Rabu, 01 Mei 2013

ISTIHSAN DAN KEDUDUKANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM

Pendahuluan
Ilmu ushul fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan ushul fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal ushul fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal ushul fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para ulama ushul fiqih. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Pengertian Istihsan
Pertama: secara etimology istihsan adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain”. [1]
Kedua: secara terminology kata istihsan para ulama ushul fiqih mempunyai definisi yang berbeda-beda, seperti yang ada dibawah ini:
1. Mengunggulkan dalil yang satu dari dalil yang lainnya yang ada. Atau Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil. Artinya adalah meninggalkan pemikiran (qiyas) terhadap hukum sebuah masalah dengan mengambil dalil yang paling khusus.[2]
2. Menghindar dari proses qiyas. Seperti diperbolehkan masuk ke kolam renang dengan tanpa memperhitungkan penetapan harga tertentu, padahal dalam proses qiyas bahwa pembayaran itu harus mempunyai standart yang jelas.[3]
3. Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/ menyeluruh.[4]
4. Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafazhnya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya.[5]
5. Ungkapan tentang pengkhususan qiyas dengan dalil yang lebih kuat darinya.[6]
6. Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian, rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya bertentangan. [7]
7. Sesuatu yang di anggap baik oleh seorang mujtahid berdasarkan akalnya. [8]
Dari uraian pengertian istihsan diatas, kita dapat melihat bahwa inti dari istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama dan hal ini selalu berdasarkan atas adanya dalil syar’i.
Proses istihsan tersebut harus memiliki sandaran. Sehingga kemudian ada pendapat bahwa sesungguhnya makna istihsan itu hanya ada dua. Definisi yang sahih dan disepakati dan definisi yang batal dan disepakati kebatalannya. Dan definisi yang terakhir dapat dinyatakan sebagai definisi yang batal, karena istihsan adalah proses pemikiran terhadap adanya beberapa dalil dan proses pemikiran tanpa mengikut sertakan dalil syariat islam.
Dan berikut ini adalah penjelasan tentang perbedaan pengertian istihsan yang benar dan yang salah:
1. Istihsan termasuk lafazh mujmal (universal), sehinggga tidak dibenarkan menganggap kemutlakan hukumnya atas dasar benar dan salah.
2. Apabila istihsan ditetapkan dan dijadikan sebagai proses istinbath hukum oleh seorang mujtahid, maka hal ini adalah pengertian istihsan yang benar.
3. Apabila seorang mujtahid menolak istihsan dalam menggunakannya sebagai istinbath hukum dan mencaci maki yang menggunakannya, maka hal ini adalah memberikan pengertian istihsan yang salah.
4. Telah disepakati kewajiban penggunaan istihsan dalam pengertian yang benar sebagai istinbath hukum dan tidak ada pertentangan kewajiban penggunaan dalil yang lebih unggul diantara beberapa dalil yang ada, tetapi hanya sebatas perbedaan dalam memberikan uraian pengertian istihsan.
5. Telah disepakati keharaman penggunaan istihsan dalam pengertian yang salah sebagai istinbath hukum. Menurut ijma’ ulama bahwa tidak diperbolehkan memberikan pernyataan dengan mengatas namakan perintah dan larangan Allah tanpa menggunakan dalil yang jelas dan shahih, apalagi jika dalam menetapkan hukum tersebut hanya mengandalkan logika dan perasaan tanpa ada dalil. [9]
Misalnya adalah pendapat yang dari Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, sedangkan jika menurut metode qiyas maka tayammum mempunyai kedudukannya yang sama dengan berwudhu, dan tidak diwajibkan lagi berwudlu dengan menggunakan air pada setiap waktu shalat, kecuali jika batal wudhunya. Hal ini mempunyai arti bahwa, tayammum menurut kacamata qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti walau tidak batal wudlunya.[10]
Sejarah metode Istihsan
Penggunaan Istihsan tidak ditegaskan secara eksplisit dan terperinci dalam nash al-Qur’an ataupun al-Sunnah, tetapi hal ini tidak menjadikan aplikasinya tidak ditemukan pada masa sahabat Rasulullah SAW maupun tabi’in. Dan akan ditemukan penggunaan Istihsan di kalangan para sahabat dan tabi’in secara umum termasuk dan tercakup dalam penggunaan logika di kalangan mereka.
Penggunaan logika sendiri dibenarkan kedudukannya oleh Rasulullah SAW, seperti dalam hadits Mu’adz bin Jabal r.a. Hal ini yang menjadikan para sahabat kemudian menjadikannya sebagai salah satu rujukan ijtihad mereka. Penggunaan logika (ra’yu) tentu saja dengan pemahamannya yang luas, termasuk di dalamnya metode qiyas, Istihsan, Istishab, Sadd adz-Dzarî’ah, dan al-Mashlahah al-Mursalah. Ini harus menunjukkan adanya pemahaman yang luas berkaitan dengan maqashid Syarî’ah. Seperti yang dikatakan oleh Umar bin al-Khaththab r.a. : “Jauhilah ra’yu! Karena sesungguhnya para pemakai ra’yu itu adalah musuh-musuh Sunnah. Mereka tidak lagi mampu memahami hadits-hadits dan berat bagi mereka untuk meriwayatkannya, maka mereka pun mendahulukan ra’yu atasnya.”[11] Dibalik dari ucapan Umar bin al-Khaththab ini ada pemahaman yang jelas bahwa tidak semua ra’yu itu tercela, selama ia berjalan di atas jalan Syariat.
DR. Sya’ban Muhammad Ismail memberikan contoh al-Musyarrakah dengan menggunakan proses istinbath hukum istihsan di masa sahabat. Dalam masalah ini, sebagian sahabat mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak) mayit bersama saudara seibunya dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan beberapa saudara sekandung. [12]
Demikianlah hingga akhirnya di masa para imam mujtahid, kata istihsan menjadi semakin sering didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah. Dimana dalam banyak kesempatan, kata istihsan sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga sering dikatakan: “Secara qiyas seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan istihsan.” [13]
Kedudukan Istihsan
Penggunaan istihsan sebagai proses istinbath hukum menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Berikut ini adalah kedudukan istihsan:
Pendapat pertama, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah bahwa istihsan dianggap sebagai proses istinbath hukum dan merupakan hujjah (dalil). [14] Dasar hukumnya adalah:
Pertama: Firman Allah SWT
Artinya: “Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.[15]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa istihsan adalah hujjah. [16]
Dan firman Allah SWT
Artinya: “Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya” [17]
Ayat ini menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.[18]
Kedua: Hadits Nabi SAW
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.” [19]
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan istihsan.
Ketiga: Ijma’
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh istihsan, seperti: Diperbolehkannya masuk ke dalam kolam renang tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya. [20]
Pendapat kedua, menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah bahwa istihsan tidak dapat dijadikan proses istinbath hukum dan bukan merupakan hujjah (dalil). [21] Dasar hukumnya adalah:
Pertama: Firman Allah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)”. [22]
Ayat ini menunjukkan adanya kewajiban kembali kepada dalil nash al-Qur’an dan al-Sunnah dalam menyelesaikan suatu masalah, dan istihsan tidak dianggap sebagai proses merujuk kepada dalil nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan demikian, istihsan tidak dapat dijadikan sebagai proses istinbath hukum. [23]
Ibn Hazm menyatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah.’ ..”.[24]
Macam-macam Istihsan
Para ulama yang mendukung penggunaan istihsan membagi istihsan dalam terbagi menjadi: istihsan dengan nash, ijma’, dhorurat, qiyas khafî, ‘urf, dan mashlahah. [25]
1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’an atau al-Sunnah.
Diantara contohnya adalah:
Pertama: hukum wasiat, dalam prespektif qiyas maka wasiat tidak diperbolehkan, karena hak kepemilikan tergantung pada waktu hilangnya kepemilikan (setelah meninggalkanya orang yang berwasiat. Tetapi hal ini mendapat pengecualian dari nash: Artinya: “sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya”. [26] Dan jika ada yang mengatakan: “hartaku ini aku sedekahkan”: hal ini jika memakai proses qiyas menunjukkan keharusan mensedekahkan semua hartanya, tetapi jika memakai proses istihsan maka menunjukkan membelanjakan hartanya dengan berzakat:
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka”. [27]
Kedua: hukumnya orang yang lupa makan atau minum saat berpuasa, jika memakai qiyas maka batal puasanya sebab ada sesuatu yang masuk ke lambung jika seseorang makan atau minum. Tetapi ada pengecualian dari Rasulullah SAW:
مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهْوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
Artinya: “barang siapa makan atau minum dalam keadaan lupa, maka wajib baginya menyempurnakan puasanya, sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan atau minum”. [28]
2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut. [29]
3. Istihsan dengan ‘urf. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan. Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firmal-Nya:
Artinya: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang”. [30]
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid. [31]
4. Istihsan dengan dhorurat. yakni seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Salah satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada istihsan dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya. [32]
5. Istihsan dengan Qiyas Khafi. yakni seorang mujtahid melihat ada suatu kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas jalî untuk mengunggulkan qiyas khafî.
Penggunaannya berkebalikan dengan qiyas jali, seperti wakaf tanah pertanian, menurut qiyas jali: wakaf ini menyerupai akad penjualan perumahan dalam kepemilikan penuh, maka termasuk didalamnya ini hak untuk tidak dilewati, dibuat jalan, istirahat minum dan sebagainya. Sedangkan apabila menggunakan qiyas khafi: maka wakaf ini menyerupai akad sewa, sehingga termasuk didalamnya masih ada hak untuk dilewati, dibuat jalan, istirahat minum dan sebagainya.
6. Istihsan dengan mashlahah. Yakni jika ditemukan kemashlahatan yang berada dalam sebuah permasalahan. Seperti wasiat yang dilakukan oleh mahjûr (orang yang dicegah atau larang untuk membelanjakan hartanya). Menurut qiyas maka wasiat ini tidak diperbolehkan, karena termasuk mendiamkan hartanya. Tetapi menurut kemashlahatan diperbolehkan adanya wasiat. Karena wasiat jatuh saat orang yang mewasiatkan meninggal dunia. Hal ini untuk memberikan kesempatan pada dia untuk mendapatkan pahala wasiat, tetapi meniadakan kedhoruratan saat hidupnya.
Penutup
Istihsan adalah salah satu metode istinbath hukum dengan menggunakan ra’yu telah ditemukan bibit-bibit awalnya di masa sahabat Nabi SAW. Bahwa istihsan sesungguhnya dapat dikatakan mewakili sisi kemudahan yang diberikan oleh Islam melalui syariatnya, terutama istihsan yang dikaitkan dengan kondisi kedaruratan dan ‘urf. Lafazh Istihsan adalah lafaz yang bersifat mujmal (universal), sehingga tidak boleh menetapkan hukum secara sah atau batal berdasarkan istihsan dalam artian umum (bahasa). Sebuah konsep penalaran dalam rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hokum dari sumber syariah yang tersurat (nash) atau sumber hukum yang dipersamakan dengan qiyas dan dengan sandaran yang kuat. Penggunaan istihsan dikalangan ulama yang menggunakanya sebagai sumber hukum hanya dalam arti yang benar. Pengingkaran dan penolakan istihsan sebagai sumber hukum Islam dikalangan ulama yang menolaknya adalah dalam arti/ makna yang batil. Yaitu hanya menggunakan akal semata.

Daftar Pustaka
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya Surabaya: PT Mahkota, 2004 M.
Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah al-Syaibanî, Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt.).
Amidy, Ali bin Muhammad al-, Al-Ihkam fî Ushûl al-Ahkam (Beirut: Dar Al-Kutub al-‘Arabi, 1984).
Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-, Shahih Bukhari (Beirut: Dar Ibn Katsîr, 1407).
Ibn al-Qayyim, Muhammad bin Abu Bakar al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Alamîn (Beirut: Dar al-Jail, tt.).
Ibn Hazm, Muhammad bin Muhammad al-Zhahirî, Al-Ihkam fi Ushûl al-Ahkam (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.).
Ibn Manzhur, Muhammad bin Mukrim, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Shadr, tt.).
Ibn Qudamah Abdullah bin Ahmad al-Muqaddasi, Raudhah al-Nazhir wa Jannat al-Munazhir (Riyadl: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399).
Ibn Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halîm, Majmû’ al-Fatawa (Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404).
Jîzani, Muhammad bin Husain Bin Hasan al-, Ma’alim Ushûl al-Fiqh. (Madinah: Abu Mahnadh al-Najdî, 1427).
Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali al-, Al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1405).
Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim (Kairo: Dar Ali al-Kutub, 1996).
Razi, Muhammad bin ‘Umar Abu Abdullah al-, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).
Qarafî, Ahmad bin Idrîs bin Abdurrahman al-Shonhajî Syihabuddîn al-, Nafais al-Ushûl fi Syarh al-Mahshûl (Arab Saudi: Maktabah Nazzar Musthofa al-Baz, 1998).
Syatibi, Ibrahîm bin Mûsa Abu Ishaq al-, Al-Muwafaqat fî Ushûl al-Syarî’ah (Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, tt.).
Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar (Kairo: Dar al-Kitab al-Jami’iy, 1415).
Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1999).


[1] Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjani, Al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1405), hlm., 4. lihat: Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Shadr, tt.), Juz XIII, hlm., 117.
[2] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Muqaddasi, Raudhah al-Nazhir wa Jannat al-Munazhir (Riyadl: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399), hlm., 162.
[3] Ahmad bin Abdul Halîm Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatawa (Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404), Juz IV, hlm., 46.
[4] Ibrahîm bin Mûsa Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fî Ushûl al-Syarî’ah (Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, tt.), Juz IV, hlm., 205.
[5] Ahmad bin Idrîs bin Abdurrahman al-Shonhajî Syihabuddîn al-Qarafî, Nafais al-Ushûl fi Syarh al-Mahshûl (Arab Saudi: Maktabah Nazzar Musthofa al-Baz, 1998), Juz IX, hlm., 4126.
[6] Ali bin Muhammad al-Amidy, Al-Ihkam fî Ushûl al-Ahkam (Beirut: Dar Al-Kutub al-‘Arabi, 1984), Juz IV, hlm., 57.
[7] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Juz IV, hlm., 208.
[8] Ibn Qudamah, Raudhah al-Nazhir, Juz I, hlm., 163.
[9] Muhammad bin Husain Bin Hasan al-Jîzani, Ma’alim Ushûl al-Fiqh. (Madinah: Abu Mahnadh al-Najdî, 1427), hlm., 224.
[10] Ibn Qudamah, Raudhah al-Nazhir, Juz I, hlm., 167.
[11] Muhammad bin Abu Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Alamîn (Beirut: Dar al-Jail, tt.), Juz I, hlm., 55.
[12] Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar (Kairo: Dar al-Kitab al-Jami’iy, 1415), Juz II, hlm., 29-31.
[13] Ibid, Juz II, hlm., 48-50.
[14] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Juz IV, hlm., 209. lihat: Ibn Qudamah, Raudhah al-Nazhir, Juz I, hlm., 167.
[15] Surat al-Zumar: 55.
[16] Muhammad bin ‘Umar Abu Abdullah al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz VII, hlm., 246.
[17] Surat al-Zumar: 17-18.
[18] Ibn Qudamah, Raudhah al-Nazhir, Juz I, hlm., 167.
[19] Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah al-Syaibanî, Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt.), Juz I, hlm. 379.
[20] Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatawa, Juz IV, hlm., 46.
[21] Muhammad bin Muhammad bin Hazm al-Zhahirî, Al-Ihkam fi Ushûl al-Ahkam (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.), Juz VII, hlm., 975.
[22] Surat al-Nisa’: 59.
[23] Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Ushûl al-Ahkam, Juz VII, hlm., 977.
[24] Ibid, Juz V, hlm., 759.
[25] Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), hlm., 86-90.
[26] Surat al-Nisa’: 12.
[27] Surat al-Taubah: 103.
[28] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih Bukhari (Beirut: Dar Ibn Katsîr, 1407), Juz VII, hlm., 233. Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim (Kairo: Dar Ali al-Kutub, 1996), Juz VII, hlm., 285.
[29] Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar, Juz II, hlm., 82.
[30] Surat al-Nûr: 36.
[31] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Juz IV, hlm., 117.
[32] Ibid, Juz II, hlm., 85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar