadap maslahah mursalah. Golongan yang dimotori Imam Malik
serta Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa maslahat yang mereka pakai berpijak
pada syarat-syarat yang dibenarkan oleh syara’ bukan berdasarkan hawa nafsu
atau menyimpang dari kebenaran sebagaimana pandangan kelompok yang menentang
kehujjahan maslahah mursalah. Sedangkan golongan yang diwakili madzhab Hanafi,
Syafi’i dan Madzhab Zahiri menekankan kehati-hatian dengan berbagai persyaratan
maslahah yang sesuai dengan tujuan syari’at. Banyak persoalan baru bisa
dikategorikan Maslahah Mursalah. Artinya persoalan baru itu memang mengandung
maslahat dan dibutuhkan manusia dalam membangun kehidupan mereka, tetapi tidak
ditemukan dalil yang mengakui ataupun menolaknya. Seiring dengan perjalanan
waktu, hal ini akan terus berlangsung sepanjang masa dengan berbagi perbedaan
latar belakang sosial budaya. Dengan demikian, untuk mengatasinya persoalan ini
tidak lain tentulah pendekatan yang digunakan hanyalah dengan pendektan
maslahah mursalah.
b. Saran
Kami sadar, sebagai seorang pelajar
yang masih dalam proses pembelajaran, serta masih banyak kekurangannya. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat
positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan
datang. Harapan kami, makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat
khususnya bagi penulis dan umumnya pagi para pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar