BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manusia sebagai Makhluk Individu
Sebagai individu manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek
badani dan rohaninya. Manusia bukan hanya badan, sebaliknya bukan hanya roh.
Sebagai individu, setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik.
Setiap manusia mempunyai dunianya sendiri, tujuan hidupnya sendiri.
Masing-masing secara sadar berupaya menunjukkan eksistensinya, ingin menjadi
dirinya sendiri atau bebas bercita-cita untuk menjadi seseorang tertentu, dan
masing-masing mampu menyatakan “inilah aku” di tengah-tengah segala
yang ada. Karena itu, manusia adalah subjek dan tidak boleh dipandang sebagai
objek.
1. Karekteristik Keindividuan
Setiap individu memiliki ciri dan sifat karekteristik masing-masing, ada
karekteristik bawaan (herdity) dan
karekteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan, karekteristik bawaan merupakan karekteristik
keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis
maupun merupakan faktor sosial psikologis. Pada masa lalu ada keyakinan, kepribadian
terbawa pembawaan (heredity) dan
lingkungan. Ini merupakan dua faktor yag terbentuk karena terpisah,
masing-masing mempengaruhi kepribadian dan kemampuan individu bawaab dan
lingkungan dengan cara sendiri-sendiri. Namun kemudian makin disadari bahwa apa
yang difikirkan dan dikerjakan seseorang, atau apa yang dirasakan oleh seorang
anak, remaja, dan dewasa, ini merupakan hasil dari perpaduan antara apa yang
ada diantara faktor-faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh dari
lingkungan.
2.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Keindividuan.
Pada dasarnya ada dua faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dalam diri
individu, yaitu :
1. Faktor internal
Faktor(dimensi)
internal atau yang di sebut juga kerangka acuan internal (internal frame of
refrence) adalah penilaian yang di lakukan individu terhadap dirinya sendiri
berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi/Faktor ini terdiri dari tiga
bentuk:
a.
Diri
identitas(identity self)
Bagian ini
merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan,”siapakah
saya?” Dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang di
berikan pada diri(self) oleh individu yang bersangkutan untuk menggambarkan
dirinya dan membangun identitasnya, misalnya ”saya kita”. kemudian dengan
bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya.
b.
Diri
pelaku(behavioral self)
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya,
yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang di lakukan oleh diri”.
Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan identitas. Diri yang adekuat akan
menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri prilakunya,
sehingga ia dapat mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas maupun
diri sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat di lihat pada diri sebgai
penilai.
c.
Diri
penerimaan/penilai (judging self)
Diri penilai
berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah
sebagai perantara(mediator) antara diri identitas dan diri prilaku.
Manusia
cendrung memberikan penilaian terhadap apa yang dipresepsikan. Oleh karena itu,
label-label yang dikenakan pada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan
dirinya, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih
berperan dalam menentukan tindakan yang akan di tampilkannya.
Diri penilai
menentukan kepuasan tentang seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seorang
menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah
akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan
akan mengembangkan ketidak percayaan yang mendasar pada dirinya. Sebaliknya,
bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya yang
lebih realitas, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan untuk
melupakan keadaan dirinya dan memfokuskan energi serta perhatiannya ke luar
diri, dan pada akhirnya dapat berfungsi lebih konstuktif. Ketiga bagian
internal ini mempunyai peranana yang berbeda-beda namun saling melengkapi dan
berinteraksi membentuk suatu diri yang utuh dan menyeluruh.
2. Faktor eksternal
Pada diri
eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya,
nilai-nilai yang di anutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi ini
merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri yang berkaitan dengan sekolah,
organisasi, agama, dan sebagainya. Namun, dimensi yang di kemukakan oleh fits
adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan
atas lima bentuk, yaitu:
a.
Diri
fisik (physical self)
Diri fisik
menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik.Dalam hal
ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya
(cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek,
gemuk, kurus).
b.
Diri
etik-moral (moral-ethical self)
Bagian ini
merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya di lihat dari standar
pertimbangan nilai moral dan etika.Hal ini menyangkut persepsi seseorang
mengenai hubungan dengan tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamannya
dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.
c.
Diri
pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang
keadaan pribadinya. Hal ini tidak di pengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan
dengan orang lain, tetapi di pengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas
terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadiyang
tepat.
d.
Diri
keluarga (family self)
Diri keluarga
menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai
anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa adekuat
terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi
yang di jalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.
e.
Diri
social (social self)
Bagian ini
merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain
maupun lingkungan di sekitarnya.
B.
Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia tidak hidup sendirian,
tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk dirinya sendiri.
Manusia hidup dalam keterpautan dengan sesamanya. Di samping itu, setiap
individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya
masing-masing, mereka juga mempunyai dunia
bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Sehubungan ini Aristoteles
menyebut manusia sebagasi makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat.
Ernst Cassirer menyatakan : manusia takkan menemukan diri, manusia takkan
menyadari individualitasnya, kecuali melalui perantaraan pergaulan sosial.
Masyarakat terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya suatu masyarakat
akan ditentukan oleh individu-individu yang membangunnya.
Sebagai contoh,
bila seekor binatang lahir, maka binatang itu cepat sekali menolong dirinya dan
mencari makan sendiri. Dalam dalam waktu singkat iya tidak lagi membutuhkan
asuhan induk bapaknya. Ia lalu menempuh jalan sendiri dan tidak memperdulikan
orang tuanya lagi.
Berlainan
halnya dengan manusia. Ia lahir di dunia tidak berdaya apa-apa. Dia memerlukan
pemeliharaan orang lain dalam waktu yang lama. Alangkah berbedanya dengan
seekor anak ayam yang lari begitu saja setelah keluar dari telur, lalu pergi
mencari makan.
Pada manusia,
setelah masa bayi berakhir. Menyusul pula waktu belajar yang sama. Ia belum berdiri
sendiri. Jadi dapatlah kita ambil kesimpulan, bahwa manusia dalam masa
anak-anak banyak memerlukan pemeliharaan orang lain. Di samping itu, kita lihat
pula bahwa orang-orang dewasa cenderung untuk memelihara dan menolong kepada
yang lebih muda. Juga cenderung untuk berkumpul dan bekerja sama dengan
orang-orang dewasa yang lain.
Oleh karena setiap manusia adalah pribadi (individu) dan adanya hubungan
pengaruh timbal balik antara individu dengan sesamanya maka idealnya situasi
hubungan antara individu dengan sesmanya itu tidak merupakan hubungan antara
subjek dengan objek, melainkan subjek dengan subjek. Berdasarkan hal itu dan
karena terdapat hubungan timbal balik antara individu dengan sesamanya delam
rangka mengukuhkan eksisitensinya masing-masing maka hendaknya terdapat
keseimbangan antara individualitas dan sosialitas pada setiap manusia.
Jadi dapat kita
katakana:
ü Manusia itu
menurut pembawaannya adalah mahluk social.
ü Manusia itu tak
dapat tidak pasti hidup dalam golongan-golongan.
C.
Manusia sebagai Makhluk Susila
Manusia sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai potensi dan kemampuan
untuk berfikir, berkehendak bebas, bertanggung jawab, serta punya potensi untuk
berbuat baik. Karena itulah, eksistensi manusia memiliki aspek kesusilaan.
Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilaan karena pada manusia
terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical
imperative). Sebgai makhluk otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu
dihadapkan pada satu alternatif tindakan yang harus dipilihnya.
Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu berhubungan dengan norma-norma
moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Karena manusia
mempunyai kebebasan memilih dan menentukan perbuatannya secara otonom maka
selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung jawaban atas perbuatannya.
D.
Manusia sebagai Makhluk Beragama
Dimensi Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia
yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama
yg diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Keberagamaan menyiratkan adanya
pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama, adapun yang dimaksud
dengan agama ialah : “satu sistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas
adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia, satu sistem ritus (tata
peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu, dan satu sistem norma
(tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya
yang sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud di
atas.
Manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui
utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk
dipikirkan oleh manusia agar (sehingga) manusia beriman dan bertakwa kepadaNya.
Manusia hidup beragama karena agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat mutlak maka pelaksanaan keberagamaan
akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-masing individu.
Dalam keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia
memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya, tata cara hidup dalam berbagai
aspek kehidupannya, dan menjadi jelas pula apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Manusia adalah makhluk yang
berkebutuhan atau di sebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan)
atau di sebut juga dengan homo religious artinya makhluk yang
beragama.Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh ahli ilmu jiwa
sependapat bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan
bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan yang
lainnya,bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan keinginan akan kebutuhan
tersebut merupakan kebutuhan kodrati berupa keinginan untuk mencintai dan di
cintai tuhan.
Dalam pandangan islam,sejak lahir
manusia telah mempunyai jiwa agama, jiwa yang mengakui adanya zat yang Maha
pencipta dan Maha kuasa yaitu Allah S.W.T sejak di alam roh, manusia telah
memiliki komitmen bahwa Allah adalah tuhannya, pandangan ini bersumber pada
firman Allah SWT.
Artinya:
“Dan(ingatlah),
ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka(seraya
berfirman) ’’bukankah aku ini tuhanmu?” mereka menjawab ’’betul(engkau
tuhan kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan :”Sesungguhnya kami (bani adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan allah)” (Q.S.al-A’raf:172).
Jiwa beragama tersebut di sebut juga
fitrah beragama. Muhammad hasan Hamshi, menafsirkan fitrah yaitu bahwa manusia
di ciptakan allah mempunya naluri beragama yaitu, Agama tauhid. pandangan
tersebut di perkuat oleh syekh Muhammad Abduh dalam tafsirnya yang berpendapat
bahwa agama Islam adalah agama fitrah. Demikian juga Abu A’la al-Muadudi
menyatakan bahwa agama Islam identik dengan watak tabi’i(human nature).
Islam memandang ada suatu kesamaan
di antara sekian perbedaan manusia. kesamaan itu tidak pernah akan berubah
karena pengaruh ruang dan waktu. Yaitu potensi dasar Beriman(aqidah tauhid)
kepada Allah. aqidah tauhid merupakan fitrah(sifat dasar) manusia sejak misaq
dengan Allah. Sehungga manusia pada prinsipnya selalu ingin kembali kepada sifat
dasarnya meskipun dalam keadaan yang berbeda-beda.
Pandangan islam terhadap fitrah ini
adalah yang membedakan kerangka nilai
dasar pendidikan islam dengan yang lain. Dalam konteks Makro, pandangan islam
terhadap manusia ada tiga implikasi dasar yaitu Pertama, implikasi yang
berkaitan dengan pendidikan di masa depan,di mana pendidikan di arahkan untuk
mengembangkan fitrah seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi. kedua,
tujuan(ultimate goal) pendidikan, yaitu insan kamil yang akan
tercapai bila manusia menjalankan fungsinya sebagai Abdullah dan Khalifah
sekaligus. Ketiga, muatan materi dan metodologi pendidikan, di adakan
spesialisasi dengan metode integralistik dan di sesuaikan dengan fitrah
manusia.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sebagai individu manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek
badani dan rohaninya.
Setiap individu memiliki ciri dan sifat
karekteristik masing-masing, ada karekteristik bawaan (herdity) dan karekteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan.
Pada dasarnya ada dua faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dalam diri
individu, yaitu :
1. Faktor internal
2. Faktor eksternal
Manusia memang makhluk individual, namun demikian ia tidak hidup sendirian, tak mungkin
hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk dirinya sendiri. Jadi dapat
kita katakana:
ü Manusia itu
menurut pembawaannya adalah mahluk social.
ü Manusia itu tak
dapat tidak pasti hidup dalam golongan-golongan.
Dimensi Keberagamaan merupakan
salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam
bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yg diwujudkan dalam
sikap dan perilaku.
B.
SARAN-SARAN
1.
Setelah
membaca makalah ini sebaiknya pembaca
mempelajari-mempelajari buku ataupun makalah-makalah yang lainnya. Guna
lebih menambah wawasan dan tidak hanya cukup dengan satu buku.
2.
Keritik
dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan guna menjadikan lebih baik di masa yang akan dating.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar