BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaum muslimin abad pertama hijriah
kalau bertemu ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat yang membicarakan
sifat-sifat Tuhan, tidak mau membicarakan isinya, juga tidak mau menakwilkan,
meskipun mereka berpendirian seharusnya tidak diartikan menurut lahirnya,
karena Tuhan maha suci dan tidak bisa disamakan dengan makhluk. Dengan
perkataan lain, tidak ada persamaan antara ala-alam lahir dan alam-alam ghaib.
Karena itu persoalan sifat tidak pernah menjadi pembicaraan pada masa sahabat
dan tabiin. Waktu mereka berguna untuk menghadapi yang lebih penting, yaitu
penyiaran Islam dan memperkuat dasar-dasar Negara yang baru berdiri. Akan
tetapi pada masa sesudah mereka, timbullah persoalan sifat dan menjadi
pembicaraan golongan-golongan Islam.
B.
Perumusan Masalah
Perbandingan Antar Aliran tentang
sifat Tuhan
C.
Tujuan
Penulisan
·
Memenuhi
salah satu tugas mata kuliyah Ilmu Kalam yang diberikan oleh Dosen Pembimbing
·
Sebagai
salah satu sarana untuk mendapatkan nilai dari mata kuliyah Imu Kalam
·
Dijadikan
sarana dalam proses belajar membuat Karya Ilmiyah
D.
Metode
Penulisan
Dalam
penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan, yakni dengan
cara mengumpulkan buku-buku yang menyangkut tentang permasalahan yang dibahas
sehingga makalah ini selesai.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Aliran
Musyabbihah (Karramiyah)
Kaum
Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari kaum
Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya.
Mereka mengatakan bahwa tuhan adalah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh
seperti manusia.[1]
Kalau sekiranya
kaum muslimin memegangi teguh prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan
dengan makhluknya, tentulah tidak timbul
persoalan sifat dan tidak timbul segolongan muslimin yang memegangi lahir nash-nash
ayat atau hadist mutasyabihat, seperti golongan musyabbihah atau Karramiyah. Dengan demikian mereka mirip
golongan agama-agama lain yang mempercayai Tuhan bertubuh dan nampak dalam bentuk manusia.
Dalam Al-Qur’an
banyak ayat-ayat yang menurut lahirnya berisi persamaan Tuhan dengan makhluk
yang menjadi dasar kepercayaan golongan tersebut, seperti ayat-ayat yang mengatakan bahwa Tuhan berada dalam suatu arah tertentu,
yaitu di atas, di langit, di Arsy,
bahkan berpindah-pindah. Ayat-ayat tersebut adalah :
a. Q.S Al-Mulk:16
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ
تَمُورُ ﴿١٦﴾
“Apakah
kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan
menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?”
b. Q.S Al-An’am:3
وَهُوَ اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي
الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ ﴿٣﴾
“Dan dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; dia
mengetahui apa yang kamu rahasiakan danapa yang kamu lahirkan dan mengetahui
(pula) apa yang kamu usahakan.”
c. Q.S Al-Kahfi:48
وَعُرِضُوا
عَلَى رَبِّكَ صَفّاً لَّقَدْ جِئْتُمُونَا كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ
بَلْ زَعَمْتُمْ أَلَّن نَّجْعَلَ لَكُم مَّوْعِداً ﴿٤٨﴾
“Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada kami, sebagaimana kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.”
“Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada kami, sebagaimana kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.”
d. Q.S Al-Baqarah:210
هَلْ يَنظُرُونَ
إِلاَّ أَن يَأْتِيَهُمُ اللّهُ فِي ظُلَلٍ مِّنَ الْغَمَامِ وَالْمَلآئِكَةُ
وَقُضِيَ الأَمْرُ وَإِلَى اللّهِ تُرْجَعُ الأمُورُ ﴿٢١٠﴾
“Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan
malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya.
Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.”
Demikian pula hadist Nabi yang
diriwayatkan Abu Hurairah, berbunyi sebagai berikut :“Tuhan kita kita turun
kelangit dunia setiap malam, pada waktu sepertiga malam terakhir. Ia berfirman,
siapa yang berdoa padaKU akan saya
kabulkan. Siapa yang minta ampun, saya ampuni.”
Selain Q.S Al- Baqarah, semua
ayat-ayat tersebut adalah Makkiah. Tujuan utama surat-surat tersebut ialah
menetapkan asaa-asas kepercayaan agama baru, yaitu Islam, sesudah menunjukkan salahnya
kepercayaan-kepercayaan orang musyrik.
Bagaimanapun juga golongan
Musyabbihah yang memegangi lahirnya ayat-ayat merupakan segolongan kecil. Leon
Ghautier mengatakan bahwa semua kaum muslimin pada permulaan Islam berpaham
anthropomorphist. Pendapat tersebut tidak benar, sebab sebagian besar dari
mereka terkenal dengan sebutan nama Salaf dan orang-orang sesudah mereka tetap
memegangi prinsip tidak adanya persamaan
antara Tuhan dengan makhluk.[2]
2. Aliran Mu’tazillah
Kaum Mu’tazillah adalah suatu kaum
yang membikin heboh dunia Islam selama 300 tahun pada abad-abad permulaan
Islam. Perkataan Mu’tazillah
berasal dari kata “I’tizal”, artinya menyisihkan diri. Kaum Mu’tazillah
berarti kaum yang menyisihkandiri.[3]
Pendirian golongan Musyabbihah yang
berlebih-lebihan menimbulkan reaksi hebat pada golongan Mu’tazillah yang
menyipati Tuhan dengan ‘ESA’, ‘QADIM’ dan ‘BERBEDA DARI MAKHLUK’. Sifat-sifat
ini adalah sifat salaby(negatif) karena tidak menambahkan sesuatu pada zat Tuhan. Dikatakan salaby, karena ESA,
artinya tidak ada sekutu, QADIM artinya tidak ada permulaannya dan BERBEDA DARI
MAKHLUK artinya tida ada yang menyamaiNYA.[4]
Kaum Mu’tazillah mencoba
menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh
Asy’ari, bersifat negative. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai
kekuasaan, tidak mempunyai hajat, dan sebagainya. Namun, ini tidak berarti
bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak
hidup dan sebagainya. Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkuasa dan
sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti sebenarnya. Artinya, “Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.” Dengan
demikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu Al-Huzail, adalah Tuhan
sendiri, yaitu dzat atau esensi tuhan. “sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
dengan pengetahuan; Maha Kuasa dengan Kekuasaan; Maha Hidup dengan Kehidupan.
Pengetahuan, kekuasaan dan kehidupan-Nya adalah Dzat-Nya sendiri.”
Jadi menurut Mu’tazillah Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat
sebagaimana pendapat golongan lain. Apa yang dipandang sifat dalam
pendapat golongan, bagi Mu’tazillah
tidak lain adalah Zat Allah sendiri.
Untuk menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazillah menafi’kan sifat-sifat bagi Tuhan. Dengan cara demikian, golongan Mu’tazillah mengklaim dirinya sebagai golongan Ahlut tauhid Wal ‘Adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa ditambah apa-apa.[5]
Untuk menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazillah menafi’kan sifat-sifat bagi Tuhan. Dengan cara demikian, golongan Mu’tazillah mengklaim dirinya sebagai golongan Ahlut tauhid Wal ‘Adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa ditambah apa-apa.[5]
Meskipun golongan Mu’tazillah tidak mengingkari sifat-sifat Tuhan, namun mereka mendapat tuduhan sebagai
golongan Mu’attilah (golongan pengosong sifat-sifat dari Tuhan) dari lawannya,
yaitu golongan Asy’ariyah. Adanya tuduhan ini adalh karena
mereka tidak mau mengerti dasar pendapatgolonganMu’tazillah, yaitu pemisahan
antar Tuhan dan manusia dan menandaskan keesaan yang semurni-murninya.[6]
Tokoh-tokoh Mu’tazillah diantaranya
adalah Al Nazhzham dan Abu Huzail. Al Nazhzham menafikan pengetahuan,
kekuasaan, pendengaran, penglihatan dan sifat-sifat Dzat Allah yang lain. Allah
senantiasa tahu, hidup, kuasa, mendengar, melihat, dan qadim dengan dirinya
sendiri, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, perikehidupan, pendengaran,
penglihatan, dan keqadiman. Demikian pula, sifat-sifat Allah yang lain.
Sementara itu, dalam pandangan Abu
Huzail, esensi pengetahuan Allah adalah Allah sendiri. Demikian pula kekuasaan,
pendengaran, penglihatan, kebijaksanaan dan sifat-Nya yang lain. Ia berkata,
“Kalau aku menyatakan Allah “bersifat” tahu, itu artinya akupun menyatakan
bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Dzat-Nya
sendiri. Dengan begitu, aku tegas-tegas
menolak anggapan bahwa Allah itu bodoh
terhadap sesuatu yang sudahada atau akan
terjadi. Demikian juga, sifat-sifat Dzat Allah yang lain.
Sungguh pun terdapat perbedaan paham
antara pemuka-pemuka Mu’tazillah, mereka sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat. Aliran Mu’tazillah yang memberikan daya yang besar kepada
akal berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat
jasmani. Bila dikatakan mempunyai sifat jasmani, menurut Al Jabbar, tentulah
Tuhan mempunyai ukuran panjang, lebar dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai
kemestian dari sesuatu yang bersifat jasmani. Oleh sebab itu, Mu’tazillah
menafsirkan ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa Tuhan bersifat jasmani secara
metaforis. Dengan kata lain, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tu
han bersifat jasmani diberi takwil oleh Mu’tazillah dengan pengertian yang
layak bagi kebesaran dan keagungan Allah.
Selanjutnya, Mu’tazillah berpendapat
karena bersifat immateri, Tuhan tidak dapat dilihat denganmata kepala. Dua
argument pokok yang diajukan oleh Mu’tazillah untuk menjelaskan bahwa Tuhan
tidak dapat dilihat denga mata jasmani, adalah berikut ini. Pertama,
Tuhan tidak mengambil tempat,
sehinnga tidak dapat dilihat. Kedua,bila Tuhan dapat dilihat dengan
mata kepala, itu berarti tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini. Ayat- ayat
Al-Qur’an yang dijadikan adalah ayat 103 surat Al-An’am, ayat 23 surah Al-Qiyamah,
ayat 143 surat Al-A’raf, ayat 110
surat Al-Kahfi dan ayat 51 surat As-Syura.[7]
3. Aliran Asy’ariah
Aliran Asy’ariyah, seperi golongan
Mu’tazillah, juga mengadakan pemisahan antara sifat-sifat salaby(negatif) dan
sifat-sifat ijaby(positif). Pendiriannya tentang sifat-sifat negative sama
dengan golongan Mu’tazillah, akan tetapi dalam sifat-sifat positif berbeda
pendiriannya. Menurut pendapatnya, sifat ijaby berbeda dengan dengan Zat Tuhan dan antar sifat-sifat itu sendiri berlainan
satu sama lain. Sifat-sifat itu bukan hakekat zat Tuhan sendiri. Tuhan mengetahui,
menghendaki, berkuasa, berbicara, mendengar, maelihat, hidup artinya Ia
mempunyai sifat-sifat ilmu, iradat(berkehendak), qodrat(kekuasaan), dan
seterusnya. Ia mempunyai sifat-sifat yang disebutkan Qur’an.
Asy’ary mendasarkan pendapatnya
kepada apa yang dilihatnya pada manusia dan sifatnya. Dengan perkataan lain, ia
mengharuskan berlakunya soal-soal kemanusiaan kepada Tuhan, atau
mengharuskan berlakunya hukum yang
berlaku pada alam lahir pada alam ghaib.
Mengapa harus mempersamakan Tuhan
dengan manusia dalam soal ini Asy’ary mengatakan bahwa “sifat-sifat Tuhan bukan Zat-Nya, bukan pula lain dari Zat-nya”.[8]
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna
harfinya.oleh sebab itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai mata,
wajah, tangan serta bersemayam di singgasana. Namun,
semua itu dikatakn la yukallaf wa la
yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).
Bertentangan
dengan pendapat Mu’tazillah, aliran Asy’ariyah mengatakan bahwa tuhan dapat
dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala. Asy’ary menjelaskan bahwa
sesuatu dilihat. Lebih jauh dikatakan
bahwa Tuhan dapat melihat apa yang ada sehingga melihat diri-Nya juga. Bila
Tuhan melihat diri-Nya, tentulah Ia sendiri dapat membuat manussia mempunyai kemampuan
untuk melihat diri-Nya sendiri. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan Asy’ary
dalam menopang pendapat diatas adalah surat Al-Qiyamah ayat 22-23:
وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ ﴿٢٢﴾ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ﴿٢٣﴾
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.”
Dan surah
Al’A’raf ayat 143:
وَلَمَّا جَاء مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ
أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَن تَرَانِي وَلَـكِنِ انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ
فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ
لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكّاً وَخَرَّ موسَى صَعِقاً فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ
سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ ﴿١٤٣﴾
“ Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami)
pada waktu yang Telah kami tentukan dan Tuhan Telah berfirman (langsung)
kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau)
kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman:
"Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu,
Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat
melihat-Ku". tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu,
dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah
Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, Aku bertaubat kepada
Engkau dan Aku orang yang pertama-tama beriman".
Dan surah Yunus ayat 26:
لِّلَّذِينَ
أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلاَ يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلاَ
ذِلَّةٌ أُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٢٦﴾
“Bagi orang-orang yang berbuat
baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. dan muka mereka tidak
ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di
dalamnya.”[9]
4. Aliran Maturidiyah
Ia mengatakan
bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, muzallamah (ada bersama), tanpa
pemisahan antara Zat seperti Qodrat, dan sifat-sifat active ( af’al), seperti
menciptakan, menghidupkan, memberi rezqi dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut tidak boleh
diperbincangkan apakah hakekat zat atau bukan. Akan
tetapi kemudian ia membelok kepada Asy’ary dengan mengadakan bahwaapa yang
dimaksud dengan perkataan “tidak berbeda
dari zat” ialah bahwa sifat-sifat itu tetap ada pada zat dan tidak bisa
lepas daripadanya. Timbul persoalanyang sama seperti di atas. Kalau
sifat-sifat itu bukan hakekat zat, tidak pula berbeda dari zat, apa jadinya
sifat-sifat itu? Jawaban Maturidy: “sifat-sifat itu sifat Tuhan, tidak lebih
dari itu.”
Dengan kata lain, ia tidak bisa
menyelesaikan contradictie. Sebenarnya ia bisa membelok kepada golongan
Mu’tazillah atau orang-orang filosof, dengan mengatakan, tidak dapat
dipersamakan antara Tuhan dengan manusia
dan sifat Tuhan adalah hakekat zat-Nya. Ia juga bisa mekangkah ke arah aliran
Salaf dengan pengakuan bahwa mazhab itu lebih selamat dan bahwa pembahasan
sifat akan menyeret kita kepada bid’ah, seperti yang dilakukan oleh Mu’tazillah
dan Asy’ariyyah.
Meskipun demikian, sikap Maturidy
terhadap Mu’tazillah lebih lunak. Penetapan sifat-sifat untuk Tuhan, baginya
tidak berarti tasybih(mempersamakan Tuha dengan manusia) dan mereka yang
mengingkari sifat-sifat (Mu’tazillah) dengan alasan menyucikan Tuhan tidak
perlu disebut Mu’attilah, tidak pula kafir, meskipun pengingkkaran sifat lebih
berbahaya daripada menetapkannya, sebab bisa menjadikan Allah suatu gambaran
fikiran yang kosong.
Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan
menurut Maturidy, harus menggunakan cara tasybih dan tanzil bersama-sama.
Sifat-sifat Tuhan itu qadim dan tidak bisa diterangkan kecuali menggunakan
kata-kata yang biasa dipakai untuk lingkungan manusia, yang berarti
mempersamakn (tasybih). Akan tetapi dalam pada itu harus dipakai jaln tanzil
untuk meniadakan setiap persamaan antara difat Tuhan dengan sifat manusia.
Karena itu tidak perlu ditanyakan, bagaimana sifat ilmu dan qodrat Tuhan itu,
sebab pertanyaan ini masih memaksakan adanya persamaan. Prinsip inilah yang
menjadi pegangan Ibn Rusyd.
5.
Filosof-filosof Islam
Pendapat filosof-filosof Islam, seperti Al-Kindy dan Faraby, mendekati pendapat
Mu’tazillah. Mereka mengingkari berbilangnya sifat Tuhan dan mensucikan-Nya
semurni-murninya. Akan tetapi mereka tidak disebut golongan Mu’attilah, sebab
mereka mengakui sifat-sifat yang dikatakan lawan-lawannya dan tidak berkeberatan disebutkan untuk
Tuhan, tetapi mereka menandaskan bahwa pengertiannya (hakekatnya) adalah satu
juga, yaitu Zat Tuhan sendiri.
Filosof-filosof tersebut mengadakan pemisahan
benar-benar antara Allah dan manusia. Pada manusia kita mengetahui dirinya
sendiri lain daripada sifat-sifatnya, dan tiap-tiap sifat lainnya. Tidak
demikian halnya bagi Tuhan, karena Tuhan adalah wujud pertama yang ada dengan
sendirinya dan illat (sebab) pertama. Sifat-sifat yang
disebutkan Al-Qur’an tidak bisa diingkari, akan tetapi harus diartikan,
bahwa sifat-sifat itu adalah gambaran fikiran (I’tibaral annizzihiyah) yang
diperlukan manusia untuk mempunyai gambaran tentang Tuhan. Ringkasnya
para filosof-filosof tidak meniadakan sifat-sifat, tetapi lebih suka mensucikan
Tuhan sejauh mungkin.[10]
6. Ibn Rusyd
Nama
sebenarnya ialah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. Dilahikan dikota Cordoba,
kota pusat kemajuan pikiran di Spanyol. [11] Ibn Rusyd adalah seseorang yang pertama-tama
merasakan bahwa pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan tidak ada gunanya dan merupakan suatu bid’ah,
karena tidak pernah dibicarakan kaum Muslimin pada masa-masa permulaan Islam.
Ia lebih tegas pendiriannya daripada Maturidy, meskipun Maturidy telah membuka
jalan penyelesaian yang berhasil. Sebagaiman dikatakan diatas, sebenarnya
Maturidy tinggalsatu langkah kea rah pendirian Ulama Salaf, yaitu menjauhkan
diri dari persoalan sifat. Baru pada Ibn Rusyd langkah ini diadakan. Ia tidak
sependapat dengan Asy’ary, juga tidak
menyetujui aliran Mu’tazillah.
Menurut Ibn Rusyd, sifat-sifat Tuhan yang disebutkan
dalam Al-Qur’an tidak perlu menimbulkan bilangan yang tidak menghilangkan
Keesaan Tuhan, karena sifat-sifat Tuhan dibagi dua :
a. Sifat zat dan wujud, yaitu
sifat-sifat yang meniadakan dari Tuhan
segi-segi kelemahan, yang biasa terdapat pada manusia.
b. Sifat-sifat perbuatan, yaitu yang
menentukan hubungan Tuhan dengan makhluk.
Sebenarnya
Ulama-ulama kalam dalam kedua sifat tersebut selalu memegangi prinsip pemisahan
yang tegas antara alam manusia dengan alam ketuhanan. Akan tetapi aliran
Asy’ariyah menyimpang dari prinsip tersebut dan menyatakan jelas-jelas bahwa
sifat-sifat itu adalah sifat ma’nawiyah, artinya yang menyatakan
pengertian yang ada pada zat Tuhan, dengan tidak menyadari bahwa pendirian
tersebut bisa menimbulkan kejang-kejang yang sukar diselesaikan orang biasa,
yang akhirnya membawa mereka kea rah
pen-jisim-an Tuhan.
Sebab
dengan adanya penyipatan semacam itu, kedudukan Tuhan sama dengan jauhar dan
ardl. Kita mengetahui bahwa jauhar ialah yang berdiri sendiri, sedang ardl
ialah yang tidak mempunyai wujud sendiri, tetapi selalu berada pada lainnya.
Apa yang terdiri dari jauhar dan ardl adalah jisim. Kalau kita mengatakan bahwa
hubungan sifat-sifat dengan Tuhan sama dengan hubungan tuhan itu dengan jisim.
Hal-hal semacam ini sudah barang tentu jauh dari maksud-maksud Syara’ sendiri.
Demikian Ibn Rusyd.
Ibn
Rusyd juga tidak menyetujui pendapat Mu’tazillah sepenuhnya, karena
mempersamakan zat Tuhan dengan sifat-sifatNya, tidak dapat diterima orang-orang
biasa, sebab bukan dalil axioma, bukan pula dalil Syara’. Telah disebutkan,
bagaimana orang-orang Mu’tazillah terpaksa menetapkan dua sifat, yaitu ilmu dan
qodrat. Mempersatukan zat dengan sifat mengakibatkan persamaan ilmu dengan
qodrat, selama masing-masingnya adalah hakekat zat. Pendapat tersebut jauh dari
pemahaman orang biasa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kaum
Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari kaum
Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya.
Mereka mengatakan bahwa tuhan adalah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh
seperti manusia.
Kaum Mu’tazillah adalah suatu kaum yang membikin heboh dunia
Islam selama 300 tahun pada abad-abad permulaan Islam. Perkataan Mu’tazillah berasal dari kata “I’tizal”,
artinya menyisihkan diri. Kaum Mu’tazillah berarti kaum yang
menyisihkandiri.
Aliran Asy’ariyah, seperi golongan Mu’tazillah, juga
mengadakan pemisahan antara sifat-sifat salaby(negatif) dan sifat-sifat
ijaby(positif). Pendiriannya tentang sifat-sifat negative sama dengan golongan
Mu’tazillah, akan tetapi dalam sifat-sifat positif berbeda pendiriannya.
Menurut pendapatnya, sifat ijaby berbeda dengan dengan Zat Tuhan dan antar sifat-sifat itu sendiri berlainan
satu sama lain.
Aliran Maturidiyah mengatakan bahwa pembicaraan tentang
sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya
sejak zaman azaly, muzallamah (ada bersama), tanpa pemisahan antara Zat seperti
Qodrat, dan sifat-sifat active ( af’al), seperti menciptakan, menghidupkan,
memberi rezqi dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut tidak boleh diperbincangkan apakah
hakekat zat atau bukan.
[7] Kamus Istilah teologi
Islam,Drs.ROsihan Anwar, M,Ag dan Drs.Abdul Rozak,M.Ag, penerbit Pustaka Setia,
Bandung, cet.I,2002, hal181-185
(Info Langka),,,
BalasHapusSambil Facebook-an dapet DUIT??? SIAPA YANG
GA MAU???
INILAH CARA TERCEPAT, TERBAIK, DAN
TERPERCAYA MENGHASILKAN UANG DI FACEBOOK. DALAM WAKTU SINGKAT DAN
PASTI!!! dengan modal yang SANGAT,,SANGAT,,TERJANGKAU...
Silahkan dilihat disini,,Semoga bermanfaat dan
SUKSES UNTUK KITA SEMUA
Mau? Info Lengkap buka & klik disini aja kawan
salam budaya...
Hapusabang BL, saya UncaU angkatan 13, ijin sedot dan copas kopi panasnya buat makalah ilmu kalam.
sukses dan hebat udah bisa bikin blog
Syukron
BalasHapus