BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 /
450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil
Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim
Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.
Ia berkuniah Abu
Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali
ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing
dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran).
Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Ia
berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi
yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah
seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak
memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jabatan sebagai Naib
Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam
Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan
dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat
kelahirannya.
Al-Ghazali
pertama-tama belajar di kota Thus, kemudian meneruskan di Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam
al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 478 H / 1085 M. Kemudian
ia berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, disana ia mendapatkan
penghormatan dan penghargaan yang besar, ia tinggal di kota itu selama enam tah un. Pada tahun 483
H / 1090 M, ia diangkat menjadi guru yang sangat berhasil di sekolah Nidzamah
Baghdad. Pekerjaan itu ia tinggalkan dan menuju Damsyik pada tahun 484 H, di
kota ini ia merenung, membaca dan menuis selama kurang lebih 2 tahun, dengan
tasawuf sebagai jalan hidupnya.
B. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Yang menarik perhatian dalam sejarah hidup al-Ghazali ialah kehausannya
akan segala macam ilmu pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan
dan mengetahui hakikat segala sesuatu. Tidak mengherankan kalau beliau tidak
bersikap kritis, dan kelanjutannya ialah bahwa ia tidak percaya akan kebenaran
segala macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan pengetahuan
axioma. Namun akhirnya, ia menceritakan keragu-raguannya terhadap kedua macam
ilmu pengetahuan itu dalam al-Munqidz-nya sebagai berikut:
“Keragu-raguan yang menimpa diriku dan yang berlangsung
lama, telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak lagi memberikan
kepercayaan kepada perkara-perkara inderawi pula, bahkan keragu-raguan itu semakin
mendalam.
Serta berkata;
“Bagaimana perkara-perkara inderawi
bisa dipercayai. Kita ambil penglihatan sebagai indera yang terkuat. Ketika
engkau melihat bayangan disangkannya diam tidak bergerak. Tetapi, dengan
percobaan dan penelitian, sesudah beberapa saat, engkau baru mengetahui bahwa
bayangan itu sebenarnya bergerak meskipun tidak sekaligus melainkan
perahan-lahan, sedikit demi sedikit, sehingga sebenarnya bayangan itu tidak
mengenal diam. Ketika engkau melihat bintang, maka dikira dia kecil sebesar
uang dinar. Tetapi bukti-bukti matematika menunjukkan bahwa bintang tersebut
lebih besar dari pada bumi.”
Di dalam tasawufnya,
Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah
dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral
yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya
seperti Ihya’ullum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al
Hidayah, Mi’raj
Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat
menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham
baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah)
tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya:
Ø
Pandangan Al-Ghazali
tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang
segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan
roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi
cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan
mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang
sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat
ma’rifat.
Ø PandanganAl-Ghazali tentang As-Sa’adah
Menurut
Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah
(ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah
(kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu
sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar
yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.
Al-Ghazali berusaha meletakkan kembali
posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari'at Islam. Al-Ghazali
membersihkan ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk
mengotori kemurnian ajaran Islam, seperti wihdatul wujud, ittihad dan
al-hulul. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang ahli tasawuf yang
tidak beri'tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak pantas diberi
gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat
terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat,
"Al-Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia
tidak beri'tikad dengan wihdat al-wujud".
Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al
Ghazali mengawali kitabnya Ihya 'Ulumiddin dengan pembahasan faraidh
al-Diniyah, kemudian diikuti dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti
dengan cara-cara yang sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang
sempurna.
Ada sepuluh kaidah utama yang
diletakkan Al-Ghazali dalam ilmu tasawuf yaitu:
·
Niat yang betul
·
Melakukan amal secara
ittiba' bukan ibtida'
·
Ikhlas
·
Tidak bertentangan dengan
syara'
·
Tidak mengulur-ulur amal baik
·
Tawadhu'
·
Takut dan berharap
·
Senantiasa berdzikir
·
Senantiasa
mengintrospeksi diri, dan
·
Bersungguh-sungguh
mempelajari hal-hal yang perlu dilakukan secara lahir dan batin.
C. Karya-Karya Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah ahli
pikir islam yang handal dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam
karangan-karangannya, puluhan buku telah ia tulis yang meliputi berbagai
lapangan ilmu, antara lain:
Theologi Islam (Ilmu Kalam)
Hukum Islam (Fiqh)
Tasawuf
Tafsir, dan
Adab Kesopanan, serta
Autobiograpi
Pengaruh al-Ghazali di
kalangan kaum Muslimin sangatlah besar, sehingga menurut pandangan orang-orang
orientalis agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum Muslimin
berpangkal pada konsepsi al-Ghazali.
Menurut B.B. MacDonald,
untuk dunia islam al-Ghazali telah dan masih menjadi tokohnya yang terbesar,
sama dengan kedudukan Agustinus atau Aquinas dalam dunia Kristen.
Kitabnya yang terbesar,
yaitu Ihya ‘Ulumuddin yang artinya
“Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam
keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerusalem, Hajzz dan Tus, dan yang berisi
paduan yang antara fiqh, tasawuf dan filsafat, bukan hanya terkenal di kalangan
kaum Muslimin, tetapi juga di kalangan dunia Barat dan luar Islam.
Bukunya yang lain yaitu al-Munqidz min ad-Dhalal (Penyelamatan
dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan
sikapnya yag terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai
ma’rifat kepada Tuhan.
Diantara penulis-penulis
modern banyak yang mengambil hasil pikiran-pikiran al-Ghazali dalam menuliskan
autobiografi. Diantarnya, Ibnu al-Ibri dan Raymond Martin banyak mengambil
pikiran-pikiran al-Ghazali untuk menguatkan pendiriannya. Demikian pula Pascal
(Perancis, 1623-1662), dan banyak lagi filosof-filosof Barat lainnya
sebagaimana yang diakui Asin Palacios, banyak persamaannya dengan al-Ghazali
dalam pendiriannya bahwa pengetahuan-pengetahuan agama tidak bisa diperoleh
hanya dengan akal pikiran, namun harus berdasarkan hati dan rasa.
Thomas Aquinas (Itali,
1226-1274), yang dengan pedasnya menyerang al-Ghazali ketika menguraikan
tentang penglihatan (ru’yat) manusia
terhadap Tuhan di akhirat, uraiannya sama dengan uraian al-Ghazali. Dante
(Itali, 1265-1321 M) dalam penulisan bukunya banyak mengambil tulisan-tulisan
al-Ghazali tentang Mi’raj.
Banyak ahli dari kaum
orientalis yang menulis buku tentang al-Ghazali antara lain, Carrra de Vaux, J.
Wensik, Obermann, Asin Palacios dan Zwemmer. Dan tidak sedikit pula dari para penulis
kaum orientalis yang menerjemahkan buku-buku karangan al-Ghazali ke dalam
berbagai bahasa eropa, antara lain:
1. Carra de Vaux menerjemahkan buku Tahafut al-Falasifah.
2. De Boer dan Asin Palacios, mereka menerjemahkan
beberapa bagian dari buku Tahafut
al-Falasifah.
3.
H. Bauer
menerjemahkan Qawaid al-‘Aqaid dalam
bukunya Die Dogmatik Al-Ghazali’s. Ia
juga menerjemahkan beberapa pasal dari buku Ihya
‘Ulumuddin.
4. Barbier de Minard, Ia menerjemahkan buku al-munqidzu Min ad-Dlalal.
5.
W.H.T Craidner, London.ia menerjemahkan buku Misykat al-Anwar.
6.
B.B. Macdonald, Ia menerjemahkan beberapa
pasal dari Ihya ‘Ulumuddin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar