Selasa, 23 April 2013

Analisis Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Sang Pemimpi

1. Nilai Pendidikan Religius
Nilai religius merupakan sudut pandang yang mengikat
manusia dengan Tuhan pencipta alam dan seisinya.
Berbicara tentang hubungan manusia dan Tuhan tidak terlepas dari pembahasan agama. Agama merupakan
pegangan hidup bagi manusia. Agama dapat pula
bertindak sebagai pemacu faktor kreatif, kedinamisan
hidup, dan perangsang atau pemberi makna kehidupan.
Melalui agama, manusia pun dapat mempertahankan
keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang telah tetap sekaligus menuntun
untuk meraih masa depan yang lebih baik. Seperti
dalam kutipan di bawah ini.
“Jimbron adalah seorang yang membuat kami takjub
dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami heran
karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya beliau adalah seorang pastor
karena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya
Pendeta Geovany. Rupanya setelah sebatang kara
seperti Arai ia menjadi anak asuh sang pendeta.
Namun, pendeta berdarah Itali itu tak sedikit pun
bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron
mengaji ke masjid” (SP, 61)
Di lihat dari kutipan di atas, Tokoh Jimbron dalam novel
Sang Pemimpi mencerminkan tokoh yang taat
beragama dengan mengaji setiap harinya, walaupun
dia hidup di lingkungan agama yang berbeda, yaitu agama Katolik. Penamaan nilai religius yang tinggi
mampu menumbuhkan sikap sabar, tidak sombong dan
tidak angkuh pada sesama. Manusia menjadi saling
mencintai dan menghormati, dengan demikian manusia
bisa hidup harmonis dalam hubungannnya dengan
Tuhan, sesama manusia maupun makhluk lain. Pendeta Geovany dalam kutipan di atas adalah sosok yang
penyayang dan menghormati manusia lain yang beda
agama, ternukti bahwa Jimbron sebagai anak
angkatnya justru malah setiap harinya diantar mengaji
dan tidak sedikit pun bermaksud mengonversi
keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid.
Kutipan di atas mempunyai kandungan nilai pendidikan
religius karena secara jelas disampaikan penulis
melalui gaya bahasa pars pro toto yang terlihat pada
kata “sebatang kara” yang berarti tidak punya
siapa-siapa, hanya hidup seorang diri tanpa ada keluarga di dekatnya. Pars pro toto adalah gaya bahasa
yang melukiskan sebagian dari keseluruhan, berarti
kata tersebut dalam kutipan di atas yang hidup
sebatang kara yang dimaksud adalah Jimbron.
Sebuah karya sastra yang mengangkat sebuah
kemanusiaan yang berdasarkan kebenaran akan menggugah hati nurani dan akan memberikan
kemungkinan pertimbangan baru pada diri
penikmatnya. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila
sastra dapat berfungsi sebagai peneguh batin pembaca
dalam menjalankan keyakinan agamanya.
Jika setiap manusia akan saling menghormati dalam menjalankan agamanya, maka hubungan yang
harmonis akan terjalin dan akan menjadikan hidup
manusia menjadi tenteram dan bahagia karena nilai
religius merupakan keterkaitan antarmanusia dengan
Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan
di dunia. Nilai religius akan menanamkan sikap manusia untuk tunduk dan taat kepada Tuhan atau dalam
keseharian kita kenal dengan takwa. Seperti yang
tergambar dalam tokoh Arai di bawah ini.
“Setiap habis maghrib, Arai melantunkan ayat-ayat
suci Al Quran di bawah temaram lampu minyak dan
saat itu seisi rumah kami terdiam.”(SP, 33) Perilaku Arai dalam kesehariannya mencerminkan
seorang muslim. Orang yang taat pada perintah agama,
hal itu terbukti bahwa setiap habis maghrib dia selalu
membacakan ayat-ayat suci Al Quran dengan
kesadarannya sendiri, tanpa diperintah siapapun.
Kutipan di atas mempunyai kandungan nilai pendidikan religius karena secara jelas disampaikan penulis
melalui gaya bahasa hipalase yaitu gaya bahasa yang
menggunakan kata tertentu untuk menerangkan
sesuata, namun kata tersebut tidak tepat bagi kata
yang diterangkan. Hal tersebut dapat dilihat pada
kalimat “seisi rumah kami terdiam”, yang dimaksud dalam kalimat kalimat tersebut adalah anggota
keluarga Arai.
2. Nilai Pendidikan Moral
Nilai moral sering disamakan dengan nilai etika, yaitu
suatu nilai yang menjadi ukuran patut tidaknya manusia
bergaul dalam kehidupan bermasyarakat. Moral merupakan tingkah laku atau perbuatan manusia yang
dipandang dari nilai individu itu berada. Sikap disiplin
tidak hanya dilakukan dalam hal beribadah saja, tetapi
dalam segala hal, sikap yang penuh dengan
kedisiplinan akan menghasilkan kebaikan. Seperti
halnya jika dalam agama, seorang hamba jika menjalankan shalat tepat waktu akan mendapat pahala
lebih banyak, demikian juga jika disiplin dijalankan pada
pekerjaan lainnya dan tanpa memandang siapa yang
berperan dalam melakukan
Perbuatan disiplin tersebut, Seperti pada kutipan berikut
mengandung nilai moral yang sangat penting. “WC ini sudah hampir setahun diabaikan karena keran
air yang mampet. Tapi manusia-manusia cacing, para
intelektual muda SMA Negeri Bukan Main yang
tempurung otaknya telah pindah ke dengkul, nekat
menggunakannya jika panggilan alam itu tak
tertahankan. Dengan hanya berbekal segayung air saat memasuki tempat sakral itu, mereka menghinakan
dirinya sendiri dihadapan agama Allah yang
mengajarkan bahwa kebersihan adalah sebagian dari
iman. Dan kamilah yang menaanggung semua
kebejatan moral mereka.”(SP, 130)
Kutipan di atas sangat tidak pantas dijadikan contoh bagi masyarakat, khususnya para penerus bangsa
(siswa). Jelas WC yang keran airnya mampet, malah
masih digunakan. Apalagi yang menggunakannya
adalah para intelek muda yang dasar pendidikannya
ada. Mereka yang menggunakan tidak menghiraukan
walaupun agama sudah mengajarkan kebersihan adalah sebagian dari iman. Mereka yang melakukan
justru malah tidak merasa bersalah, walaupun orang
lain yang kena dampak dari ulah mereka. Pendidikan
moral sangat penting untuk mendidik manusia yang
belum benar tapi merasa sudah benar.
Kutipan di atas mempunyai kandungan nilai pendidikan moral karena secara jelas disampaikan penulis melalui
gaya bahasa sarkasme yaitu gaya bahasa sindiran
yang paling kasar dalam pengungkapannnya. Hal itu
dapat dilihat pada kalimat “tempurung otaknya telah
pindah ke dengkul”. Arti dari kalimat tersebut adalah
orang yang berbuaat seenaknya sendiri tanpa peduli aturan dan etika.
Pengembangan nilai moral sangat penting supaya
manusia memahami dan menghayati etika ketika
berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat.
Pemahaman dan penghayatan nilai-nilai etika mampu
menempatkan manusia sesuai kapasitasnya, dengan demikian akan terwujud perasaan saling hormat, saling
sayang, dan tercipta suasana yang harmonis. Hal
tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini:
“ LAIN KALI MENCALONKAN DIRINYA JADI BUPATI!!
PASANG HURUF H BESAR DI DEPAN NAMANYA, MENGAKU
DIRINYA HAJI???!! PADAHAL AKU TAHU KELAKUANNYA!! WAKTU JADI MAHASISWA, WESEL DARI IBUNYA
DIPAKAINYA UNTUK MAIN JUDI BUNTUT!!!”(SP, 168)
“ITULAH KALAU KAU MAU TAHU TABIAT PEMIMPIN
ZAMAN SEKARANG, BOI!! BARU MENCALONKAN DIRI
SUDAH JADI PENIPU, BAGAIMANA KALAU BAJINGAN
SEPERTI ITU JADI KETUA!!??”(SP, 168) Kutipan di atas terlihat jelas mengandung nilai
pendidikan moral melalui penggunakan gaya bahasa
antifrasis yaitu gaya bahasa sindiran yang
mempergunakan kata-kata yang bermakna
kebalikannya dan bernada ironis. Hal itu dapat dilihat
dari kalimat “bagaimana kalau bajingan itu jadi ketua!!??”. Kalimat tersebut mempunyai arti
menyindir seseorang yang mempunyai kelakuan tidak
baik seandainya menyalonkan menjadi ketua, maka
tidak bisa dibayangkan anak buahnya akan seperti apa.
Kedua kutipan di atas mengandung makna tersirat nilai
moral, karena tercantum jelas bahwa bupati yaitu pemimpin sekarang kelakuannya sudah tidak jujur dan
menghalalkan segala cara hanya demi merebut kursi
kepemimpinannya. Hal tersebut perlu diubah, supaya
moral manusia yang lain tidak ikut tercemar. Adapun
nilai yang dimaksud dalam konteks tersebut
menyangkut baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Moral juga
dapat dikatakan sebagai ajaran kesusilaan yang dapat
ditarik dari suatu rangkaian cerita karena karya sastra
itu menyajikan, mendukung, dan menghargai nilai-nilai
kehidupan yang berlaku.
3. Nilai Pendidikan Sosial 
Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari
perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Suatu
kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu
objek, gagasan, atau orang juga termasuk di dalamnya.
Karya sastra berkaitan erat dengan nilai sosial, karena
karya sastra dapat pula bersumber dari kenyataan- kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Nilai
sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti
kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan
penghargaan. Nilai sosial yang dimaksud adalah
kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Kepedulian
tersebut dapat berupa perhatian maupun berupa kritik. Kritik tersebut dilatar belakangi oleh dorongan untuk
memprotes ketidakadilan yang dilihat, didengar
maupun yang dialaminya, seperti yang terdapat dalam
kutipan berikut.
“Aku ingin menyelamatkan Jimbron walaupun benci
setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang Jimbron dan beruntung kami berada dalam labirin gang
yang membingungkan.”(SP, 15)
Kutipan di atas dapat di jelaskan bahwa walaupun Ikal
sangat benci kepada Arai tapi jiwa penolongnya
kepada Jimbron masih tetap ada dalam dirinya, karena
dia merasa walau bagaimanapun mereka adalah bersaudara. Kutipan di atas secara jelas megandung
nilai pendidikan sosial melalui penggunakan gaya
bahasa hiperbola yaitu gaya bahasa yang mengandung
suatu pernyataan yang berlebihan, misalnya
membesar-besarkan suatu hal dari yang
sesungguhnya. Hal itu dapat dilihat dari ungkapan “benci setengah mati” yang mempunyai arti sangat
membenci.
Nilai sosial berkenaan dengan kemanusiaan dan
mengembangkan kehidupan bersama, seperti kasih
sayang, penghargaan, kerja sama, perlindungan, dan
sifat-sifat yang ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan lainnya yang merupakan kebiasaan yang
diwariskan secara turun temurun. Seperti yang
tercermin pada kutipan di bawah ini.
“Aku membantu membawa buku-bukunya dan kami
meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu
dengan membiarka pintu dan jendela-jendelanya terbuka karena dipastikan tak kan ada siapa-siapa
untuk mengambil apapun.”(SP, 25)
Beberapa hari setelah ayahnya meninggal Ikal dan
ayahnya menjemput Arai untuk di bawa ke rumahnya.
Arai dan Ikal sebenarnya adalah masih saudara. Pada
waktu menjemput Arai, Ikal membantu Arai untuk membawakan buku-bukunya yang masih perlu di
bawa.
Kutipan di atas dapat didlihat secara jelas mengandung
nilai pendidikan sosial melalui penggunakan gaya
bahasa alegori yaitu gaya bahasa yang bertautan satu
dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Hal tersebut dapat dilihat dari kata “membawa”,
“meninggalkan”, dan “membiarkan. Kata itu
mempunyai pertautan dalam satu kutipan.
Nilai sosial juga berupa hikmah yang dapat diambil dari
perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Nilai dalam
karya sastra, nilai sosial dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan sehingga
diharapkan mampu memberikan peningkatan
kepekaan rasa kemanusiaan. Cerminan tersebut dapat
dilihat dari kutipan di bawah ini.
“Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti
mekanika gerak balik helikopter purba ini, Arai telah memutar balikkan logikasentimental ini. Ia justru
berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya
menghiburnya. Dadaku sesak.”(SP, 28)
Kutipan di atas menggunakan gaya bahasa paradoks
yaitu gaya bahasa yang bertentangan dalam satu
kalimat. Sepintas lalu hal tersebut tidak masuk akal. Hal itu dapat dilihat dari kalimat “aku tersenyum tapi
tangisku tak reda”. Kalimat tersebut mempunyai arti
Ikal masih bisa tersenyum ketika dia menangis.
Tokoh Ikal yang seharusnya menghibur Arai ketika ia
mendapat musibah ternyata malah berputar terbalik.
Justru Arai yang berusaha menghibur Ikal supaya dia tersenyum, itulah sosok Arai yang tidak mudah ditebak.
Sikap Arai yang peduli terhadap orang lain juga dapat
dilihat dari kutipan di bawah ini.
“Arai menyerahkan karung-karung kami pada Mak
Cik. Beliau terkaget-kaget. Lalu aku tertegun mendengar
rencana Arai, dengan bahan itu dimintanya Mak Cik membuat kue dan kami yang akan menjualnya. Mulai
sekarang Mak Cik mempunyai penghasilan! Seru Arai
bersemangat.”(SP, 51)
Kutipan di atas menggunakan gaya bahasa hiperbola
yaitu gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan
berlebihan. Hal itu dapat dilihat pada kalimat “beliau terkaget-kaget” dan kalimat tersebut mempunyai arti
yaitu sangat terkejut.
Arai tidak tega melihat Mak Cik yang hidup kesusahan.
Dia juga menyuruh Arai untuk memecah celengannya
untuk menolong Mak Cik. Cara mereka dengan
membelikan bahan-bahan untuk membuat kue supaya beliau bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Sifat membalas budi atas kebaikan orang lain pada nilai
sosial sangatlah penting. Sifat tersebut juga bertujuan
untuk membangun sikap saling peduli dan saling peka
antar sesama. Sifat tersebut tersirat dalam kutipan di
bawah ini. “Aku ingin membahagiakan Arai. Aku ingin berbuat
sesuatu seperti yang ia lakukan pada Jimbron. Seperti
yang selalu ia lakukan padaku. Aku sering melihat
sepatuku yang menganga seperti buaya berjemur tahu-
tahu sudah rekat kembali, Arai diam-diam memakunya.
Aku juga selalu heran melihat kancing bajuku yang lepas tiba-tiba lengkap kembali, tanpa banyak cincong
Arai menjahitnya. Jika terbangun malam-malam, aku
sering mendapatiku telah berselimut, Arai
menyelimutiku. Belum terhitung kebaikannya waktu ia
membelaku dalam perkara rambut belah tengah toni
Koeswoyo saat aku masih SD dulu. Bertahun lewat taoi aku tak kan lupa Rai, akan kubalas kebaikanmu yang
tak terucapkan itu, jasamu yang tak kenal pamrih itu,
ketulusanmu yang tak kasatmata itu.”(SP, 186)
Kutipan di atas menggunakan gaya bahasa
perumpamaan yaitu perbandingan dua hal yang pada
hakikatnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Hal itu dapat dilihat dari kalimat “sepatuku yang
menganga seperti buaya berjemur” yaitu sepatu yang
lemnya sudah tidak bisa merekat lagi disakan dengan
buaya yang berjemur, yaitu mulutnya terbuka.
Tanggung jawab terhadap kebahagiaan orang lain juga
menjadi jaminan untuk menjalankan sikap kemanusiaan, supaya kebahagiaan orang lain terasa
lengkap dengan sikap kita terhadapnya.
“Bang Zitun sangat komit pada penampilan Arai kali ini
sebab ia merasa bertanggung jawab pada kegagalan
Arai yang pertama.” (SP, 210)
Kutipan di atas adalah wujud sikap tanggung jawab Bang Zaitun untuk memksimalkan penampilan Arai
dalam memikat hati Nirmala sang pujaan hatinya,
karena penampilan Arai yang pertama kurang
maksimal sehingga untuk memikat hati Nirmala bisa
dikatakan gagal.
4. Nilai Pendidikan Budaya Nilai pendidikan budaya adalah tingkat yang palig tinggi
dan yang paling abstrak dari adat istiadat. Hali itu
disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan
konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat
mengenai apa yang mereka anggap bernilai., berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi
sebagai suatu pedoman yang member arah dan
orientasi kepada kehidupan para warga
masyarakatnya.
Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman
hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum
mempunyai ruang ligkup yang sangat luas, dan
biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata.
Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan
tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu
kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari
kebudayaan bersangkutan. Kebiasaan dalam daerah
tertentu juga memengaruhi tata cara dalam kehidupan
sehari-hari, terlihat seperti kutipan di bawah ini.
“Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di
kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang,…”(SP, 32)
Masyarakat melayu ketika mulai beranjak dewasa
kebanyakan mereka sudah berusaha bekerja mencari
uang untuk membantu keluarganya dalam mencukupi
kebutuhan hidup. Maka tidak heran, banyak remaja
yang memilih tidak melanjutkan sekolah, melainkan memilih untuk bekerja. Kutipan di atas secara jelas
mengandung nilai pendidikan budaya melalui
penggunakan gaya bahasa paradoks yaitu gaya bahasa
yang bertentangan dalam satu kalimat. Hal itu dapat
dilihat dari kata “anak-anak” dan “remaja”
terdapat pada satu kalimat dengan arti yang berlawanan.
Unsur-unsur dan nilai kebudayaan juga dapat
dilestarikan dengan menggunakan benda atau barang
kebudayaan daerah setempat. Hal tersebut juga
diterapkan oleh masyarakat Melayu, yaitu dapat dilihat
dari kutipan berikut ini. “Padi dalam peregasan sebenarnya sudah tak bisa
lagi dimakan karena sudah disimpan puluhan tahun.
Saat ini peregasan tak lebih dari surga dunia bagi
bermacam-macam kutu dan keluarga tikus berbulu
kelabu yang turun- temurun beranak pinak disitu.” (SP,
36) Kutipan di atas terdapat kata “peregasan” yang
artinya adalah peti papan besar tempat menyimpan
padi. Sebagian besar orang Melayu di setiap rumahnya
pasti terdapat peregasan yang berfungsi untuk
menyimpan beras. Bagi orang Melayu juga
menganggap peregasan adalah sebuah metafora, budaya, dan perlambang yang mewakili periode gelap
selama tiga setengah tahun Jepang menindas mereka.
Ajaibnya sang waktu, masa lalu yang menyakitkan
lambat laun bisa menjelma menjadi nostalgia romantik.
Kutipan di atas secara jelas mempunyai kandungan
nilai pendidikan budaya melalui penggunakan gaya bahasa hiperbola. Hal itu terlihat pada kalimat
“keluarga tikus berbulu kelabu yang turun-temurun
beranak pinak di situ”. Kalimat tersebut mempunyai
arti bahwa hewan tikus yang berkembang biak sangat
banyak.A. Analisis Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Sang
Pemimpi
1. Nilai Pendidikan Religius
Nilai religius merupakan sudut pandang yang mengikat
manusia dengan Tuhan pencipta alam dan seisinya.
Berbicara tentang hubungan manusia dan Tuhan tidak terlepas dari pembahasan agama. Agama merupakan
pegangan hidup bagi manusia. Agama dapat pula
bertindak sebagai pemacu faktor kreatif, kedinamisan
hidup, dan perangsang atau pemberi makna kehidupan.
Melalui agama, manusia pun dapat mempertahankan
keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang telah tetap sekaligus menuntun
untuk meraih masa depan yang lebih baik. Seperti
dalam kutipan di bawah ini.
“Jimbron adalah seorang yang membuat kami takjub
dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami heran
karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya beliau adalah seorang pastor
karena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya
Pendeta Geovany. Rupanya setelah sebatang kara
seperti Arai ia menjadi anak asuh sang pendeta.
Namun, pendeta berdarah Itali itu tak sedikit pun
bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron
mengaji ke masjid” (SP, 61)
Di lihat dari kutipan di atas, Tokoh Jimbron dalam novel
Sang Pemimpi mencerminkan tokoh yang taat
beragama dengan mengaji setiap harinya, walaupun
dia hidup di lingkungan agama yang berbeda, yaitu agama Katolik. Penamaan nilai religius yang tinggi
mampu menumbuhkan sikap sabar, tidak sombong dan
tidak angkuh pada sesama. Manusia menjadi saling
mencintai dan menghormati, dengan demikian manusia
bisa hidup harmonis dalam hubungannnya dengan
Tuhan, sesama manusia maupun makhluk lain. Pendeta Geovany dalam kutipan di atas adalah sosok yang
penyayang dan menghormati manusia lain yang beda
agama, ternukti bahwa Jimbron sebagai anak
angkatnya justru malah setiap harinya diantar mengaji
dan tidak sedikit pun bermaksud mengonversi
keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid.
Kutipan di atas mempunyai kandungan nilai pendidikan
religius karena secara jelas disampaikan penulis
melalui gaya bahasa pars pro toto yang terlihat pada
kata “sebatang kara” yang berarti tidak punya
siapa-siapa, hanya hidup seorang diri tanpa ada keluarga di dekatnya. Pars pro toto adalah gaya bahasa
yang melukiskan sebagian dari keseluruhan, berarti
kata tersebut dalam kutipan di atas yang hidup
sebatang kara yang dimaksud adalah Jimbron.
Sebuah karya sastra yang mengangkat sebuah
kemanusiaan yang berdasarkan kebenaran akan menggugah hati nurani dan akan memberikan
kemungkinan pertimbangan baru pada diri
penikmatnya. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila
sastra dapat berfungsi sebagai peneguh batin pembaca
dalam menjalankan keyakinan agamanya.
Jika setiap manusia akan saling menghormati dalam menjalankan agamanya, maka hubungan yang
harmonis akan terjalin dan akan menjadikan hidup
manusia menjadi tenteram dan bahagia karena nilai
religius merupakan keterkaitan antarmanusia dengan
Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan
di dunia. Nilai religius akan menanamkan sikap manusia untuk tunduk dan taat kepada Tuhan atau dalam
keseharian kita kenal dengan takwa. Seperti yang
tergambar dalam tokoh Arai di bawah ini.
“Setiap habis maghrib, Arai melantunkan ayat-ayat
suci Al Quran di bawah temaram lampu minyak dan
saat itu seisi rumah kami terdiam.”(SP, 33) Perilaku Arai dalam kesehariannya mencerminkan
seorang muslim. Orang yang taat pada perintah agama,
hal itu terbukti bahwa setiap habis maghrib dia selalu
membacakan ayat-ayat suci Al Quran dengan
kesadarannya sendiri, tanpa diperintah siapapun.
Kutipan di atas mempunyai kandungan nilai pendidikan religius karena secara jelas disampaikan penulis
melalui gaya bahasa hipalase yaitu gaya bahasa yang
menggunakan kata tertentu untuk menerangkan
sesuata, namun kata tersebut tidak tepat bagi kata
yang diterangkan. Hal tersebut dapat dilihat pada
kalimat “seisi rumah kami terdiam”, yang dimaksud dalam kalimat kalimat tersebut adalah anggota
keluarga Arai.
2. Nilai Pendidikan Moral
Nilai moral sering disamakan dengan nilai etika, yaitu
suatu nilai yang menjadi ukuran patut tidaknya manusia
bergaul dalam kehidupan bermasyarakat. Moral merupakan tingkah laku atau perbuatan manusia yang
dipandang dari nilai individu itu berada. Sikap disiplin
tidak hanya dilakukan dalam hal beribadah saja, tetapi
dalam segala hal, sikap yang penuh dengan
kedisiplinan akan menghasilkan kebaikan. Seperti
halnya jika dalam agama, seorang hamba jika menjalankan shalat tepat waktu akan mendapat pahala
lebih banyak, demikian juga jika disiplin dijalankan pada
pekerjaan lainnya dan tanpa memandang siapa yang
berperan dalam melakukan
Perbuatan disiplin tersebut, Seperti pada kutipan berikut
mengandung nilai moral yang sangat penting. “WC ini sudah hampir setahun diabaikan karena keran
air yang mampet. Tapi manusia-manusia cacing, para
intelektual muda SMA Negeri Bukan Main yang
tempurung otaknya telah pindah ke dengkul, nekat
menggunakannya jika panggilan alam itu tak
tertahankan. Dengan hanya berbekal segayung air saat memasuki tempat sakral itu, mereka menghinakan
dirinya sendiri dihadapan agama Allah yang
mengajarkan bahwa kebersihan adalah sebagian dari
iman. Dan kamilah yang menaanggung semua
kebejatan moral mereka.”(SP, 130)
Kutipan di atas sangat tidak pantas dijadikan contoh bagi masyarakat, khususnya para penerus bangsa
(siswa). Jelas WC yang keran airnya mampet, malah
masih digunakan. Apalagi yang menggunakannya
adalah para intelek muda yang dasar pendidikannya
ada. Mereka yang menggunakan tidak menghiraukan
walaupun agama sudah mengajarkan kebersihan adalah sebagian dari iman. Mereka yang melakukan
justru malah tidak merasa bersalah, walaupun orang
lain yang kena dampak dari ulah mereka. Pendidikan
moral sangat penting untuk mendidik manusia yang
belum benar tapi merasa sudah benar.
Kutipan di atas mempunyai kandungan nilai pendidikan moral karena secara jelas disampaikan penulis melalui
gaya bahasa sarkasme yaitu gaya bahasa sindiran
yang paling kasar dalam pengungkapannnya. Hal itu
dapat dilihat pada kalimat “tempurung otaknya telah
pindah ke dengkul”. Arti dari kalimat tersebut adalah
orang yang berbuaat seenaknya sendiri tanpa peduli aturan dan etika.
Pengembangan nilai moral sangat penting supaya
manusia memahami dan menghayati etika ketika
berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat.
Pemahaman dan penghayatan nilai-nilai etika mampu
menempatkan manusia sesuai kapasitasnya, dengan demikian akan terwujud perasaan saling hormat, saling
sayang, dan tercipta suasana yang harmonis. Hal
tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini:
“ LAIN KALI MENCALONKAN DIRINYA JADI BUPATI!!
PASANG HURUF H BESAR DI DEPAN NAMANYA, MENGAKU
DIRINYA HAJI???!! PADAHAL AKU TAHU KELAKUANNYA!! WAKTU JADI MAHASISWA, WESEL DARI IBUNYA
DIPAKAINYA UNTUK MAIN JUDI BUNTUT!!!”(SP, 168)
“ITULAH KALAU KAU MAU TAHU TABIAT PEMIMPIN
ZAMAN SEKARANG, BOI!! BARU MENCALONKAN DIRI
SUDAH JADI PENIPU, BAGAIMANA KALAU BAJINGAN
SEPERTI ITU JADI KETUA!!??”(SP, 168) Kutipan di atas terlihat jelas mengandung nilai
pendidikan moral melalui penggunakan gaya bahasa
antifrasis yaitu gaya bahasa sindiran yang
mempergunakan kata-kata yang bermakna
kebalikannya dan bernada ironis. Hal itu dapat dilihat
dari kalimat “bagaimana kalau bajingan itu jadi ketua!!??”. Kalimat tersebut mempunyai arti
menyindir seseorang yang mempunyai kelakuan tidak
baik seandainya menyalonkan menjadi ketua, maka
tidak bisa dibayangkan anak buahnya akan seperti apa.
Kedua kutipan di atas mengandung makna tersirat nilai
moral, karena tercantum jelas bahwa bupati yaitu pemimpin sekarang kelakuannya sudah tidak jujur dan
menghalalkan segala cara hanya demi merebut kursi
kepemimpinannya. Hal tersebut perlu diubah, supaya
moral manusia yang lain tidak ikut tercemar. Adapun
nilai yang dimaksud dalam konteks tersebut
menyangkut baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Moral juga
dapat dikatakan sebagai ajaran kesusilaan yang dapat
ditarik dari suatu rangkaian cerita karena karya sastra
itu menyajikan, mendukung, dan menghargai nilai-nilai
kehidupan yang berlaku.
3. Nilai Pendidikan Sosial 
Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari
perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Suatu
kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu
objek, gagasan, atau orang juga termasuk di dalamnya.
Karya sastra berkaitan erat dengan nilai sosial, karena
karya sastra dapat pula bersumber dari kenyataan- kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Nilai
sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti
kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan
penghargaan. Nilai sosial yang dimaksud adalah
kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Kepedulian
tersebut dapat berupa perhatian maupun berupa kritik. Kritik tersebut dilatar belakangi oleh dorongan untuk
memprotes ketidakadilan yang dilihat, didengar
maupun yang dialaminya, seperti yang terdapat dalam
kutipan berikut.
“Aku ingin menyelamatkan Jimbron walaupun benci
setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang Jimbron dan beruntung kami berada dalam labirin gang
yang membingungkan.”(SP, 15)
Kutipan di atas dapat di jelaskan bahwa walaupun Ikal
sangat benci kepada Arai tapi jiwa penolongnya
kepada Jimbron masih tetap ada dalam dirinya, karena
dia merasa walau bagaimanapun mereka adalah bersaudara. Kutipan di atas secara jelas megandung
nilai pendidikan sosial melalui penggunakan gaya
bahasa hiperbola yaitu gaya bahasa yang mengandung
suatu pernyataan yang berlebihan, misalnya
membesar-besarkan suatu hal dari yang
sesungguhnya. Hal itu dapat dilihat dari ungkapan “benci setengah mati” yang mempunyai arti sangat
membenci.
Nilai sosial berkenaan dengan kemanusiaan dan
mengembangkan kehidupan bersama, seperti kasih
sayang, penghargaan, kerja sama, perlindungan, dan
sifat-sifat yang ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan lainnya yang merupakan kebiasaan yang
diwariskan secara turun temurun. Seperti yang
tercermin pada kutipan di bawah ini.
“Aku membantu membawa buku-bukunya dan kami
meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu
dengan membiarka pintu dan jendela-jendelanya terbuka karena dipastikan tak kan ada siapa-siapa
untuk mengambil apapun.”(SP, 25)
Beberapa hari setelah ayahnya meninggal Ikal dan
ayahnya menjemput Arai untuk di bawa ke rumahnya.
Arai dan Ikal sebenarnya adalah masih saudara. Pada
waktu menjemput Arai, Ikal membantu Arai untuk membawakan buku-bukunya yang masih perlu di
bawa.
Kutipan di atas dapat didlihat secara jelas mengandung
nilai pendidikan sosial melalui penggunakan gaya
bahasa alegori yaitu gaya bahasa yang bertautan satu
dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Hal tersebut dapat dilihat dari kata “membawa”,
“meninggalkan”, dan “membiarkan. Kata itu
mempunyai pertautan dalam satu kutipan.
Nilai sosial juga berupa hikmah yang dapat diambil dari
perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Nilai dalam
karya sastra, nilai sosial dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan sehingga
diharapkan mampu memberikan peningkatan
kepekaan rasa kemanusiaan. Cerminan tersebut dapat
dilihat dari kutipan di bawah ini.
“Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti
mekanika gerak balik helikopter purba ini, Arai telah memutar balikkan logikasentimental ini. Ia justru
berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya
menghiburnya. Dadaku sesak.”(SP, 28)
Kutipan di atas menggunakan gaya bahasa paradoks
yaitu gaya bahasa yang bertentangan dalam satu
kalimat. Sepintas lalu hal tersebut tidak masuk akal. Hal itu dapat dilihat dari kalimat “aku tersenyum tapi
tangisku tak reda”. Kalimat tersebut mempunyai arti
Ikal masih bisa tersenyum ketika dia menangis.
Tokoh Ikal yang seharusnya menghibur Arai ketika ia
mendapat musibah ternyata malah berputar terbalik.
Justru Arai yang berusaha menghibur Ikal supaya dia tersenyum, itulah sosok Arai yang tidak mudah ditebak.
Sikap Arai yang peduli terhadap orang lain juga dapat
dilihat dari kutipan di bawah ini.
“Arai menyerahkan karung-karung kami pada Mak
Cik. Beliau terkaget-kaget. Lalu aku tertegun mendengar
rencana Arai, dengan bahan itu dimintanya Mak Cik membuat kue dan kami yang akan menjualnya. Mulai
sekarang Mak Cik mempunyai penghasilan! Seru Arai
bersemangat.”(SP, 51)
Kutipan di atas menggunakan gaya bahasa hiperbola
yaitu gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan
berlebihan. Hal itu dapat dilihat pada kalimat “beliau terkaget-kaget” dan kalimat tersebut mempunyai arti
yaitu sangat terkejut.
Arai tidak tega melihat Mak Cik yang hidup kesusahan.
Dia juga menyuruh Arai untuk memecah celengannya
untuk menolong Mak Cik. Cara mereka dengan
membelikan bahan-bahan untuk membuat kue supaya beliau bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Sifat membalas budi atas kebaikan orang lain pada nilai
sosial sangatlah penting. Sifat tersebut juga bertujuan
untuk membangun sikap saling peduli dan saling peka
antar sesama. Sifat tersebut tersirat dalam kutipan di
bawah ini. “Aku ingin membahagiakan Arai. Aku ingin berbuat
sesuatu seperti yang ia lakukan pada Jimbron. Seperti
yang selalu ia lakukan padaku. Aku sering melihat
sepatuku yang menganga seperti buaya berjemur tahu-
tahu sudah rekat kembali, Arai diam-diam memakunya.
Aku juga selalu heran melihat kancing bajuku yang lepas tiba-tiba lengkap kembali, tanpa banyak cincong
Arai menjahitnya. Jika terbangun malam-malam, aku
sering mendapatiku telah berselimut, Arai
menyelimutiku. Belum terhitung kebaikannya waktu ia
membelaku dalam perkara rambut belah tengah toni
Koeswoyo saat aku masih SD dulu. Bertahun lewat taoi aku tak kan lupa Rai, akan kubalas kebaikanmu yang
tak terucapkan itu, jasamu yang tak kenal pamrih itu,
ketulusanmu yang tak kasatmata itu.”(SP, 186)
Kutipan di atas menggunakan gaya bahasa
perumpamaan yaitu perbandingan dua hal yang pada
hakikatnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Hal itu dapat dilihat dari kalimat “sepatuku yang
menganga seperti buaya berjemur” yaitu sepatu yang
lemnya sudah tidak bisa merekat lagi disakan dengan
buaya yang berjemur, yaitu mulutnya terbuka.
Tanggung jawab terhadap kebahagiaan orang lain juga
menjadi jaminan untuk menjalankan sikap kemanusiaan, supaya kebahagiaan orang lain terasa
lengkap dengan sikap kita terhadapnya.
“Bang Zitun sangat komit pada penampilan Arai kali ini
sebab ia merasa bertanggung jawab pada kegagalan
Arai yang pertama.” (SP, 210)
Kutipan di atas adalah wujud sikap tanggung jawab Bang Zaitun untuk memksimalkan penampilan Arai
dalam memikat hati Nirmala sang pujaan hatinya,
karena penampilan Arai yang pertama kurang
maksimal sehingga untuk memikat hati Nirmala bisa
dikatakan gagal.
4. Nilai Pendidikan Budaya 
Nilai pendidikan budaya adalah tingkat yang palig tinggi
dan yang paling abstrak dari adat istiadat. Hali itu
disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan
konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat
mengenai apa yang mereka anggap bernilai., berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi
sebagai suatu pedoman yang member arah dan
orientasi kepada kehidupan para warga
masyarakatnya.
Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman
hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum
mempunyai ruang ligkup yang sangat luas, dan
biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata.
Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan
tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu
kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari
kebudayaan bersangkutan. Kebiasaan dalam daerah
tertentu juga memengaruhi tata cara dalam kehidupan
sehari-hari, terlihat seperti kutipan di bawah ini.
“Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di
kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang,…”(SP, 32)
Masyarakat melayu ketika mulai beranjak dewasa
kebanyakan mereka sudah berusaha bekerja mencari
uang untuk membantu keluarganya dalam mencukupi
kebutuhan hidup. Maka tidak heran, banyak remaja
yang memilih tidak melanjutkan sekolah, melainkan memilih untuk bekerja. Kutipan di atas secara jelas
mengandung nilai pendidikan budaya melalui
penggunakan gaya bahasa paradoks yaitu gaya bahasa
yang bertentangan dalam satu kalimat. Hal itu dapat
dilihat dari kata “anak-anak” dan “remaja”
terdapat pada satu kalimat dengan arti yang berlawanan.
Unsur-unsur dan nilai kebudayaan juga dapat
dilestarikan dengan menggunakan benda atau barang
kebudayaan daerah setempat. Hal tersebut juga
diterapkan oleh masyarakat Melayu, yaitu dapat dilihat
dari kutipan berikut ini. “Padi dalam peregasan sebenarnya sudah tak bisa
lagi dimakan karena sudah disimpan puluhan tahun.
Saat ini peregasan tak lebih dari surga dunia bagi
bermacam-macam kutu dan keluarga tikus berbulu
kelabu yang turun- temurun beranak pinak disitu.” (SP,
36) Kutipan di atas terdapat kata “peregasan” yang
artinya adalah peti papan besar tempat menyimpan
padi. Sebagian besar orang Melayu di setiap rumahnya
pasti terdapat peregasan yang berfungsi untuk
menyimpan beras. Bagi orang Melayu juga
menganggap peregasan adalah sebuah metafora, budaya, dan perlambang yang mewakili periode gelap
selama tiga setengah tahun Jepang menindas mereka.
Ajaibnya sang waktu, masa lalu yang menyakitkan
lambat laun bisa menjelma menjadi nostalgia romantik.
Kutipan di atas secara jelas mempunyai kandungan
nilai pendidikan budaya melalui penggunakan gaya bahasa hiperbola. Hal itu terlihat pada kalimat
“keluarga tikus berbulu kelabu yang turun-temurun
beranak pinak di situ”. Kalimat tersebut mempunyai
arti bahwa hewan tikus yang berkembang biak sangat
banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar