Kamis, 21 Maret 2013

Al-Ghazali Dan Ajarannya

BAB    II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.
Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jabatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
Al-Ghazali pertama-tama belajar di kota Thus, kemudian meneruskan di Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 478 H / 1085 M. Kemudian ia berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, disana ia mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang besar, ia tinggal di kota itu selama enam tah un. Pada tahun 483 H / 1090 M, ia diangkat menjadi guru yang sangat berhasil di sekolah Nidzamah Baghdad. Pekerjaan itu ia tinggalkan dan menuju Damsyik pada tahun 484 H, di kota ini ia merenung, membaca dan menuis selama kurang lebih 2 tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya.

B.     Ajaran Tasawuf Al-Ghazali

Yang menarik perhatian dalam sejarah hidup al-Ghazali ialah kehausannya akan segala macam ilmu pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu. Tidak mengherankan kalau beliau tidak bersikap kritis, dan kelanjutannya ialah bahwa ia tidak percaya akan kebenaran segala macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan pengetahuan axioma. Namun akhirnya, ia menceritakan keragu-raguannya terhadap kedua macam ilmu pengetahuan itu dalam al-Munqidz-nya sebagai berikut:
“Keragu-raguan yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama, telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak lagi memberikan kepercayaan kepada perkara-perkara inderawi pula, bahkan keragu-raguan itu semakin mendalam.
            Serta berkata;
“Bagaimana perkara-perkara inderawi bisa dipercayai. Kita ambil penglihatan sebagai indera yang terkuat. Ketika engkau melihat bayangan disangkannya diam tidak bergerak. Tetapi, dengan percobaan dan penelitian, sesudah beberapa saat, engkau baru mengetahui bahwa bayangan itu sebenarnya bergerak meskipun tidak sekaligus melainkan perahan-lahan, sedikit demi sedikit, sehingga sebenarnya bayangan itu tidak mengenal diam. Ketika engkau melihat bintang, maka dikira dia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti-bukti matematika menunjukkan bahwa bintang tersebut lebih besar dari pada bumi.”

Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, Mi’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya:
Ø  Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
Ø  PandanganAl-Ghazali tentang As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.
Al-Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari'at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran Islam, seperti wihdatul wujud, ittihad dan al-hulul. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang ahli tasawuf yang tidak beri'tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak pantas diberi gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat, "Al-Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak beri'tikad dengan wihdat al-wujud".
Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya 'Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna.
Ada sepuluh kaidah utama yang diletakkan Al-Ghazali dalam ilmu tasawuf yaitu:
·         Niat yang betul
·         Melakukan amal secara ittiba' bukan ibtida'
·         Ikhlas
·         Tidak bertentangan dengan syara'
·         Tidak mengulur-ulur amal baik
·         Tawadhu'
·         Takut dan berharap
·         Senantiasa berdzikir
·         Senantiasa mengintrospeksi diri, dan
·         Bersungguh-sungguh mempelajari hal-hal yang perlu dilakukan secara lahir dan batin.

C.    Karya-Karya Al-Ghazali

Al-Ghazali adalah ahli pikir islam yang handal dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya, puluhan buku telah ia tulis yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain:
*      Theologi Islam (Ilmu Kalam)
*      Hukum Islam (Fiqh)
*      Tasawuf
*      Tafsir, dan
*      Adab Kesopanan, serta
*      Autobiograpi

Pengaruh al-Ghazali di kalangan kaum Muslimin sangatlah besar, sehingga menurut pandangan orang-orang orientalis agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum Muslimin berpangkal pada konsepsi al-Ghazali.
Menurut B.B. MacDonald, untuk dunia islam al-Ghazali telah dan masih menjadi tokohnya yang terbesar, sama dengan kedudukan Agustinus atau Aquinas dalam dunia Kristen.
Kitabnya yang terbesar, yaitu Ihya ‘Ulumuddin yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerusalem, Hajzz dan Tus, dan yang berisi paduan yang antara fiqh, tasawuf dan filsafat, bukan hanya terkenal di kalangan kaum Muslimin, tetapi juga di kalangan dunia Barat dan luar Islam.
Bukunya yang lain yaitu al-Munqidz min ad-Dhalal (Penyelamatan dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yag terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai ma’rifat kepada Tuhan.
Diantara penulis-penulis modern banyak yang mengambil hasil pikiran-pikiran al-Ghazali dalam menuliskan autobiografi. Diantarnya, Ibnu al-Ibri dan Raymond Martin banyak mengambil pikiran-pikiran al-Ghazali untuk menguatkan pendiriannya. Demikian pula Pascal (Perancis, 1623-1662), dan banyak lagi filosof-filosof Barat lainnya sebagaimana yang diakui Asin Palacios, banyak persamaannya dengan al-Ghazali dalam pendiriannya bahwa pengetahuan-pengetahuan agama tidak bisa diperoleh hanya dengan akal pikiran, namun harus berdasarkan hati dan rasa.
Thomas Aquinas (Itali, 1226-1274), yang dengan pedasnya menyerang al-Ghazali ketika menguraikan tentang penglihatan (ru’yat) manusia terhadap Tuhan di akhirat, uraiannya sama dengan uraian al-Ghazali. Dante (Itali, 1265-1321 M) dalam penulisan bukunya banyak mengambil tulisan-tulisan al-Ghazali tentang Mi’raj.
Banyak ahli dari kaum orientalis yang menulis buku tentang al-Ghazali antara lain, Carrra de Vaux, J. Wensik, Obermann, Asin Palacios dan Zwemmer. Dan tidak sedikit pula dari para penulis kaum orientalis yang menerjemahkan buku-buku karangan al-Ghazali ke dalam berbagai bahasa eropa, antara lain:
1.      Carra de Vaux menerjemahkan buku Tahafut al-Falasifah.
2.      De Boer dan Asin Palacios, mereka menerjemahkan beberapa bagian dari buku Tahafut al-Falasifah.
3.      H. Bauer menerjemahkan Qawaid al-‘Aqaid dalam bukunya Die Dogmatik Al-Ghazali’s. Ia juga menerjemahkan beberapa pasal dari buku Ihya ‘Ulumuddin.
4.      Barbier de Minard, Ia menerjemahkan buku al-munqidzu Min ad-Dlalal.
5.      W.H.T Craidner, London.ia menerjemahkan buku Misykat al-Anwar.
6.      B.B. Macdonald, Ia menerjemahkan beberapa pasal dari Ihya ‘Ulumuddin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar