Minggu, 31 Maret 2013

Makalah kelompok 4, Dimensi-Dimensi Manusia


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Manusia sebagai Makhluk Individu
Sebagai individu manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya. Manusia bukan hanya badan, sebaliknya bukan hanya roh. Sebagai individu, setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik. Setiap manusia mempunyai dunianya sendiri, tujuan hidupnya sendiri. Masing-masing secara sadar berupaya menunjukkan eksistensinya, ingin menjadi dirinya sendiri atau bebas bercita-cita untuk menjadi seseorang tertentu, dan masing-masing mampu menyatakan “inilah aku” di tengah-tengah segala yang ada. Karena itu, manusia adalah subjek dan tidak boleh dipandang sebagai objek.
1.      Karekteristik Keindividuan
Setiap individu memiliki ciri dan sifat karekteristik masing-masing, ada karekteristik bawaan (herdity) dan karekteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan,  karekteristik bawaan merupakan karekteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun merupakan faktor sosial psikologis. Pada masa lalu ada keyakinan, kepribadian terbawa pembawaan (heredity) dan lingkungan. Ini merupakan dua faktor yag terbentuk karena terpisah, masing-masing mempengaruhi kepribadian dan kemampuan individu bawaab dan lingkungan dengan cara sendiri-sendiri. Namun kemudian makin disadari bahwa apa yang difikirkan dan dikerjakan seseorang, atau apa yang dirasakan oleh seorang anak, remaja, dan dewasa, ini merupakan hasil dari perpaduan antara apa yang ada diantara faktor-faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh dari lingkungan.




2.      Faktor-Faktor yang mempengaruhi Keindividuan.
Pada dasarnya ada dua faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dalam diri individu,  yaitu :
1.      Faktor internal
Faktor(dimensi) internal atau yang di sebut juga kerangka acuan internal (internal frame of refrence) adalah penilaian yang di lakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi/Faktor ini terdiri dari tiga bentuk:
a.       Diri identitas(identity self)
Bagian ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan,”siapakah saya?” Dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang di berikan pada diri(self) oleh individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya ”saya kita”. kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya.
b.      Diri pelaku(behavioral self)
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang di lakukan oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri prilakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat di lihat pada diri sebgai penilai.
c.       Diri penerimaan/penilai (judging self)
Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara(mediator) antara diri identitas dan diri prilaku.
Manusia cendrung memberikan penilaian terhadap apa yang dipresepsikan. Oleh karena itu, label-label yang dikenakan pada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan di tampilkannya.
Diri penilai menentukan kepuasan tentang seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seorang menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah  akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan akan mengembangkan ketidak percayaan yang mendasar pada dirinya. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya yang lebih realitas, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan memfokuskan energi serta perhatiannya ke luar diri, dan pada akhirnya dapat berfungsi lebih konstuktif. Ketiga bagian internal ini mempunyai peranana yang berbeda-beda namun saling melengkapi dan berinteraksi membentuk suatu diri yang utuh dan menyeluruh.

2.      Faktor eksternal
Pada diri eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang di anutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama, dan sebagainya. Namun, dimensi yang di kemukakan oleh fits adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan atas lima bentuk, yaitu:

a.       Diri fisik (physical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik.Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus).
b.      Diri etik-moral (moral-ethical self)
Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya di lihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika.Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.
c.       Diri pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak di pengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi di pengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadiyang tepat.

d.      Diri keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang di jalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.
e.       Diri social (social self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.



B.     Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia tidak hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk dirinya sendiri. Manusia hidup dalam keterpautan dengan sesamanya. Di samping itu, setiap individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Sehubungan ini Aristoteles menyebut manusia sebagasi makhluk sosial  atau makhluk bermasyarakat.
Ernst Cassirer menyatakan : manusia takkan menemukan diri, manusia takkan menyadari individualitasnya, kecuali melalui perantaraan pergaulan sosial. Masyarakat terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya suatu masyarakat akan ditentukan oleh individu-individu yang membangunnya.
Sebagai contoh, bila seekor binatang lahir, maka binatang itu cepat sekali menolong dirinya dan mencari makan sendiri. Dalam dalam waktu singkat iya tidak lagi membutuhkan asuhan induk bapaknya. Ia lalu menempuh jalan sendiri dan tidak memperdulikan orang tuanya lagi.
Berlainan halnya dengan manusia. Ia lahir di dunia tidak berdaya apa-apa. Dia memerlukan pemeliharaan orang lain dalam waktu yang lama. Alangkah berbedanya dengan seekor anak ayam yang lari begitu saja setelah keluar dari telur, lalu pergi mencari makan.
Pada manusia, setelah masa bayi berakhir. Menyusul pula waktu belajar yang sama. Ia belum berdiri sendiri. Jadi dapatlah kita ambil kesimpulan, bahwa manusia dalam masa anak-anak banyak memerlukan pemeliharaan orang lain. Di samping itu, kita lihat pula bahwa orang-orang dewasa cenderung untuk memelihara dan menolong kepada yang lebih muda. Juga cenderung untuk berkumpul dan bekerja sama dengan orang-orang dewasa yang lain.
Oleh karena setiap manusia adalah pribadi (individu) dan adanya hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan sesamanya maka idealnya situasi hubungan antara individu dengan sesmanya itu tidak merupakan hubungan antara subjek dengan objek, melainkan subjek dengan subjek. Berdasarkan hal itu dan karena terdapat hubungan timbal balik antara individu dengan sesamanya delam rangka mengukuhkan eksisitensinya masing-masing maka hendaknya terdapat keseimbangan antara individualitas dan sosialitas pada setiap manusia.
Jadi dapat kita katakana:
ü  Manusia itu menurut pembawaannya adalah mahluk social.
ü  Manusia itu tak dapat tidak pasti hidup dalam golongan-golongan.

C.    Manusia sebagai Makhluk Susila
Manusia sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai potensi dan kemampuan untuk berfikir, berkehendak bebas, bertanggung jawab, serta punya potensi untuk berbuat baik. Karena itulah, eksistensi manusia memiliki aspek kesusilaan. Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilaan karena pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Sebgai makhluk otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada satu alternatif tindakan yang harus dipilihnya.
Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu berhubungan dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan perbuatannya secara otonom maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung jawaban atas perbuatannya.

D.    Manusia sebagai Makhluk Beragama
Dimensi Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yg diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama, adapun yang dimaksud dengan agama ialah : “satu sistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia, satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu, dan satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya yang sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud di atas.
Manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan oleh manusia agar (sehingga) manusia beriman dan bertakwa kepadaNya. Manusia hidup beragama karena agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat mutlak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-masing individu. Dalam keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya, tata cara hidup dalam berbagai aspek kehidupannya, dan menjadi jelas pula apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Manusia adalah makhluk yang berkebutuhan atau di sebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau di sebut juga dengan homo religious artinya makhluk yang beragama.Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan yang lainnya,bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati berupa keinginan untuk mencintai dan di cintai tuhan.
Dalam pandangan islam,sejak lahir manusia telah mempunyai jiwa agama, jiwa yang mengakui adanya zat yang Maha pencipta dan Maha kuasa yaitu Allah S.W.T sejak di alam roh, manusia telah memiliki komitmen bahwa Allah adalah tuhannya, pandangan ini bersumber pada firman Allah SWT.
Artinya:
            “Dan(ingatlah), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka(seraya berfirman) ’’bukankah aku ini tuhanmu?” mereka menjawab ’’betul(engkau tuhan kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan :”Sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan allah)” (Q.S.al-A’raf:172).
Jiwa beragama tersebut di sebut juga fitrah beragama. Muhammad hasan Hamshi, menafsirkan fitrah yaitu bahwa manusia di ciptakan allah mempunya naluri beragama yaitu, Agama tauhid. pandangan tersebut di perkuat oleh syekh Muhammad Abduh dalam tafsirnya yang berpendapat bahwa agama Islam adalah agama fitrah. Demikian juga Abu A’la al-Muadudi menyatakan bahwa agama Islam identik dengan watak tabi’i(human nature).
Islam memandang ada suatu kesamaan di antara sekian perbedaan manusia. kesamaan itu tidak pernah akan berubah karena pengaruh ruang dan waktu. Yaitu potensi dasar Beriman(aqidah tauhid) kepada Allah. aqidah tauhid merupakan fitrah(sifat dasar) manusia sejak misaq dengan Allah. Sehungga manusia pada prinsipnya selalu ingin kembali kepada sifat dasarnya meskipun dalam keadaan yang berbeda-beda.
Pandangan islam terhadap fitrah ini adalah yang membedakan  kerangka nilai dasar pendidikan islam dengan yang lain. Dalam konteks Makro, pandangan islam terhadap manusia ada tiga implikasi dasar yaitu Pertama, implikasi yang berkaitan dengan pendidikan di masa depan,di mana pendidikan di arahkan untuk mengembangkan fitrah seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi. kedua, tujuan(ultimate goal) pendidikan, yaitu insan kamil yang akan tercapai bila manusia menjalankan fungsinya sebagai Abdullah dan Khalifah sekaligus. Ketiga, muatan materi dan metodologi pendidikan, di adakan spesialisasi dengan metode integralistik dan di sesuaikan dengan fitrah manusia.








BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Sebagai individu manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya.
Setiap individu memiliki ciri dan sifat karekteristik masing-masing, ada karekteristik bawaan (herdity) dan karekteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan.
Pada dasarnya ada dua faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dalam diri individu,  yaitu :
1.      Faktor internal
2.      Faktor eksternal
Manusia memang makhluk individual, namun demikian ia tidak hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk dirinya sendiri. Jadi dapat kita katakana:
ü  Manusia itu menurut pembawaannya adalah mahluk social.
ü  Manusia itu tak dapat tidak pasti hidup dalam golongan-golongan.
Dimensi Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yg diwujudkan dalam sikap dan perilaku.
B.     SARAN-SARAN
1.      Setelah membaca makalah ini sebaiknya pembaca  mempelajari-mempelajari buku ataupun makalah-makalah yang lainnya. Guna lebih menambah wawasan dan tidak hanya cukup dengan satu buku.
2.      Keritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan guna menjadikan  lebih baik di masa yang akan dating.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar