Minggu, 31 Maret 2013

Makalah kelompok 4, Dimensi-Dimensi Manusia


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Manusia sebagai Makhluk Individu
Sebagai individu manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya. Manusia bukan hanya badan, sebaliknya bukan hanya roh. Sebagai individu, setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik. Setiap manusia mempunyai dunianya sendiri, tujuan hidupnya sendiri. Masing-masing secara sadar berupaya menunjukkan eksistensinya, ingin menjadi dirinya sendiri atau bebas bercita-cita untuk menjadi seseorang tertentu, dan masing-masing mampu menyatakan “inilah aku” di tengah-tengah segala yang ada. Karena itu, manusia adalah subjek dan tidak boleh dipandang sebagai objek.
1.      Karekteristik Keindividuan
Setiap individu memiliki ciri dan sifat karekteristik masing-masing, ada karekteristik bawaan (herdity) dan karekteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan,  karekteristik bawaan merupakan karekteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun merupakan faktor sosial psikologis. Pada masa lalu ada keyakinan, kepribadian terbawa pembawaan (heredity) dan lingkungan. Ini merupakan dua faktor yag terbentuk karena terpisah, masing-masing mempengaruhi kepribadian dan kemampuan individu bawaab dan lingkungan dengan cara sendiri-sendiri. Namun kemudian makin disadari bahwa apa yang difikirkan dan dikerjakan seseorang, atau apa yang dirasakan oleh seorang anak, remaja, dan dewasa, ini merupakan hasil dari perpaduan antara apa yang ada diantara faktor-faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh dari lingkungan.




2.      Faktor-Faktor yang mempengaruhi Keindividuan.
Pada dasarnya ada dua faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dalam diri individu,  yaitu :
1.      Faktor internal
Faktor(dimensi) internal atau yang di sebut juga kerangka acuan internal (internal frame of refrence) adalah penilaian yang di lakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi/Faktor ini terdiri dari tiga bentuk:
a.       Diri identitas(identity self)
Bagian ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan,”siapakah saya?” Dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang di berikan pada diri(self) oleh individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya ”saya kita”. kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya.
b.      Diri pelaku(behavioral self)
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang di lakukan oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri prilakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat di lihat pada diri sebgai penilai.
c.       Diri penerimaan/penilai (judging self)
Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara(mediator) antara diri identitas dan diri prilaku.
Manusia cendrung memberikan penilaian terhadap apa yang dipresepsikan. Oleh karena itu, label-label yang dikenakan pada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan di tampilkannya.
Diri penilai menentukan kepuasan tentang seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seorang menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah  akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan akan mengembangkan ketidak percayaan yang mendasar pada dirinya. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya yang lebih realitas, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan memfokuskan energi serta perhatiannya ke luar diri, dan pada akhirnya dapat berfungsi lebih konstuktif. Ketiga bagian internal ini mempunyai peranana yang berbeda-beda namun saling melengkapi dan berinteraksi membentuk suatu diri yang utuh dan menyeluruh.

2.      Faktor eksternal
Pada diri eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang di anutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama, dan sebagainya. Namun, dimensi yang di kemukakan oleh fits adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan atas lima bentuk, yaitu:

a.       Diri fisik (physical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik.Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus).
b.      Diri etik-moral (moral-ethical self)
Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya di lihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika.Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.
c.       Diri pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak di pengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi di pengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadiyang tepat.

d.      Diri keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang di jalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.
e.       Diri social (social self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.



B.     Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia tidak hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk dirinya sendiri. Manusia hidup dalam keterpautan dengan sesamanya. Di samping itu, setiap individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Sehubungan ini Aristoteles menyebut manusia sebagasi makhluk sosial  atau makhluk bermasyarakat.
Ernst Cassirer menyatakan : manusia takkan menemukan diri, manusia takkan menyadari individualitasnya, kecuali melalui perantaraan pergaulan sosial. Masyarakat terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya suatu masyarakat akan ditentukan oleh individu-individu yang membangunnya.
Sebagai contoh, bila seekor binatang lahir, maka binatang itu cepat sekali menolong dirinya dan mencari makan sendiri. Dalam dalam waktu singkat iya tidak lagi membutuhkan asuhan induk bapaknya. Ia lalu menempuh jalan sendiri dan tidak memperdulikan orang tuanya lagi.
Berlainan halnya dengan manusia. Ia lahir di dunia tidak berdaya apa-apa. Dia memerlukan pemeliharaan orang lain dalam waktu yang lama. Alangkah berbedanya dengan seekor anak ayam yang lari begitu saja setelah keluar dari telur, lalu pergi mencari makan.
Pada manusia, setelah masa bayi berakhir. Menyusul pula waktu belajar yang sama. Ia belum berdiri sendiri. Jadi dapatlah kita ambil kesimpulan, bahwa manusia dalam masa anak-anak banyak memerlukan pemeliharaan orang lain. Di samping itu, kita lihat pula bahwa orang-orang dewasa cenderung untuk memelihara dan menolong kepada yang lebih muda. Juga cenderung untuk berkumpul dan bekerja sama dengan orang-orang dewasa yang lain.
Oleh karena setiap manusia adalah pribadi (individu) dan adanya hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan sesamanya maka idealnya situasi hubungan antara individu dengan sesmanya itu tidak merupakan hubungan antara subjek dengan objek, melainkan subjek dengan subjek. Berdasarkan hal itu dan karena terdapat hubungan timbal balik antara individu dengan sesamanya delam rangka mengukuhkan eksisitensinya masing-masing maka hendaknya terdapat keseimbangan antara individualitas dan sosialitas pada setiap manusia.
Jadi dapat kita katakana:
ü  Manusia itu menurut pembawaannya adalah mahluk social.
ü  Manusia itu tak dapat tidak pasti hidup dalam golongan-golongan.

C.    Manusia sebagai Makhluk Susila
Manusia sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai potensi dan kemampuan untuk berfikir, berkehendak bebas, bertanggung jawab, serta punya potensi untuk berbuat baik. Karena itulah, eksistensi manusia memiliki aspek kesusilaan. Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilaan karena pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Sebgai makhluk otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada satu alternatif tindakan yang harus dipilihnya.
Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu berhubungan dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan perbuatannya secara otonom maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung jawaban atas perbuatannya.

D.    Manusia sebagai Makhluk Beragama
Dimensi Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yg diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama, adapun yang dimaksud dengan agama ialah : “satu sistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia, satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu, dan satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya yang sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud di atas.
Manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan oleh manusia agar (sehingga) manusia beriman dan bertakwa kepadaNya. Manusia hidup beragama karena agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat mutlak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-masing individu. Dalam keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya, tata cara hidup dalam berbagai aspek kehidupannya, dan menjadi jelas pula apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Manusia adalah makhluk yang berkebutuhan atau di sebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau di sebut juga dengan homo religious artinya makhluk yang beragama.Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan yang lainnya,bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati berupa keinginan untuk mencintai dan di cintai tuhan.
Dalam pandangan islam,sejak lahir manusia telah mempunyai jiwa agama, jiwa yang mengakui adanya zat yang Maha pencipta dan Maha kuasa yaitu Allah S.W.T sejak di alam roh, manusia telah memiliki komitmen bahwa Allah adalah tuhannya, pandangan ini bersumber pada firman Allah SWT.
Artinya:
            “Dan(ingatlah), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka(seraya berfirman) ’’bukankah aku ini tuhanmu?” mereka menjawab ’’betul(engkau tuhan kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan :”Sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan allah)” (Q.S.al-A’raf:172).
Jiwa beragama tersebut di sebut juga fitrah beragama. Muhammad hasan Hamshi, menafsirkan fitrah yaitu bahwa manusia di ciptakan allah mempunya naluri beragama yaitu, Agama tauhid. pandangan tersebut di perkuat oleh syekh Muhammad Abduh dalam tafsirnya yang berpendapat bahwa agama Islam adalah agama fitrah. Demikian juga Abu A’la al-Muadudi menyatakan bahwa agama Islam identik dengan watak tabi’i(human nature).
Islam memandang ada suatu kesamaan di antara sekian perbedaan manusia. kesamaan itu tidak pernah akan berubah karena pengaruh ruang dan waktu. Yaitu potensi dasar Beriman(aqidah tauhid) kepada Allah. aqidah tauhid merupakan fitrah(sifat dasar) manusia sejak misaq dengan Allah. Sehungga manusia pada prinsipnya selalu ingin kembali kepada sifat dasarnya meskipun dalam keadaan yang berbeda-beda.
Pandangan islam terhadap fitrah ini adalah yang membedakan  kerangka nilai dasar pendidikan islam dengan yang lain. Dalam konteks Makro, pandangan islam terhadap manusia ada tiga implikasi dasar yaitu Pertama, implikasi yang berkaitan dengan pendidikan di masa depan,di mana pendidikan di arahkan untuk mengembangkan fitrah seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi. kedua, tujuan(ultimate goal) pendidikan, yaitu insan kamil yang akan tercapai bila manusia menjalankan fungsinya sebagai Abdullah dan Khalifah sekaligus. Ketiga, muatan materi dan metodologi pendidikan, di adakan spesialisasi dengan metode integralistik dan di sesuaikan dengan fitrah manusia.








BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Sebagai individu manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya.
Setiap individu memiliki ciri dan sifat karekteristik masing-masing, ada karekteristik bawaan (herdity) dan karekteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan.
Pada dasarnya ada dua faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dalam diri individu,  yaitu :
1.      Faktor internal
2.      Faktor eksternal
Manusia memang makhluk individual, namun demikian ia tidak hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk dirinya sendiri. Jadi dapat kita katakana:
ü  Manusia itu menurut pembawaannya adalah mahluk social.
ü  Manusia itu tak dapat tidak pasti hidup dalam golongan-golongan.
Dimensi Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yg diwujudkan dalam sikap dan perilaku.
B.     SARAN-SARAN
1.      Setelah membaca makalah ini sebaiknya pembaca  mempelajari-mempelajari buku ataupun makalah-makalah yang lainnya. Guna lebih menambah wawasan dan tidak hanya cukup dengan satu buku.
2.      Keritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan guna menjadikan  lebih baik di masa yang akan dating.

Sabtu, 30 Maret 2013

PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN TENTANG SIFAT TUHAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
             Kaum muslimin abad pertama hijriah kalau bertemu ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat yang membicarakan sifat-sifat Tuhan, tidak mau membicarakan isinya, juga tidak mau menakwilkan, meskipun mereka berpendirian seharusnya tidak diartikan menurut lahirnya, karena Tuhan maha suci dan tidak bisa disamakan dengan makhluk. Dengan perkataan lain, tidak ada persamaan antara ala-alam lahir dan alam-alam ghaib. Karena itu persoalan sifat tidak pernah menjadi pembicaraan pada masa sahabat dan tabiin. Waktu mereka berguna untuk menghadapi yang lebih penting, yaitu penyiaran Islam dan memperkuat dasar-dasar Negara yang baru berdiri. Akan tetapi pada masa sesudah mereka, timbullah persoalan sifat dan menjadi pembicaraan golongan-golongan Islam.
B.     Perumusan Masalah
Perbandingan Antar Aliran tentang sifat Tuhan
C.     Tujuan Penulisan
·         Memenuhi salah satu tugas mata kuliyah Ilmu Kalam yang diberikan oleh Dosen Pembimbing
·         Sebagai salah satu sarana untuk mendapatkan nilai dari mata kuliyah Imu Kalam
·         Dijadikan sarana dalam proses belajar membuat Karya Ilmiyah

D.    Metode Penulisan
             Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan, yakni dengan cara mengumpulkan buku-buku yang menyangkut tentang permasalahan yang dibahas sehingga makalah ini selesai.


BAB II
PEMBAHASAN

1.                  Aliran Musyabbihah (Karramiyah)
             Kaum Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa tuhan adalah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.[1]
Kalau sekiranya kaum muslimin memegangi teguh prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan dengan makhluknya, tentulah tidak  timbul persoalan sifat dan tidak timbul segolongan muslimin yang memegangi lahir nash-nash ayat atau hadist mutasyabihat, seperti golongan musyabbihah atau Karramiyah. Dengan demikian mereka mirip golongan agama-agama lain yang mempercayai Tuhan bertubuh dan nampak dalam bentuk manusia.
Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menurut lahirnya berisi persamaan Tuhan dengan makhluk yang menjadi dasar kepercayaan golongan tersebut, seperti ayat-ayat  yang mengatakan  bahwa Tuhan berada dalam suatu arah tertentu, yaitu di atas, di langit, di  Arsy, bahkan berpindah-pindah. Ayat-ayat tersebut adalah :

a. Q.S Al-Mulk:16
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ ﴿١٦﴾
 “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?”

b. Q.S Al-An’am:3
وَهُوَ اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ ﴿٣﴾
“Dan dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan danapa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.”

c. Q.S Al-Kahfi:48
وَعُرِضُوا عَلَى رَبِّكَ صَفّاً لَّقَدْ جِئْتُمُونَا كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ بَلْ زَعَمْتُمْ أَلَّن نَّجْعَلَ لَكُم مَّوْعِداً ﴿٤٨﴾
“Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada kami, sebagaimana kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.”
d. Q.S Al-Baqarah:210
هَلْ يَنظُرُونَ إِلاَّ أَن يَأْتِيَهُمُ اللّهُ فِي ظُلَلٍ مِّنَ الْغَمَامِ وَالْمَلآئِكَةُ وَقُضِيَ الأَمْرُ وَإِلَى اللّهِ تُرْجَعُ الأمُورُ ﴿٢١٠﴾
Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.”
Demikian pula hadist Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah, berbunyi sebagai berikut :“Tuhan kita kita turun kelangit dunia setiap malam, pada waktu sepertiga malam terakhir. Ia berfirman, siapa yang berdoa padaKU  akan saya kabulkan. Siapa yang minta ampun, saya ampuni.”
Selain Q.S Al- Baqarah, semua ayat-ayat tersebut adalah Makkiah. Tujuan utama surat-surat tersebut ialah menetapkan asaa-asas kepercayaan agama baru, yaitu  Islam, sesudah menunjukkan salahnya kepercayaan-kepercayaan orang musyrik.
Bagaimanapun juga golongan Musyabbihah yang memegangi lahirnya ayat-ayat merupakan segolongan kecil. Leon Ghautier mengatakan bahwa semua kaum muslimin pada permulaan Islam berpaham anthropomorphist. Pendapat tersebut tidak benar, sebab sebagian besar dari mereka terkenal dengan sebutan nama Salaf dan orang-orang sesudah mereka tetap memegangi  prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan dengan makhluk.[2]
2.      Aliran Mu’tazillah
Kaum Mu’tazillah adalah suatu kaum yang membikin heboh dunia Islam selama 300 tahun pada abad-abad permulaan Islam. Perkataan  Mu’tazillah berasal dari kata “I’tizal”, artinya menyisihkan diri. Kaum Mu’tazillah berarti kaum yang menyisihkandiri.[3]
Pendirian golongan Musyabbihah yang berlebih-lebihan menimbulkan reaksi hebat pada golongan Mu’tazillah yang menyipati Tuhan dengan ‘ESA’, ‘QADIM’ dan ‘BERBEDA DARI MAKHLUK’. Sifat-sifat ini adalah sifat salaby(negatif) karena tidak menambahkan sesuatu  pada zat Tuhan. Dikatakan salaby, karena ESA, artinya tidak ada sekutu, QADIM artinya tidak ada permulaannya dan BERBEDA DARI MAKHLUK artinya tida ada yang menyamaiNYA.[4]
Kaum Mu’tazillah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negative. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat, dan sebagainya. Namun, ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkuasa dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti sebenarnya. Artinya, “Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.” Dengan demikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu Al-Huzail, adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat atau esensi tuhan. “sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dengan pengetahuan; Maha Kuasa dengan Kekuasaan; Maha Hidup dengan Kehidupan. Pengetahuan, kekuasaan dan kehidupan-Nya adalah Dzat-Nya sendiri.”
Jadi menurut Mu’tazillah  Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat golongan lain. Apa yang dipandang sifat dalam pendapat  golongan, bagi Mu’tazillah tidak lain adalah Zat Allah sendiri.
            Untuk menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazillah  menafi’kan sifat-sifat bagi Tuhan. Dengan cara demikian, golongan Mu’tazillah mengklaim dirinya sebagai golongan Ahlut tauhid Wal ‘Adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa ditambah apa-apa.[5]
Meskipun golongan Mu’tazillah tidak mengingkari sifat-sifat  Tuhan, namun mereka mendapat tuduhan sebagai golongan Mu’attilah (golongan pengosong sifat-sifat dari Tuhan) dari lawannya, yaitu golongan Asy’ariyah. Adanya tuduhan ini adalh karena mereka tidak mau mengerti dasar pendapatgolonganMu’tazillah, yaitu pemisahan antar Tuhan dan manusia dan menandaskan keesaan yang semurni-murninya.[6]
Tokoh-tokoh Mu’tazillah diantaranya adalah Al Nazhzham dan Abu Huzail. Al Nazhzham menafikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan dan sifat-sifat Dzat Allah yang lain. Allah senantiasa tahu, hidup, kuasa, mendengar, melihat, dan qadim dengan dirinya sendiri, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, perikehidupan, pendengaran, penglihatan, dan keqadiman. Demikian pula, sifat-sifat Allah yang lain.
Sementara itu, dalam pandangan Abu Huzail, esensi pengetahuan Allah adalah Allah sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, kebijaksanaan dan sifat-Nya yang lain. Ia berkata, “Kalau aku menyatakan Allah “bersifat” tahu, itu artinya akupun menyatakan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Dzat-Nya sendiri.  Dengan begitu, aku tegas-tegas menolak anggapan bahwa Allah  itu bodoh terhadap sesuatu yang  sudahada atau akan terjadi. Demikian juga, sifat-sifat Dzat Allah yang lain.
Sungguh pun terdapat perbedaan paham antara pemuka-pemuka Mu’tazillah, mereka sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Aliran Mu’tazillah yang memberikan daya yang besar kepada akal berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat jasmani. Bila dikatakan mempunyai sifat jasmani, menurut Al Jabbar, tentulah Tuhan mempunyai ukuran panjang, lebar dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai kemestian dari sesuatu yang bersifat jasmani. Oleh sebab itu, Mu’tazillah menafsirkan ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa Tuhan bersifat jasmani secara metaforis. Dengan kata lain, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tu han bersifat jasmani diberi takwil oleh Mu’tazillah dengan pengertian yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah.
Selanjutnya, Mu’tazillah berpendapat karena bersifat immateri, Tuhan tidak dapat dilihat denganmata kepala. Dua argument pokok yang diajukan oleh Mu’tazillah untuk menjelaskan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat denga mata jasmani, adalah berikut ini. Pertama,  Tuhan  tidak mengambil tempat, sehinnga tidak dapat dilihat.  Kedua,bila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, itu berarti tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini. Ayat- ayat Al-Qur’an yang dijadikan adalah ayat 103 surat Al-An’am, ayat 23 surah Al-Qiyamah, ayat 143 surat Al-A’raf, ayat 110 surat Al-Kahfi dan ayat 51 surat As-Syura.[7]

3.      Aliran Asy’ariah
Aliran Asy’ariyah, seperi golongan Mu’tazillah, juga mengadakan pemisahan antara sifat-sifat salaby(negatif) dan sifat-sifat ijaby(positif). Pendiriannya tentang sifat-sifat negative sama dengan golongan Mu’tazillah, akan tetapi dalam sifat-sifat positif berbeda pendiriannya. Menurut pendapatnya, sifat ijaby berbeda dengan dengan  Zat Tuhan dan antar sifat-sifat itu sendiri berlainan satu sama lain. Sifat-sifat itu bukan hakekat zat Tuhan sendiri. Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, berbicara, mendengar, maelihat, hidup artinya Ia mempunyai sifat-sifat ilmu, iradat(berkehendak), qodrat(kekuasaan), dan seterusnya. Ia mempunyai sifat-sifat yang disebutkan Qur’an.
Asy’ary mendasarkan pendapatnya kepada apa yang dilihatnya pada manusia dan sifatnya. Dengan perkataan lain, ia mengharuskan berlakunya soal-soal kemanusiaan kepada Tuhan, atau mengharuskan  berlakunya hukum yang berlaku pada alam lahir pada alam ghaib.
Mengapa harus mempersamakan Tuhan dengan manusia dalam soal ini Asy’ary mengatakan bahwa “sifat-sifat Tuhan bukan Zat-Nya, bukan pula lain dari Zat-nya”.[8]
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfinya.oleh sebab itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana. Namun, semua itu dikatakn la yukallaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).
Bertentangan dengan pendapat Mu’tazillah, aliran Asy’ariyah mengatakan bahwa tuhan dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala. Asy’ary menjelaskan bahwa sesuatu  dilihat. Lebih jauh dikatakan bahwa Tuhan dapat melihat apa yang ada sehingga melihat diri-Nya juga. Bila Tuhan melihat diri-Nya, tentulah Ia sendiri dapat membuat manussia mempunyai kemampuan untuk melihat diri-Nya sendiri. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan Asy’ary dalam menopang pendapat diatas adalah surat Al-Qiyamah ayat 22-23:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ ﴿٢٢﴾ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ﴿٢٣﴾
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.
Dan surah Al’A’raf ayat 143:
وَلَمَّا جَاء مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَن تَرَانِي وَلَـكِنِ انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكّاً وَخَرَّ موسَى صَعِقاً فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ ﴿١٤٣﴾
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang Telah kami tentukan dan Tuhan Telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, Aku bertaubat kepada Engkau dan Aku orang yang pertama-tama beriman".        
Dan surah Yunus ayat 26:
لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلاَ يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلاَ ذِلَّةٌ أُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٢٦﴾
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan  mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya.”[9]    
4.           Aliran Maturidiyah
Ia mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, muzallamah (ada bersama), tanpa pemisahan antara Zat seperti Qodrat, dan sifat-sifat active ( af’al), seperti menciptakan, menghidupkan, memberi rezqi dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut tidak boleh diperbincangkan apakah hakekat zat atau bukan.                   Akan tetapi kemudian ia membelok kepada Asy’ary dengan mengadakan bahwaapa yang dimaksud dengan perkataan “tidak berbeda dari zat” ialah bahwa sifat-sifat itu tetap ada pada zat dan tidak bisa lepas  daripadanya. Timbul  persoalanyang sama seperti di atas. Kalau sifat-sifat itu bukan hakekat zat, tidak pula berbeda dari zat, apa jadinya sifat-sifat itu? Jawaban Maturidy: “sifat-sifat itu sifat Tuhan, tidak lebih dari itu.”
Dengan kata lain, ia tidak bisa menyelesaikan contradictie. Sebenarnya ia bisa membelok kepada golongan Mu’tazillah atau orang-orang filosof, dengan mengatakan, tidak dapat dipersamakan  antara Tuhan dengan manusia dan sifat Tuhan adalah hakekat zat-Nya. Ia juga bisa mekangkah ke arah aliran Salaf dengan pengakuan bahwa mazhab itu lebih selamat dan bahwa pembahasan sifat akan menyeret kita kepada bid’ah, seperti yang dilakukan oleh Mu’tazillah dan Asy’ariyyah.
Meskipun demikian, sikap Maturidy terhadap Mu’tazillah lebih lunak. Penetapan sifat-sifat untuk Tuhan, baginya tidak berarti tasybih(mempersamakan Tuha dengan manusia) dan mereka yang mengingkari sifat-sifat (Mu’tazillah) dengan alasan menyucikan Tuhan tidak perlu disebut Mu’attilah, tidak pula kafir, meskipun pengingkkaran sifat lebih berbahaya daripada menetapkannya, sebab bisa menjadikan Allah suatu gambaran fikiran yang kosong.
Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan menurut Maturidy, harus menggunakan cara tasybih dan tanzil bersama-sama. Sifat-sifat Tuhan itu qadim dan tidak bisa diterangkan kecuali menggunakan kata-kata yang biasa dipakai untuk lingkungan manusia, yang berarti mempersamakn (tasybih). Akan tetapi dalam pada itu harus dipakai jaln tanzil untuk meniadakan setiap persamaan antara difat Tuhan dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu ditanyakan, bagaimana sifat ilmu dan qodrat Tuhan itu, sebab pertanyaan ini masih memaksakan adanya persamaan. Prinsip inilah yang menjadi pegangan Ibn Rusyd.
5.      Filosof-filosof Islam
Pendapat filosof-filosof Islam, seperti Al-Kindy dan Faraby, mendekati pendapat Mu’tazillah. Mereka mengingkari berbilangnya sifat Tuhan dan mensucikan-Nya semurni-murninya. Akan tetapi mereka tidak disebut golongan Mu’attilah, sebab mereka mengakui sifat-sifat yang dikatakan lawan-lawannya  dan tidak berkeberatan disebutkan untuk Tuhan, tetapi mereka menandaskan bahwa pengertiannya (hakekatnya) adalah satu juga, yaitu Zat Tuhan sendiri.
Filosof-filosof tersebut mengadakan pemisahan benar-benar antara Allah dan manusia. Pada manusia kita mengetahui dirinya sendiri lain daripada sifat-sifatnya, dan tiap-tiap sifat lainnya. Tidak demikian halnya bagi Tuhan, karena Tuhan adalah wujud pertama yang ada dengan sendirinya dan illat (sebab) pertama. Sifat-sifat  yang  disebutkan Al-Qur’an tidak bisa diingkari, akan tetapi harus diartikan, bahwa sifat-sifat itu adalah gambaran fikiran (I’tibaral annizzihiyah) yang diperlukan manusia untuk mempunyai gambaran tentang Tuhan. Ringkasnya para filosof-filosof tidak meniadakan sifat-sifat, tetapi lebih suka mensucikan Tuhan sejauh mungkin.[10]
6.      Ibn Rusyd
Nama sebenarnya ialah Abdul Walid Muhammad  bin Ahmad bin Rusyd. Dilahikan dikota Cordoba, kota pusat kemajuan pikiran di Spanyol. [11] Ibn Rusyd adalah seseorang yang pertama-tama merasakan bahwa pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan  tidak ada gunanya dan merupakan suatu bid’ah, karena tidak pernah dibicarakan kaum Muslimin pada masa-masa permulaan Islam. Ia lebih tegas pendiriannya daripada Maturidy, meskipun Maturidy telah membuka jalan penyelesaian yang berhasil. Sebagaiman dikatakan diatas, sebenarnya Maturidy tinggalsatu langkah kea rah pendirian Ulama Salaf, yaitu menjauhkan diri dari persoalan sifat. Baru pada Ibn Rusyd langkah ini diadakan. Ia tidak sependapat dengan Asy’ary,  juga tidak menyetujui aliran Mu’tazillah. 
Menurut Ibn Rusyd, sifat-sifat Tuhan yang disebutkan dalam Al-Qur’an tidak perlu menimbulkan bilangan yang tidak menghilangkan Keesaan Tuhan, karena sifat-sifat Tuhan dibagi dua :
a.       Sifat zat dan wujud, yaitu sifat-sifat yang meniadakan dari Tuhan  segi-segi kelemahan, yang biasa terdapat pada manusia.
b.      Sifat-sifat perbuatan, yaitu yang menentukan hubungan Tuhan dengan makhluk.
             Sebenarnya Ulama-ulama kalam dalam kedua sifat tersebut selalu memegangi prinsip pemisahan yang tegas antara alam manusia dengan alam ketuhanan. Akan tetapi aliran Asy’ariyah menyimpang dari prinsip tersebut dan menyatakan jelas-jelas bahwa sifat-sifat itu adalah sifat ma’nawiyah, artinya yang menyatakan pengertian yang ada pada zat Tuhan, dengan tidak menyadari bahwa pendirian tersebut bisa menimbulkan kejang-kejang yang sukar diselesaikan orang biasa, yang akhirnya  membawa mereka kea rah pen-jisim-an Tuhan.
             Sebab dengan adanya penyipatan semacam itu, kedudukan Tuhan sama dengan jauhar dan ardl. Kita mengetahui bahwa jauhar ialah yang berdiri sendiri, sedang ardl ialah yang tidak mempunyai wujud sendiri, tetapi selalu berada pada lainnya. Apa yang terdiri dari jauhar dan ardl adalah jisim. Kalau kita mengatakan bahwa hubungan sifat-sifat dengan Tuhan sama dengan hubungan tuhan itu dengan jisim. Hal-hal semacam ini sudah barang tentu jauh dari maksud-maksud Syara’ sendiri. Demikian Ibn Rusyd.
             Ibn Rusyd juga tidak menyetujui pendapat Mu’tazillah sepenuhnya, karena mempersamakan zat Tuhan dengan sifat-sifatNya, tidak dapat diterima orang-orang biasa, sebab bukan dalil axioma, bukan pula dalil Syara’. Telah disebutkan, bagaimana orang-orang Mu’tazillah terpaksa menetapkan dua sifat, yaitu ilmu dan qodrat. Mempersatukan zat dengan sifat mengakibatkan persamaan ilmu dengan qodrat, selama masing-masingnya adalah hakekat zat. Pendapat tersebut jauh dari pemahaman orang biasa.




BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Kaum Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa tuhan adalah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.
Kaum Mu’tazillah adalah suatu kaum yang membikin heboh dunia Islam selama 300 tahun pada abad-abad permulaan Islam. Perkataan  Mu’tazillah berasal dari kata “I’tizal”, artinya menyisihkan diri. Kaum Mu’tazillah berarti kaum yang menyisihkandiri.
Aliran Asy’ariyah, seperi golongan Mu’tazillah, juga mengadakan pemisahan antara sifat-sifat salaby(negatif) dan sifat-sifat ijaby(positif). Pendiriannya tentang sifat-sifat negative sama dengan golongan Mu’tazillah, akan tetapi dalam sifat-sifat positif berbeda pendiriannya. Menurut pendapatnya, sifat ijaby berbeda dengan dengan  Zat Tuhan dan antar sifat-sifat itu sendiri berlainan satu sama lain.
Aliran Maturidiyah mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, muzallamah (ada bersama), tanpa pemisahan antara Zat seperti Qodrat, dan sifat-sifat active ( af’al), seperti menciptakan, menghidupkan, memberi rezqi dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut tidak boleh diperbincangkan apakah hakekat zat atau bukan.



[1] . I’tiqad Ahlusunnah Wal jama’ah, K.H. Siradjuddin Abbas, hal 253[1]

[2] Theology Islam, bulan bintang, Jakarta,1982, cetakan 4,A.hanafi MA,hal102
[3] I’tiqad Ahlusunnah Wal jama’ah, K.H. Siradjuddin Abbas, hal173 & 174
[4] Theology Islam, bulan bintang, Jakarta,1982, cetakan 4,A.hanafi MA,hal105

[5] Drs.H.M.Akmal, Tauhid ilmu kalam,CV pustaka setia hal146
[6] Theology Islam, bulan bintang, Jakarta,1982 cetakan 4,hal105, A.Hanafi MA

[7] Kamus Istilah teologi Islam,Drs.ROsihan Anwar, M,Ag dan Drs.Abdul Rozak,M.Ag, penerbit Pustaka Setia, Bandung, cet.I,2002, hal181-185
[8]  Theology Islam, bulan bintang, Jakarta,1982 cetakan 4,hal 107, A.Hanafi MA

[9]Al-Qur’an dan Terjemahnya
[10]  Theology Islam, bulan bintang, Jakarta,1982 cetakan 4,hal 107, A.Hanafi MA
[11] Pengantar Theology Islam, A. Hanafi MA, hal186