Pendahuluan
Ilmu ushul fiqih merupakan
salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin
menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam
Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria
seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat
mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath
tetap berada pada koridor yang semestinya.
Meskipun demikian, ada satu
fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan ushul fiqih tidaklah serta
merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid.
Disamping faktor eksternal ushul fiqih itu sendiri –seperti penentuan
keshahihan suatu hadits misalnya-, internal ushul fiqih sendiri –pada sebagian
masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para ulama ushul
fiqih. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah
(sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau
“Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan
penyimpulan hukum.
Pengertian Istihsan
Pertama: secara etimology istihsan adalah
kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari
sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang
pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy)
ataupun maknawiah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain”. [1]
Kedua: secara terminology
kata istihsan para ulama ushul fiqih mempunyai definisi yang
berbeda-beda, seperti yang ada dibawah ini:
1. Mengunggulkan dalil yang satu
dari dalil yang lainnya yang ada. Atau Mengamalkan dalil yang paling kuat di
antara dua dalil. Artinya adalah meninggalkan pemikiran (qiyas) terhadap hukum sebuah
masalah dengan mengambil dalil yang paling khusus.[2]
2. Menghindar dari proses qiyas. Seperti diperbolehkan masuk ke kolam
renang dengan tanpa memperhitungkan penetapan harga tertentu, padahal dalam
proses qiyas bahwa pembayaran itu harus mempunyai standart yang jelas.[3]
3. Mengambil
kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/
menyeluruh.[4]
4. Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafazhnya
karena pertimbangan yang lebih kuat darinya.[5]
6. Memprioritaskan
untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian, rukhsoh
dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya bertentangan. [7]
Dari uraian pengertian istihsan diatas, kita dapat melihat bahwa inti
dari istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih
hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam
pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama dan hal ini
selalu berdasarkan atas adanya dalil syar’i.
Proses istihsan tersebut harus memiliki sandaran. Sehingga kemudian ada
pendapat bahwa sesungguhnya makna istihsan itu hanya ada dua. Definisi yang
sahih dan disepakati dan definisi yang batal dan disepakati kebatalannya. Dan
definisi yang terakhir dapat dinyatakan sebagai definisi yang batal, karena
istihsan adalah proses pemikiran terhadap adanya beberapa dalil dan proses
pemikiran tanpa mengikut sertakan dalil syariat islam.
Dan berikut ini adalah penjelasan tentang perbedaan pengertian istihsan
yang benar dan yang salah:
1. Istihsan termasuk lafazh mujmal (universal), sehinggga tidak
dibenarkan menganggap kemutlakan hukumnya atas dasar benar dan salah.
2. Apabila istihsan ditetapkan dan dijadikan sebagai proses istinbath hukum
oleh seorang mujtahid, maka hal ini adalah pengertian istihsan yang benar.
3. Apabila seorang mujtahid menolak istihsan dalam menggunakannya sebagai
istinbath hukum dan mencaci maki yang menggunakannya, maka hal ini adalah
memberikan pengertian istihsan yang salah.
4. Telah disepakati kewajiban penggunaan istihsan dalam pengertian yang
benar sebagai istinbath hukum dan tidak ada pertentangan kewajiban penggunaan
dalil yang lebih unggul diantara beberapa dalil yang ada, tetapi hanya sebatas
perbedaan dalam memberikan uraian pengertian istihsan.
5. Telah disepakati keharaman penggunaan istihsan dalam pengertian yang
salah sebagai istinbath hukum. Menurut ijma’ ulama bahwa tidak diperbolehkan
memberikan pernyataan dengan mengatas namakan perintah dan larangan Allah tanpa
menggunakan dalil yang jelas dan shahih, apalagi jika dalam menetapkan hukum
tersebut hanya mengandalkan logika dan perasaan tanpa ada dalil. [9]
Misalnya adalah pendapat yang dari Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan
tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, sedangkan
jika menurut metode qiyas maka tayammum mempunyai kedudukannya yang sama
dengan berwudhu, dan tidak diwajibkan lagi berwudlu dengan menggunakan air pada
setiap waktu shalat, kecuali jika batal wudhunya. Hal ini mempunyai arti bahwa,
tayammum menurut kacamata qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap
waktu shalat, namun atas dasar Istihsan Imam Ahmad memandang ia wajib
dilakukan setiap waktu shalat berganti walau tidak batal wudlunya.[10]
Sejarah metode Istihsan
Penggunaan Istihsan tidak
ditegaskan secara eksplisit dan terperinci dalam nash al-Qur’an ataupun
al-Sunnah, tetapi hal ini tidak menjadikan aplikasinya tidak ditemukan pada
masa sahabat Rasulullah SAW maupun tabi’in. Dan akan ditemukan penggunaan Istihsan
di kalangan para sahabat dan tabi’in secara umum termasuk dan tercakup
dalam penggunaan logika di kalangan mereka.
Penggunaan logika sendiri
dibenarkan kedudukannya oleh Rasulullah SAW, seperti dalam hadits Mu’adz bin
Jabal r.a. Hal ini yang menjadikan para sahabat kemudian menjadikannya sebagai
salah satu rujukan ijtihad mereka. Penggunaan logika (ra’yu) tentu
saja dengan pemahamannya yang luas, termasuk di dalamnya metode qiyas, Istihsan,
Istishab, Sadd adz-Dzarî’ah, dan al-Mashlahah al-Mursalah. Ini harus
menunjukkan adanya pemahaman yang luas berkaitan dengan maqashid Syarî’ah.
Seperti yang dikatakan oleh Umar bin al-Khaththab r.a. : “Jauhilah ra’yu!
Karena sesungguhnya para pemakai ra’yu itu adalah musuh-musuh Sunnah. Mereka
tidak lagi mampu memahami hadits-hadits dan berat bagi mereka untuk
meriwayatkannya, maka mereka pun mendahulukan ra’yu atasnya.”[11] Dibalik dari ucapan Umar bin al-Khaththab ini ada pemahaman yang
jelas bahwa tidak semua ra’yu itu tercela, selama ia berjalan di atas
jalan Syariat.
DR. Sya’ban Muhammad Ismail
memberikan contoh al-Musyarrakah dengan menggunakan proses istinbath
hukum istihsan di masa sahabat. Dalam masalah ini, sebagian
sahabat mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak) mayit bersama saudara
seibunya dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang
istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan
beberapa saudara sekandung. [12]
Demikianlah hingga akhirnya di
masa para imam mujtahid, kata istihsan menjadi semakin sering didengar,
terutama dari Imam Abu Hanifah. Dimana dalam banyak kesempatan, kata istihsan
sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga sering dikatakan: “Secara
qiyas seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan istihsan.” [13]
Kedudukan Istihsan
Penggunaan istihsan sebagai proses istinbath hukum menjadi
masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Berikut ini adalah kedudukan
istihsan:
Pendapat pertama, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah bahwa istihsan dianggap
sebagai proses istinbath hukum dan merupakan hujjah (dalil). [14] Dasar
hukumnya adalah:
Pertama: Firman
Allah SWT
Artinya:
“Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.[15]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah
menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa istihsan
adalah hujjah. [16]
Dan firman Allah SWT
Artinya: “Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah-
nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu
sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, Yang mendengarkan Perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya” [17]
Ayat ini menegaskan pujian
Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan
pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh
Allah.[18]
Kedua: Hadits Nabi SAW
فَمَا
رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا
سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik,
maka ia di sisi Allah adalah baik.” [19]
Hadits ini menunjukkan bahwa
apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia
pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan istihsan.
Ketiga: Ijma’
Mereka mengatakan bahwa para
ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh istihsan, seperti:
Diperbolehkannya masuk ke dalam kolam renang tanpa ada penetapan harga
tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya. [20]
Pendapat kedua, menurut
ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah bahwa istihsan tidak dapat dijadikan
proses istinbath hukum dan bukan merupakan hujjah (dalil). [21] Dasar hukumnya adalah:
Pertama: Firman Allah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya)”. [22]
Ayat ini menunjukkan adanya
kewajiban kembali kepada dalil nash al-Qur’an dan al-Sunnah dalam menyelesaikan
suatu masalah, dan istihsan tidak dianggap sebagai proses merujuk kepada
dalil nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan demikian, istihsan tidak
dapat dijadikan sebagai proses istinbath hukum. [23]
Ibn Hazm menyatakan: “Para
sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya
Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah.’ ..”.[24]
Macam-macam Istihsan
Para ulama yang mendukung
penggunaan istihsan membagi istihsan dalam terbagi menjadi:
istihsan dengan nash, ijma’, dhorurat, qiyas khafî, ‘urf, dan mashlahah. [25]
1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam
suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’an
atau al-Sunnah.
Diantara
contohnya adalah:
Pertama: hukum wasiat, dalam prespektif qiyas maka wasiat tidak
diperbolehkan, karena hak kepemilikan tergantung pada waktu hilangnya
kepemilikan (setelah meninggalkanya orang yang berwasiat. Tetapi hal ini
mendapat pengecualian dari nash: Artinya: “sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya”. [26] Dan jika ada yang mengatakan: “hartaku ini aku sedekahkan”: hal ini
jika memakai proses qiyas menunjukkan keharusan mensedekahkan semua hartanya,
tetapi jika memakai proses istihsan maka menunjukkan membelanjakan hartanya
dengan berzakat:
Kedua:
hukumnya orang yang lupa makan atau minum saat berpuasa, jika memakai qiyas
maka batal puasanya sebab ada sesuatu yang masuk ke lambung jika seseorang
makan atau minum. Tetapi ada pengecualian dari Rasulullah SAW:
مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهْوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ
صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
Artinya: “barang siapa makan atau
minum dalam keadaan lupa, maka wajib baginya menyempurnakan puasanya,
sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan atau minum”. [28]
2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih
maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau
kaidah umum.
Di antara
contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa
adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya
hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah)
dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu
dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan
pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal
tersebut. [29]
3. Istihsan dengan ‘urf. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi
qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik
‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan. Salah satu contoh Istihsan
dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika
seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia
masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar
sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait)
dalam firmal-Nya:
Artinya: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah
diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu
pagi dan waktu petang”. [30]
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa
penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan
untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi
batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid. [31]
4. Istihsan dengan dhorurat. yakni seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan
atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat
yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Salah satu
contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak
dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit
untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk
ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi
batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada istihsan dengan
kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas
seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa,
maka itu membatalkan puasanya. [32]
5. Istihsan dengan Qiyas Khafi. yakni seorang mujtahid melihat ada suatu kemaslahatan
yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas jalî untuk mengunggulkan qiyas khafî.
Penggunaannya
berkebalikan dengan qiyas jali, seperti wakaf tanah pertanian, menurut qiyas
jali: wakaf ini menyerupai akad penjualan perumahan dalam kepemilikan penuh,
maka termasuk didalamnya ini hak untuk tidak dilewati, dibuat jalan, istirahat
minum dan sebagainya. Sedangkan apabila menggunakan qiyas khafi: maka wakaf ini
menyerupai akad sewa, sehingga termasuk didalamnya masih ada hak untuk
dilewati, dibuat jalan, istirahat minum dan sebagainya.
6. Istihsan dengan mashlahah. Yakni jika ditemukan kemashlahatan yang berada dalam
sebuah permasalahan. Seperti wasiat yang dilakukan oleh mahjûr (orang yang
dicegah atau larang untuk membelanjakan hartanya). Menurut qiyas maka wasiat
ini tidak diperbolehkan, karena termasuk mendiamkan hartanya. Tetapi menurut
kemashlahatan diperbolehkan adanya wasiat. Karena wasiat jatuh saat orang yang
mewasiatkan meninggal dunia. Hal ini untuk memberikan kesempatan pada dia untuk
mendapatkan pahala wasiat, tetapi meniadakan kedhoruratan saat hidupnya.
Penutup
Istihsan adalah salah satu metode istinbath hukum dengan menggunakan ra’yu telah
ditemukan bibit-bibit awalnya di masa sahabat Nabi SAW. Bahwa istihsan sesungguhnya
dapat dikatakan mewakili sisi kemudahan yang diberikan oleh Islam melalui
syariatnya, terutama istihsan yang dikaitkan dengan kondisi kedaruratan
dan ‘urf. Lafazh Istihsan adalah lafaz yang bersifat mujmal (universal),
sehingga tidak boleh menetapkan hukum secara sah atau batal berdasarkan istihsan
dalam artian umum (bahasa). Sebuah konsep penalaran dalam rangka penggunaan
rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian
yang tidak ditetapkan hokum dari sumber syariah yang tersurat (nash) atau
sumber hukum yang dipersamakan dengan qiyas dan dengan sandaran yang kuat.
Penggunaan istihsan dikalangan ulama yang menggunakanya sebagai sumber
hukum hanya dalam arti yang benar. Pengingkaran dan penolakan istihsan
sebagai sumber hukum Islam dikalangan ulama yang menolaknya adalah dalam arti/
makna yang batil. Yaitu hanya menggunakan akal semata.
Daftar
Pustaka
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya Surabaya: PT Mahkota, 2004 M.
Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah
al-Syaibanî, Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt.).
Amidy, Ali bin Muhammad al-, Al-Ihkam
fî Ushûl al-Ahkam (Beirut: Dar Al-Kutub al-‘Arabi, 1984).
Bukhari, Muhammad bin Isma’il
Abu Abdullah al-, Shahih Bukhari (Beirut: Dar Ibn Katsîr, 1407).
Ibn al-Qayyim, Muhammad bin
Abu Bakar al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Alamîn
(Beirut: Dar al-Jail, tt.).
Ibn Hazm, Muhammad bin
Muhammad al-Zhahirî, Al-Ihkam fi Ushûl al-Ahkam (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, tt.).
Ibn Manzhur, Muhammad bin
Mukrim, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Shadr,
tt.).
Ibn Qudamah Abdullah bin Ahmad
al-Muqaddasi, Raudhah al-Nazhir wa Jannat al-Munazhir (Riyadl:
Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399).
Ibn Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halîm, Majmû’
al-Fatawa (Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404).
Jîzani, Muhammad bin Husain Bin Hasan al-, Ma’alim Ushûl al-Fiqh.
(Madinah: Abu Mahnadh al-Najdî, 1427).
Jurjani,
Ali bin Muhammad bin Ali al-, Al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, 1405).
Muslim Abu Husain, Hajjaj
al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim (Kairo: Dar Ali al-Kutub, 1996).
Razi, Muhammad bin ‘Umar Abu
Abdullah al-, Mafatih al-Ghaib
(Beirut: Dar al-Fikr, 1981).
Qarafî,
Ahmad bin Idrîs bin Abdurrahman al-Shonhajî Syihabuddîn al-, Nafais al-Ushûl fi Syarh al-Mahshûl (Arab Saudi: Maktabah Nazzar Musthofa al-Baz, 1998).
Syatibi, Ibrahîm bin Mûsa Abu
Ishaq al-, Al-Muwafaqat fî Ushûl al-Syarî’ah (Mesir: Maktabah al-Tijariyah
al-Kubro, tt.).
Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul
Fiqh al-Muyassar (Kairo: Dar al-Kitab al-Jami’iy, 1415).
Wahbah
Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1999).
[1] Ali
bin Muhammad bin Ali al-Jurjani, Al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, 1405), hlm., 4. lihat: Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Shadr, tt.), Juz XIII, hlm., 117.
[2] Abdullah bin
Ahmad bin Qudamah al-Muqaddasi, Raudhah al-Nazhir wa Jannat al-Munazhir (Riyadl:
Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399), hlm., 162.
[3] Ahmad bin
Abdul Halîm Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatawa (Mekkah: Maktabah al-Nahdlah
al-Hadîts, 1404), Juz IV, hlm., 46.
[4] Ibrahîm bin
Mûsa Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fî Ushûl al-Syarî’ah (Mesir:
Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, tt.), Juz IV, hlm., 205.
[5] Ahmad
bin Idrîs bin Abdurrahman al-Shonhajî Syihabuddîn al-Qarafî, Nafais al-Ushûl fi Syarh al-Mahshûl (Arab
Saudi: Maktabah Nazzar Musthofa al-Baz, 1998), Juz IX, hlm., 4126.
[6] Ali bin
Muhammad al-Amidy, Al-Ihkam fî Ushûl al-Ahkam (Beirut: Dar Al-Kutub
al-‘Arabi, 1984), Juz IV, hlm., 57.
[9] Muhammad bin Husain Bin Hasan
al-Jîzani, Ma’alim Ushûl al-Fiqh. (Madinah: Abu Mahnadh al-Najdî, 1427),
hlm., 224.
[11] Muhammad bin
Abu Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an
Rabb al-‘Alamîn (Beirut: Dar al-Jail, tt.), Juz I, hlm.,
55.
[12] Sya’ban
Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar (Kairo: Dar al-Kitab
al-Jami’iy, 1415), Juz II, hlm., 29-31.
[14] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Juz IV, hlm., 209. lihat: Ibn Qudamah, Raudhah al-Nazhir, Juz I, hlm., 167.
[16] Muhammad
bin ‘Umar Abu Abdullah al-Razi, Mafatih al-Ghaib
(Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz VII, hlm., 246.
[19] Ahmad bin
Hanbal Abu Abdullah al-Syaibanî, Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo:
Muassasah Qurtubah, tt.), Juz I, hlm. 379.
[21] Muhammad bin
Muhammad bin Hazm al-Zhahirî, Al-Ihkam fi Ushûl al-Ahkam (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.), Juz VII, hlm., 975.
[28] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih Bukhari
(Beirut: Dar Ibn Katsîr, 1407), Juz VII, hlm., 233. Muslim Abu Husain, Hajjaj
al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim (Kairo: Dar Ali al-Kutub, 1996),
Juz VII, hlm., 285.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar